Abu Ubaidah bin al-Jarrah Umat Muhammad Yang Paling Amanah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap umat itu ada orang yang kepercayaan. Orang yang paling terpercaya di tengah umatku adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” [HR. al-Bukhari 4382 dan Muslim 2419]
Ini adalah persaksian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mulianya akhlak Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Tentu ini adalah sebaik-baik rekomendasi. Lalu, seperti apa profil lengkap Abu Ubaidah bin al-Jarrah?
Nama Abu Ubaidah adalah Amir bin Abdullah bin al-Jarrah al-Fihri al-Qurasyi radhiallahu ‘anhu. Ia lebih dikenal dengan kun-yahnya, Abu Ubaidah dan langsung dinisbatkan (di-bin-kan) ke kakeknya. Sementara ibunya adalah Umaimah binti Ghanam.
Abu Ubaidah lahir 40 tahun sebelum hijrah. Tepatnya tahun 584 M. Ia adalah laki-laki yang berperawakan kurus berwajah cekung. Janggutnya tipis. Posturnya tinggi bungkuk. Dan patah gigi serinya. (Thabaqat Ibnu Saad).
Meskipun berasal dari Quraisy, suku terhormat di Mekah, namun sedikit sekali riwayat yang mengisahkan tentang kehidupan Abu Ubaidah sebelum memeluk Islam. Sehingga kehidupannya kita kenal adalah kehidupan tatkala ia mulai memeluk Islam.
Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat yang pertama memeluk Islam. Keislamannya hanya beda satu hari setelah islamnya Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Dan dari dakwah Abu Bakar-lah ia memeluk Islam. Kemudian, bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un, dan al-Arqam bin Abil Arqam, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyampaikan pada Nabi telah menerima kebenaran Islam. Dan mereka inilah pondasi kokoh dan pertama dakwah Islam tersebar di Kota Mekah. (al-Mustadrak, 3/266).
Abu Ubaidah adalah salah seorang dari sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga. Ia dua kali berhijrah, turut serta dalam Perang Badar dan perang-perang setelahnya. Saat helm perang Rasulullah bengkok, menghujam hingga mematahkan gigi beliau, Abu Ubaidah-lah yang melepaskan helm yang sempit itu dari kepala Rasulullah. Dan saat barisan kaum muslimin porak-poranda di Perang Uhud, ia tetap teguh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kepungan musuh (al-Mustadrak 3/266 dan al-Ishabah 2/243).
Keutamaannya yang lain adalah ia dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
“Laki-laki yang terbaik adalh Abu Bakar. Laki-laki yang terbaik adalah Umar. Laki-laki terbaik adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Laki-laki terbaik adalah Usaid bin Hudhair. Laki-laki terbaik adalah Tsabit bin Qais bin Syammas. Laki-laki terbaik adalah Muadz bin Jabal. Laki-laki terbaik adalah Muadz bin Amr bin al-Jamuh.” [HR. at-Tirmidzi 3795].
Abdullah bin Syaqiq berkata, “Aku bertanya pada Aisyah, ‘Siapakah di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling beliau cintai’? Aisyah menjawab, ‘Abu Bakar’. ‘Lalu siapa’? tanyaku. Ia menjawab, ‘Umar’. ‘Setelah itu’? tanyaku lagi. ‘Abu Ubaidah bin al-Jarrah’, jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘Siapa lagi’? Ia hanya diam [Shahih at-Tirmidzi, 3657].
Pada tahun 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Amr bin al-Ash menuju Dzatus Salasil. Dzatus Salasil adalah perang menghadapi Romawi di Syam di perkampungan Bani Bali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyertakan Abdullah dan orang-orang Qudha’ah lainnya untuk menemani Amr.
Urwah bin Az-Zubair mengatakan, “Bani Bali masih paman dari al-Ash bin Wail. Saat tiba di sana, ia merasa takut karena jumlah musuh begitu banyak. Amr pun mengirim utusan kepada Rasulullah untuk meminta bala bantuan. Rasulullah mengerahkan generasi awal Muhajirin. Berangkatlah Abu Bakar, Umar, dan sejumlah pasukan lainnya dari kalangan Muhajirin. Pasukan bantuan ini dipimpin oleh Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Musa bin Uqbah mengatakan, “Saat mereka tiba, Amr, ‘Aku adalah pimpinan kalian. Karena aku meminta kepada Rasulullah pasukan bantuan’. Orang-orang Muhajirin berkata, ‘Engkau adalah pimpinan untuk pasukanmu. Sementara Abu Ubaidah adalah pimpinan pasukan Muhajirin’. Amr kembali berkata, ‘Kalian ini adalah bala bantuan yang aku pinta kepada Rasulullah’.
Melihat kondisi seperti ini, Abu Ubaidah menunjukkan akhlak yang mulia dan kelembutan karakternya. Ia berkata, ‘Ketauhilah hai Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan kepadaku dengan ucapan beliau, ‘Kalau kau temui Amr, kalian berdua ditaati. Dan jika engkau tidak taat padaku, sungguh aku benar-benar akan menaatimu’. Lalu Abu Ubaidah menyerahkan kepemimpinan kepada Amr bin al-Ash.” (al-Baihaqi menyebutkan kisah ini sebelum penaklukkan Mekah).
Di antara pengaruh besar didikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Ubaidah dalah dalam permasalahan al-wala’ (loyal) dan al-bara’ (tidak loyal). Terdapat kisah dalam masalah ini. Mungkin kisah ini akan sulit diterima dan dibayangkan. Di Perang Badar, Abu Ubaidah bertemu dengan ayahnya di pihak musuh. Abdullah bin Syaudzb menceritakan, “Ayah Abu Ubaidah menantang sang anak di Perang Badar. Saat duel itu Abu Ubaidah berhasil membuat ayahnya terpojok. Saat sang ayah sudah banyak terluka, Abu Ubaidah pun menghabisinya. Turunlah firman Allah berkaitan dengan kejadian ini,
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [Quran Al-Mujadilah: 22] (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Tentu sulit dibayangkan bagaimana bisa anak membunuh ayahnya. Apalagi dengan kaca mata orang-orang toleran yang tak pernah menyentuh akidah al-wala’ dan al-bara’. Mereka akan bingung. Akan berprasangka. Mungkin mereka kecewa dengan agama ini dan orang-orang yang dijadikan teladan dalam agama. Tapi kita yang kenal al-wala’ dan al-bara’ tidak seperti itu cara pandangnya. Abu Ubaidah pun adalah seorang yang berakhlak mulia. Rasa tega dan kuat yang ia dapat saat berhadapan dengan sang ayah adalah spirit dari Allah. Ia tidak menimbang dengan pandangan dunia yang fana. Sehingga ia berhasil keluar dari sekat dan ikatan duniawi. Lalu menguatkan diri dengan ikatan akidah.
Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu adalah seorang pemimpin yang amanah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu.
“Orang-orang Najran pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah kepada kami seseorang yang jujur dan dipercaya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku akan mengutus kepada kalian seseorang yang sangat jujur dan dapat dipercaya. Para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Ternyata Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah seorang yang sangat mencintai Nabi dan senantiasa membela beliau. Dalam Thabaqat Ibnu Saad, Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan, “Aku mendengar Abu Bakar berkata, ‘Saat Perang Uhud, wajah Rasulullah terluka. Helm perang beliau bengkok menghimpit pipi beliau. Aku bersegera menuju beliau. Lalu ada seseorang dari arah timur bergerak cepat
Pada saat Perang Uhud, sebuah batu dilemparkan ke wajah Nabi, aku merasa lemparan itu begitu keras sehingga dua rantai helm beliau sendiri terputus. Aku bersegera berlari menuju Rasulullah dan kulihat seorang pria bergegas lari ke arahnya. Orang itu bergerak ke arah Rasulullah seolah-olah sedang terbang. Karena itu, aku berdoa untuknya, ‘Ya Allah, jadikan orang ini sebagai sarana penyebab kebahagiaan’ (Artinya, apa yang dia lakukan harus menjadi penyebab kebahagiaan bagi Nabi dan juga bagi kita).
Ketika kami mencapai Rasulullah, ternyata kulihat Abu Ubaidah bin al-Jarrah itulah yang mendahuluiku. Dia berkata padaku,
‘Wahai Abu Bakar, kumohon padamu, demi Allah, biarlah aku yang mengeluarkan rantai ini dari wajah Rasulullah.’
Hadhrat Abu Bakar mengatakan, “Kuizinkan dia untuk melakukannya.”
Kemudian Abu Ubaidah meraih salah satu dari dua rantai tersebut dengan giginya dan mencabutnya begitu keras sehingga beliau terjatuh di tanah dengan punggungnya. Beliau melakukannya sangat kuat sehingga salah satu gigi depannya patah. Kemudian ia gigit rantai satu lagi dengan giginya dan mencabutnya dengan sangat keras, gigi depannya yang lain juga patah.”
Abu Ubaidah adalah seorang yang berakhlak mulia. Ia seorang yang sangat tenang, zuhud, dan rendah hati. Umar pernah berkata dengan orang-orang yang duduk bersamanya, “Buatlah harapan”! Orang-orang pun menyampaikan harapan-harapan mereka. Lalu Umar berkata, “Adapun aku, aku berharap sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Abu Bakar pernah berkata kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah, “Kemarilah, biar aku membaiatmu sebagai khalifah. Sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Setiap umat itu memiliki orang yang terpercaya (amanah). Dan engkau adalah orang terpercayanya umat ini.”
Lalu Abu Ubaidah menanggapi, “Aku tidak akan mengunggulkan diriku dengan orang yang ditunjuk oleh Rasulullah sebagai imam kami.”
Abu Bakar berkata pada orang-orang yang hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah, “Aku ridha untuk mengurusi urusan kalian salah satu dari dua orang ini.” Maksudnya Umar bin al-Khattab dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Umar bin al-Khattab berkata, “Aku tidak akan mengubah suatu perkara yang telah diputuskan oleh Abu Ubaidah.” (Tarikh ath-Thabari, 3/434).
Keputusan pertama yang dibuat oleh Umar bin al-Khattab tatkala menjabat khalifah adalah menunjuk Abu Ubaidah sebagai panglima perang menggantikan Khalid bin al-Walid. Umar berkata,
“Kuwasiatkan padamu untuk bertakwa kepada Allah Yang Maha Abadi sementara selain-Nya fana. Dialah yang memberi petunjuk kepada kita. Mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya. Aku telah menunjukmu menjadi panglima perang menggantikan Khalid bin al-Walid. Atur mereka sesuai dengan wewenangmu. Jangan kau biarkan kaum muslimin terjerumus dalam kebinasaan dengan semata-mata hanya berharap rampasan perang. Jangan kau posisikan mereka di satu posisi sebelum kau periksa kondisi mereka. Dan mengetahui tempat yang akan mereka datangi. Jangan kau kirim pasukan kecuali dengan jumlah yang besar. Jangan sampai kau hadapkan kaum muslimin pada kebinasaan. Kalau kau lakukan itu, kau telah menimpakan musibah untukmu demikian juga untukku. Tundukkan pandangamu dari dunia. Dan palingkan hatimu darinya. Waspadalah! Jangan sampai engkau binasa seperti binasanya umat-umat sebelummu. Padahal engkau telah tahu kekalahan mereka.” (Tarikh ath-Thabari, 3/434).
Saat Umar mencopot Khalid radhiallahu ‘anhu dari jabatan panglima pasukan, ia menunjuk Abu Ubaidah sebagai suksesornya. Lalu Khalid berkata kepada pasukan, “Kalian dikirimi seseorang yang terpercayanya umat ini.” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menanggapi, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Khalid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah Azza wa Jalla dan sebaik-baik pemuda di suatu kaum.” [HR. Ahmad 16220].
Saat terjadi perpedaan pendapat antara Muhajirin dan Anshar tentang siapa yang memimpin setelah Rasulullah, Abu Ubaidah mengucapkan satu kalimat yang menyatukan. Ia berkata, “Wahai orang-orang Anshar, kalian adalah yang pertama menolong dan membantu. Karena itu, jangan sampai kalian menjadi yang pertama berubah.”
Dalam satu peperangan, ia berpidato membakar semangat pasukannya dengan mengatakan, “Ibadallah, tolonglah agama Allah, pasti Allah akan tolong kalian. Allah akan meneguhkan kaki kalian. Ibadallah, bersabarlah. Karena kesabaran adalah jalan selamat dari kekufuran. Ridha dari Allah. Keselamatan dari ketergelinciran. Jangan tinggalkan barisan. Jangan berikan musuh peluang. Jangan mulai duluan berperang. Siapkan dulu pasukan pemanah. Kita berlindung dulu di balik tameng. Jangan banyak bicara kecuali dzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Hingga Allah sempurnakan urusan kita ini insyaallah..”
Penyebab wafatnya Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah wabah thaun yang melanda negeri Syam. Tepatnya di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, siapa yang wafat karena penyakit ini, ia seorang syahid. Kemudian ia juga wafat fi sabilillah. Ia menggabungkan dua keutamaan. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menurut kalian, orang yang kalian anggap mati syahid itu seperti apa”? Para sahabat menjawab, “Mereka yang terbunuh dalam jihad di jalan Allah. Itulah syahid.” Nabi menanggapi, “Kalau begitu pasti sedikit yang syahid di tengah umatku.”
Para sahabat bertanya, “Jadi siapa mereka, wahai Rasulullah”? Rasulullah menjawab, “Siapa yang terbunuh saat jihad di jalan Allah adalah syahid. Siapa yang wafat dalam ketaatan kepada Allah, dia syahid. Siapa yang wafat karena thaun, dia syahid. Siapa yang wafat karena penyakit yang ada di perutnya, dia syahid.”
Ibnu Miqsam berkata pada anak Abu Ubaidah, “Aku bersaksi bahwa ayahmu termasuk di dalam hadits ini.” [HR. Muslim 1915].
Sejarawan sepakat bahwa Abu Ubaidah wafat karena wabah thaun amwas di Syam pada tahun 18 H [Al-Isti’ab ‘ala Hasyiyah al-Ishabah, 3/3].
Saat Abu Ubaidah dimakamkan, Muadz bin Jabal berkhotbah di tengah masyarakat yang hadir. Ia menyebutkan banyak keutamaan Abu Ubaidah dalam khotbahnya.
Abu Said al-Maqbari berkata, “Saat Abu Ubaidah terfinfeksi wabah thaun, ia berkata, ‘Muadz, imamilah orang shalat’. Muadz pun mengimami masyarakat. Lalu Abu Ubaidah bin al-Jarrah wafat. Muadz berdiri dan menyampaikan khotbah, ‘Masyarakat sekalin bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosa yang kalian kerjakan. Karena tidaklah seorang hamba Allah menghadap-Nya dalam kondisi ia sudah bertaubat kecuali Allah mewajibkan diri-Nya sendiri untuk mengampun orang tersebut.”
Muadz melanjutkan, “Kalian dikejutkan dengan wafatnya seseorang. Yang aku tak pernah melihat seorang yang paling sedikit kesalahannya, paling baik hatinya, paling jauh dari kejahatan, paling cinta dengan akhirat, dan paling menginginkan kebaikan untuk masyarakat melebihi dirinya. Doakan dia rahmat. Dan mari kita ke tanah lapang untuk menyalatkannya. Demi Allah, kalian tidak akan mendapatkan orang semisalnya lagi.”
Orang-orang pun berkumpul dan jenazah Abu Ubaidah dikeluarkan ke tanah lapang. Muadz maju ke depan mengimami shalat jenazahnya. Muadz bin Jabal, Amr bin al-Ash, adh-Dhahak bin Qays adalah orang-orang yang masuk ke liang kuburnya dan meletakkan jenazah Abu Ubaidah di lahad. Saat tanah sudah menibun jasad Abu Ubaidah, Muadz berkata, “Abu Ubaidah, sungguh aku akan memujimu dan yang kukatakan ini bukanlah dusta yang aku khawatir Allah akan menghukumku. Demi Allah, sungguh engkau adalah orang yang banyak berdzikir mengingat Allah. Orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Orang yang tunduk dan patuh kepada Allah. seorang yang rendah hati. Yang menyayangi anak-anak yatim, orang-orang miskin. Dan tidak suka dengan orang-orang yang berkhianat dan sombong. (al-Mustadrak, 3/295).
Pujian Muadz bin Jabal kepada Abu Ubaidah ini menunjukkan keutamaan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Menunjukkan tingginya kedudukannya. Semoga Allah Ta’ala meridhainya.
islamstory.com KisahMuslim.com
No comment yet, add your voice below!