Skip to content
Adab-adab Berteman Islam sangat memerhatikan masalah adab. Bahkan semua persoalan adab dijelaskan secara sempurna dalam Islam. Ketika seorang Yahudi berkata kepada Salman z, “Apakah Nabi kalian mengajari kalian sampaipun masalah buang hajat?” Beliau z berkata, “Ya. Beliau mengajari kami ….”1 Inilah Islam. Semua yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat telah ada di dalam Islam, termasuk adab berteman. Banyak dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan adab-adab berteman. Diantaranya: Berteman hanya karena Allah subhanahuwata’ala Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam menyatakan: “Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pada saat dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah subhanahuwata’ala: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah subhanahuwata’ala, seseorang yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid, dua orang yang saling cinta karena Allah subhanahuwata’ala, bersatu dan berpisah di atasnya, seseorang yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun pemuda tersebut berkata, ‘Aku takut kepada Allah subhanahuwata’ala’, seseorang yang bershadaqah dan ia menyembunyikan shadaqahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta seseorang yang berdzikir kepada Allah subhanahuwata’ala sendirian hingga meneteskan air mata.” (HR. Al-Bukhari no. 660, Muslim no. 1031) Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam berkata: “Tiga hal, jika ketiganya ada pada seseorang dia akan merasakan lezatnya iman: Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, cinta kepada seseorang semata-mata hanya karena Allah subhanahuwata’ala, dan dia tidak senang kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak ingin dilemparkan ke dalam api.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam berkata: “Barangsiapa yang ingin merasakan lezatnya iman hendaknya dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah subhanahuwata’ala.” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6164) Memilih teman yang baik Telah kita sebutkan di awal pembahasan bahwa tidak semua orang bisa kita jadikan teman. Sehingga seorang muslim yang ingin menyelamatkan agamanya hendaknya memilih teman yang baik. Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda: “Seseorang ada di atas agama temannya, maka hendaknya salah seorang kalian meneliti siapa yang dijadikan sebagai temannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud no. 4833, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 127) Al-Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Demi Allah. Kami tidaklah melihat seseorang berteman kecuali dengan yang setipe dan sejenis (satu sama sifatnya). Maka hendaknya kalian berteman dengan hamba-hamba Allah subhanahuwata’ala yang shalih agar kalian bersama mereka atau seperti mereka.” Ditanyakan kepada Sufyan, “Kepada siapa kami bermajelis?” Beliau menjawab, “Seseorang yang jika engkau melihatnya engkau ingat Allah subhanahuwata’ala, amalannya mendorong kalian kepada akhirat, dan ucapannya menambah ilmu kalian.” (Lihat Min Hadyis Salaf hal. 54-55) Ibnu Hibban Rahimahullah berkata, “Seorang yang berakal tidak akan bersahabat dengan orang-orang jahat.” Beliau juga berkata: “Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: Istri yang senantiasa taat kepadanya, anak-anak yang shalih, teman-teman yang baik, dan rezekinya di negerinya.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 22) Menjaga kerukunan Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam berpesan kepada Mu’adz dan Abu Musa : “Berilah kemudahan dan jangan membuat sulit orang lain, berilah kabar gembira yang membuat orang senang dan jangan membuat orang lari dari agama Islam, serta hendaknya kalian rukun serta tidak berselisih.” Ini adalah adab yang senantiasa harus dijaga, terlebih lagi oleh setiap muslim, terlebih lagi para dai ilallah. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata, “Aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil berkata (dan ini aku dengar lebih dari satu kali): Demi Allah subhanahuwata’ala, aku tidaklah mengkhawatirkan atas dakwah ini melainkan dari diri-diri kita sendiri.” Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata, “Demi Allah subhanahuwata’ala. Syaikh telah memiliki firasat yang sangat kuat. Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam seringkali berkata dalam khutbahnya: “Kita berlindung kepada Allah subhanahuwata’ala dari kejahatan diri-diri kita dan kejelekan amal-amal kita.” Jiwa-jiwa kita, walau bagaimanapun baiknya, masih mungkin menerima dan terkena kejelekan. Demi Allah subhanahuwata’ala, sekaranglah waktunya kita mengoreksi aib dan dosa-dosa kita jika memang kita merasa sebagai orang yang berusaha menjaga agama ini. Asy-Syaikh Muqbil t tahu bahwa dakwah ini mempunyai musuh dari luar dan dari dalam. Namun bahaya mereka tidak sebesar mudharat yang muncul dari penyimpangan orang-orang yang mengemban dakwah ini. Hendaknya masing-masing kita mengoreksi diri serta menimbang ucapan dan perbuatannya, yang lahir dan batin, dengan timbangan syar’i. Wallahul musta’an.” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 63) Lemah lembut kepada teman Allah subhanahuwata’ala menjelaskan tentang sifat Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam dan orang-orang yang bersamanya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29) Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda: “Sikap lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan memperindahnya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HR. Muslim) Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam berkata kepada Aisyah Radhiallahu’anha: “Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah subhanahuwata’ala mencintai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Al-Bukhari) Sedang-sedang (tidak berlebihan) dalam mencintai teman Dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda: “Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi no. 1997 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178) Umar bin Al-Khaththab Radhiallahu’anhu berkata, “Wahai Aslam, janganlah rasa cintamu berlebihan dan jangan sampai kebencianmu membinasakan.” Aslam berkata, “Bagaimana itu?” Umar berkata, “Jika engkau mencintai seseorang, janganlah berlebihan seperti halnya anak kecil yang menyenangi sesuatu dengan berlebihan. Jika engkau membenci seseorang, jangan sampai kebencian menimbulkan keinginan orang yang kamu benci celaka atau binasanya.” Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, “Hendaknya kalian mencintai jangan berlebihan dan membenci tidak berlebihan. Telah ada orang-orang yang berlebihan dalam mencintai satu kaum akhirnya binasa. Ada pula yang berlebihan dalam membenci satu kaum dan mereka pun binasa.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 41) Menerima kekurangan teman Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika dia tidak senang satu akhlaknya niscaya dia akan senang dengan akhlaknya yang lain.” Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan, “Walaupun hadits ini berkaitan tentang suami istri, namun juga berlaku dalam adab berteman.” (Lihat Syarah Riyadhish Shalihin) Ibnu Qudamah t berkata: “Ketahuilah, jika engkau mencari seseorang yang bersih dari kekurangan, niscaya engkau tak akan mendapatkannya. Barangsiapa yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya, itulah yang dicari.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 101) Jangan mencerca teman Mencerca teman mengesankan bahwa engkau tidak sabar dalam bersahabat dengannya. Tidak sepantasnya engkau mencerca temanmu dalam semua masalah, yang besar dan kecil. Bahkan tidak semua orang pantas untuk dicerca. Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (Al-Hijr: 85) Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu berkata: “Yakni ridha, tanpa mencercanya.” Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu: Aku tidak pernah memegang dibaj (satu jenis sutera) yang lebih lembut dari tangan Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam. Aku telah menjadi pelayan Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam selama sepuluh tahun. Tidak pernah sekalipun beliau berkata: “Ah.” Tidak pernah pula beliau berkata tentang apa yang kulakukan: “Kenapa kau lakukan?” dan tidak pernah pula ketika aku tidak melakukan sesuatu, beliau berkata: “Kenapa tidak kau lakukan ini dan ini?” (HR. Al-Bukhari no. 3561 dan Muslim no. 2309) Al-Mawardi berkata, “Banyak mencerca adalah sebab putusnya hubungan persahabatan ….” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 17-54) 1 HR. An-Nasai, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Nahyu ‘an al-iktifa’ fil istithabah bi aqalla min tsalatsati ahjar. sumber: ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak asysyariah.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh