Skip to content
Sebagai seorang Muslim kita wajib meyakini bahwa semua yang ada dalam al-Qur’an itu adalah haq, baik berupa kabar maupun janji-janji dan ancaman. Termasuk di antaranya adalah janji Allâh عزوجل untuk menjaga keaslian agama ini, dengan menjaga keaslian sumbernya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana firman-Nya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya (QS al-Hijr/15:9). Penjagaan terhadap al-Qur’ân dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasûlullâh ﷺ .-red Kita sudah meyakini hal ini, namun terkadang ada pertanyaan yang dimunculkan oleh orang-orang tertentu dengan berbagai maksud dan tujuan. Diantara pertanyaan itu, “Bagaimana cara Allâh menjaga dan memelihara Sunnah ?” Jika pertanyaan ini dilontarkan kepada saya, maka saya akan memberikan jawaban yang sangat mendasar sekali dari para Ulama’ ialah : Pertama, Allâh عزوجل telah memberikan kepada umat ini sebuah ilmu yang sangat besar lagi sangat agung yang telah menjadi kekhususan bagi umat ini. Karena memang Allâh عزوجل tidak pernah memberikannya kepada umat umat sebelum umat Nabi Muhammad ﷺ . Ilmu ini menjadi kemuliaan secara khusus bagi umat ini. Ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu sanad atau isnad. Sebuah ilmu untuk mengetahui secara bersilsilah atau berantaijalannya orang-orang yang meriwayatkan suatu riwayat dari Fulan ke Fulan dan seterusnya. Sehingga dengan sebab isnad dapat dibedakan dengan jelas dan terang antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ ; Antara yang disandarkan kepada Nabi ﷺ dengan yang disandarkan kepada selain beliau ﷺ seperti yang disandarkan kepada para Sahabat atau tâbi’în atau tâbi’ut tâbi’în dan seterusnya. Apabila sebuah riwayat tidak ada sanad atau isnadnya, maka para Imam ahli hadits seperti al-Bukhâri dan lain lain akan menolaknya dan tidak mau menerimanya. Dan mereka mengatakan bahwa riwayat ini tidak ada asal asulnya dan dimasukkan ke dalam golongan hadits-hadits palsu. Oleh karena itu, dahulu para Ulama kita mengatakan – dan perkataan mereka ini merupakan kaidah yang sangat besar dalam Islam tentang ilmu riwayat atau naql. Abdullah bin Mubârak رحمه الله mengatakan : Isnad itu bagian dari agama. Kalau sekiranya tidak ada isnad, niscaya siapa saja dapat mengatakan apa saja saja yang ia mau katakan (Riwayat Imam Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîhnya) Ya benar, kalau sekiranya tidak ada isnad, pastilah siapa saja dapat mengatakan apa yang dia mau katakan. Jika demikian, kita pasti tidak dapat membedakan mana yang hadits Nabi ﷺ dan mana yang bukan ? Manakah riwayat-riwayat yang sah dan manakah riwayat-riwayat yang lemah atau sangat lemah atau bahkan palsu ? Kemudian, siapakah yang meriwayatkannya? Apakah yang meriwayatkannya orang-orang yang terpercaya dalam masalah agama dan ilmunya ? Ataukah riwayat itu datang dari orang-orang yang fasiq, atau dari para pembohong yang biasa berbohong, atau dari para pemalsu hadits yang dengan sengaja memalsukan hadits atas nama Nabi yang mulia ﷺ dan seterusnya dalam segala cabang ilmu yang sampai kepada kita dengan jalan berita atau riwayat. Semuanya terjawab dengan ilmu yang mulia ini, yang menjadi kekhususan bagi umat ini. Oleh karena itu, ilmu hadits dan ahli hadits demikian mulianya. Namun sedikit sekali orang yang mengetahuinya, mempelajarinya dan mengajarkannya sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam Bukhâri amîrul Mukminîn fil hadits dalam sebuah perkataan emasnya yang akan datang insyâ Allâhu. Kedua, Allâh عزوجل telah memberikan ilmu hadits yang sangat besar dan sangat mulia kepada sebagian Ulama kemudian membangkitkan mereka untuk memeriksa setiap riwayat atau hadits yang disandarkan kepada Nabi ﷺ . Merekalah, para imam ahli hadits yang sangat terhormat dan mulia kedudukan mereka dalam Islam. Karena merekalah yang dimaksud oleh Nabi yang mulia ﷺ atau yang mengambil bagian terbesar dari yang dimaksudkan beliau thâ’ifah manshûrah. Madzhab mereka terkenal dengan madzhab ahlu hadits, baik secara aqidah maupun fi qh dan seterusnya. Karena yang mereka ikuti tidak lain melainkan sunnah Nabi yang mulia ﷺ . Apabila hadits yang sampai kepada mereka telah sah, maka itulah madzhab mereka sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam Syâfi’i رحمه الله , salah seorang pembesar ahli hadits yang dij uluki sebagai nâshirus sunnah (pembela sunnah). Apa yang saya katakan ini pada hakikatnya adalah perkataan para Ulama’ kita yang dahulu sebagaimana yang telah di tegaskan oleh Imam al-Bukhâri رحمه الله dalam sebuah perkataan emasnya, “KaumMuslimin yang paling utama ialah seorang yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah ﷺ yang telah mati. Maka bersabarlah wahai ahli hadits , semoga Allâh merahmati kamu, karena sesungguhnya (jumlah) kamu adalah yang paling sedikit di antara manusia”1 Seorang penyair pernah mengatakan tentang ahli hadits (yang artinya) : Sesungguhnya kami dahulu menghitung mereka (ahli hadits) sangat sedikit sekali. Maka sesesungguhnya sekarang mereka lebih sedikit dari yang paling sedikit” Oleh karena itu, di bawah ini saya ingin menerangkan sebagian dari para ahli hadits, yaitu ahli jarh wat ta’dîl, yang perkataan mereka menjadi dasar dan hujjah yang kuat. Kemudian dari mereka, kita mengetahui mana rawi yang tsiqah dan dha’îf dan seterusnya. Diantara mereka seperti Sa’îd bin Musayyab, Sa’îd bin Zubair, Abdurrahman bin Hurmuz yang terkenal dengan nama al-A’raj, Abu Shâlih Dzakwân as-Sammân, Hasan bin Abi Hasan yang terkenal dengan nama Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Anas bin Sirin, Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi yang namanya Rufai’ bin Mahrân, Mâlik bin Dinâr, Amir bin Syarâhîl yang terkenal dengan nama asy-Sya’bi, Ibrâhim bin Yazîd bin Qais al[1]Aswad yang terkenal dengan nama Ibrâhim an-Nakhâ’i, Masrûq bin al-Ajda’ bin Mâlik, Rabi’ bin Hutsaim Abu Zaid, Hammâd bin Abi Sulaiman, Sa’ad bin Ibrâhim az-Zuhri, Muhammad bin Muslim az-Zuhri yang terkenal dengan nama az-Zuhri atau Ibnu Syihab, Ayyub bin Abi Tamim as-Sakhtiyâni, Sulaiman bin Mihrân yang terkenal dengan nama al-A’mâsy. Mereka semua yang saya sebutkan di atas adalah dari kalangan tâbi’în, baik tâbi’în dari thabaqah kubra (tingkatan tâbi’în besar) seperti Sa’id bin musayyab; Atau tâbi’în dari thabaqah wustha (tingkatan tâbi’în yang sedang atau tengah-tengah) seperti Hasanal-Bashri; Atau tâbi’în dari thabaqah shughra (tingkatan tâbi’în yang kecil) seperti al-A’masy. Kemudian thabaqah yang sesudahnya seperti Syu’bah bin Hajjâj, Sufyân bin Said ats-Tsauri yang terkenal dengan nama Sufyân ats-Tsauri atau ats-Tsauri saja, Abdurrahman bin Amr al-Auzâ’i yang terkenal dengan nama al-Auzâ’i, Mâlik bin Anas yang terkenal dengan nama Mâlik bin al-Imâm, Husyaim bin Basyîr, Sufyân bin ‘Uyainah, Yahya bin Said al-Qahthân, Abdullâh bin Mubârak, Waki’ bin Jarrâh, Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i dan yang selain mereka banyak sekali. Semua yang saya sebutkan di atas adalah dari kalangan tâbi’ut tâbi’în, baik tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah kubra (tingkatan tâbi’ut tâbi’în besar) seperti Sufyân ats-Tsauri dan Imam Mâlik; Atau tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah wustha (tingkatan tâbi’ut tâbi’în yang sedang atau tengah-tengah) seperti Sufyân bin ‘Uyainah; Atau tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah shughra (tingkatan tâbi’ut tâbi’în yang kecil) seperti Imam asy-Syâfi’i. Kemudian thabaqah yang sesudah tâbi’ut tâbi’în, yaitu yang mengambil hadits dari tâbi’ut tâbi’în, mereka tidak bertemu dengan Tâbi’în, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ali bin Abdullah bin Ja’far al-Madîni yang terkenal dengan nama Ali bin Madini, Yahya bin Ma’în, Abdurrahman bin Ibrâhim ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Duhaim, Ishâq bin Ibrâhim ar-Râhuwaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Amr bin Ali al-Fallâs dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudahnya yaitu yang mengambil dari mereka seperti Muhammad bin Ismâil al-Bukhâri yang terkenal dengan al-Imam al-Bukhâri, juga Imam Muslim, Abu Zur’ah ‘Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Râzi, Muhammad bin Idris Abu Hatim ar-Râzi, Abu Dawud dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Ibnu Mâjah, Abu Ya’lâ al-Maushili dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Ibnu Khuzaimah, Ibnu Jarîr ath-Thabari, ad Dulâbi, Zakariya bin Yahya as-Sâji, Ibnul Jârud dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaiu ath-Thahâwi, al-‘Uqaili, Ibnu Abi Hâtim dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Ibnu Hibbân, ath-Thabrani, Ibnu ‘Adi dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu ad-Daraquthni, al-Hâkim, Ibnu Syâhin dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu al-Baihaqi, al-Khathîb al-Baghdâdi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan yang selain mereka banyak sekali. Kemudian Imam Ibnul Jauzi, Imam al-Mundziri, Imam an-Nawawi, dan yang selain mereka banyak sekali2 . Kemudian Imam al-Mizzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adz-Dzahabi, al-Birzâli, Ibnu Qayyim, Ibnu Abdil Hâdi, Ibnu Katsîr. Mereka ini adalah guru dan murid yang berkumpul di madrasah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Kemudian Imam Ibnu Rajab al-Hambali, Imam al-‘Irâqi (guru al-Hafi dz Ibnu Hajar), Imam az-Zailâ’i, Imam al-Haitsami. Kemudian al Hafi dz Ibnu Hajar, Imam al ‘Ainiy dan lain-lain. Kemudian Imam As Suyuthi dan lain-lain. Kemudian yang selain mereka dari zaman ke zaman. Kemudian yang ada pada zaman kita ini adalah dua orang Imam ahli hadits besar, mujtahid mutlak, Imam ahli jarh wat ta’dil yaitu Syaikhul Imam Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikhul Imam Muhammad bin Nashiruddin al-Albâni. Perkataan para Imam ahli hadits yang saya sebutkan di atas dari tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în dan thabaqah yang sesudahnya dan seterusnya semuanya dalam rangka membela dan mempertahankan Sunnah dan Hadits Nabi yang mulia ﷺ agar tidak dimasukisesuatu yang bukan dari beliau ﷺ , baik dengan sengaja seperti perbuatan para pendusta dan pemalsu hadits, atau di sebabkan karena kekeliruan dan berbagai sebab lainnya. Mereka telah memberikan pujian (ta’dîl) dan celaan (jarh) terhadap rawi-rawi hadits, mana diantara mereka yang tsiqah (terpercaya dalam agamanya dan ilmunya) dan mana yang lemah (dha’if) dengan berbagai macam cabang kelemahannya; misalnya kelemahan seorang rawi dimulai dari yang paling parah yaitu para pendusta yang telah memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi kita yang mulia ﷺ , kemudian mereka yang biasa berbohong di dalam pembicaraannya. Kemudian mereka yang fasiq yang mengerjakan dosa-dosa besar, selanjutnya para pengikut hawa nafsu dari ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya. Kemudian dari jurusan hafalannya, apakah sering salah?, waham? dan buruk hafalannya dan seterusnya. Semua yang mereka sampaikan itu kembali kepada satu tujuan yaitu pembelaan serentak secara besar-besaran terhadap sunnah Nabi yang mulia ﷺ . Dengannya kaum Muslimin dapat mengetahui dengan jelas dan terang, apakah hadits tersebut sah atau tidak ? Membela Sunnah Adalah Jihad3 Ketahuilah wahai saudaraku, membela dan mempertahankan Sunnah Nabi ﷺ merupakan jihad yang besar, khususnya pada zaman kita sekarang ini. Kalau Yahya bin Ma’in seorang amirul Mukminîn fil hadits, Imamnya jarh wat ta’dil saja telah mengatakan pada zaman beliau masih hidup (beliau wafat pada tahun 233 H), “Mempertahankan dan mengadakan pembelaan terhadap Sunnah (Nabi) lebih utama dari jihad fi sabilillah (perang).” Lalu, sekarang … pada zaman ini … Apakah yang akan kita katakan setelah berlalu tiga belas abad dari zaman Ibnu Ma’in ?! Sekarang, simaklah dan perhatikanlah baik-baik sedikit dari sekian banyak pekataan para Imam dalam menyingkap keadaan rawi, mana yang tsiqah dan mana yang dha’if ?
  1. ‘Abdullâh bin Mubârak seorang tâbi’ut tâbi’în amîrul Mukminin fi l hadits pernah menerangkan keadaan seorang (rawi), lalu beliau رحمه الله berkata, “Dia itu seorang pembohong.” Kemudian beliau ditegur oleh seorang laki-laki, “Wahai Abu Abdirrahman, kamu telah melakukan ghibah (menggunjing)!” ‘Abdullâh bin Mubârak kemudian menjawab dengan jawaban yang patut dicatat dengan tinta emas, karena jawaban beliau di kemudian hari menjadi kaidah umum tentang ilmu jarh wat ta’dil, “Diamlah engkau! Apabila kami tidak menjelaskan (keadaan rawi), bagaimanakah dapat diketahui yang haq dari yang batil ?”
Dalam riwayat lain, Abdullâh bin Mubârak pernah menerangkan keadaan seorang rawi yang bernama al-Mu’alla bin Hilal, sebagai seorang pembohong. Lalu sebagian dari kaum sufi yyah telah menegur beliau, “Hai Abu Abdirrahman, engkau telah melakukan ghibah!” Kemudian Abdullâh bin Mubârak menjawab seperti di atas.
  1. Kemudian dari Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal yang dij uluki oleh para Ulama sebagai Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pernah ditanya oleh seorang yang bernama Muhammad bin Bundar, “Wahai Abu Abdillâh, sesungguhnya sangatlah memberatkan saya untuk mengatakan bahwa si fulan itu adalah seorang pendusta ?” Imam Ahmad menjawab dengan jawaban yang sama dengan jawaban Abdullâh bin Mubârak yang patut dicatat dengan tinta emas, karena jawaban beliau menjadi kaidah umum tentang ilmu jarh wat ta’dil, “Apabila engkau diam dan akupun diam (dari menjelaskan tercelanya seorang rawi demikian juga ta’dilnya), maka kapankah orang yang jahil dapat mengetahui (hadits) yang shahih dari (hadits) yang sakit (dha’if).”
Dan perbuatan ini bukanlah ghibah sebagaimana telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu yang mulia ini. Karena tujuan atau maksud dari para Imam ahli hadits dalam menjarh rawi adalah menyampaikan nasehat demi membela dan menjaga agama Islamagar tidak kemasukan sesuatu yang tidak berasal dari Agama. Ibnu ‘Ulayyah pernah berkata tentang jarh (menerangkan cacat dan cela seorang rawi hadits), “Sesungguhnya ini adalah amanat, bukan ghibah.” Abu Zur’ah ad-Dimasyqi pernah mengatakan, “Aku pernah mendengar Abu Mushir ditanya tentang keadaan seorang rawi yang salah dan waham serta tashhif (salah tulis dalam hadits) ? Beliau menjawab, “Jelaskanlah keadaannya !” Lalu aku bertanya kepada Abu Mushir, “Apakah kamu menganggap yang demikian itu perbuatan ghibah ?” Beliau menjawab, “Tidak.” Abdullâh bin Ahmad bin Hambal mengatakan, “Abu Turab an-Nakhsyabi pernah datang menemui bapakku (Imam Ahmad bin Hanbal), lalu bapakku mulai (menjelaskan keadaan rawi dengan) berkata bahwa, “Si fulan dha’if (lemah), sedangkan si fulan tsiqah (terpercaya).” Lalu Abu Turab menegurnya, “Wahai Syaikh, janganlah engkau mengghibahkan Ulama !” Kemudian bapakku menoleh kepadanya dan menjawab, “Kasihan kau ! Ini nasehat bukan ghibah.”4 Semua ini berpulang kepada satu kaidah besar dalam Islam, yaitu memulangkan sesuatu kepada ahlinya. Orang yang tidak ahli tidak boleh dan tidak dibenarkan berbicara tentang sesuatu disiplin ilmu yang ada dalam Islam. Karena hal itu akan menimbulkan kerusakan di atas kerusakan yang bertumpuk. Atau paling tidak kerusakannya jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya. Ini kalau kita perkirakan ada kemanfaatannya. Bagaimana halnya kalau semuanya adalah kerusakan dan kebinasaan !!! Kewajiban bagi orang yang tidak atau belum tahu adalah bertanya kepada ahlinya, bukan membantahnya atau menegurnya seperti orang yang menegur Amîrul Mukminin fil hadits Abdullâh bin Mubârak dan Imam Ahmad bin Hambal ketika keduanya sedang menjelaskanmana rawi yang tsiqah dan mana rawi yang dha’if. Karena kebodohan yang mereka diamkan, lalu mereka menuduh para Imam ahli hadits telah mengghibahkan manusia khususnya para Ulama !? Padahal perbuatan itu bukanlah ghibah!!! Akan tetapi sebuah nasehat Agama yang sangat besar sekali manfaatnya demi memelihara, menjaga serta mempertahankan Sunnah Nabi yang mulia ﷺ yang membuat iblis bersama bala tentaranya dan para pengikutnya dari para pemalsu hadits terkapar tidak berdaya berhadapan dengan para mujahid besar para Imam ahli hadits. Para Imam itu telah menghabiskan umur mereka untuk membela dan mempertahankan Sunnah Nabi kita yang mulia ﷺ . Amat menakjubkan dan mengharukan saya apa yang telah dilakukan oleh seorang ahli hadits besar pada abad ini tanpa khilaf lagi, bahkan saya kira tidak berlebihan kalau saya sering mengatakan dan menjuluki beliau sebagai seorang amirul Mukminin fil hadits pada abad ini, yaitu Muhammad Nashiruddin al-Albani. Beliau telah mentahqiq dan mentakhrij ulang kitab Targhîb wat Tarhîb karya besar al-Imam al-Mundziri pada usia delapan puluh lima tahun sebagaimana beliau jelaskan sendiri di muqaddimah Shahih Targhib Wat Tarhib (hlm. 12). Saya katakan seperti itu tidaklah dengan serta merta, bukan taqlid buta seperti orang yang sedang memuji dan menyanjung seseorang padahal dia tidak mengetahui keadaan orang yang dipuji dan disanjungnya !!! Tetapi saya mengatakan seperti ini setelah saya mengadakan penelitian dan pendalaman yang terus-menerus dan berkepanjangan dalam safar ilmiyyah yang sangat melelahkan melihat kepada metoda takhrîj Syaikh Albani lebih dari seperempat abad lamanya. Kalau saudara bertanya kepada saya, misalnya tentang sebuah hadits, apakah hadits tersebut telah disahkan oleh al-Albani atau tidak ? Apakah hadits tersebut ada di kitab al-Albani dan di kitabnya yang mana? Tentu sebagiannya atau bahkan sebagian besarnya saya jawab, “Tidak tahu!” Tetapi kalau saudara bertanya kepada saya tentang metoda takhrîj hadits Albani dan ilmuhadits beliau yang demikian tingginya, maka –insyâ Allâhu Ta’ala- saya mampu menjawab sebagiannya atau sebagian besarnya, baik secara umum metoda takhrij hadits di kitab[1]kitab beliau yang ada pada saya dan dapat saya pelajari maupun secara khusus perkitab seperti Irwâ’ atau Silsilah dan lain-lain. Tetapi ingat! Kita tidak pernah memalaikatkan Albani sebagaimana pernah dituduhkan seperti itu kepada kami oleh seorang yang telah membantah Imam besar ini tanpa ilmu kecuali memuntahkan apa yang ada padanya. Ketahuilah! Ini adalah sebuah penelitian dari Diraasah ilmiyyah bukan taqlid. Karena saya –insyâ Allâh – bukanlah muqallid bagi salah seorang imam atau salah satu madzhab. Karena memang demikianlah manhaj ilmiyyah para imam ahli hadits termasuk al-Albani pada abad ini. Meskipun kita mengetahui secara pasti bahwa beliau adalah imam besar seperti saudara-saudaranya sesama Ulama yang dapat salah dan benar karena tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah ﷺ . Begitulah para Imam ahli hadits dari zaman ke zaman sampai tubuh mereka yang telah tua renta tidak sanggup lagi membawa ilmu mereka. Dan itulah salah satu contoh dari seorang imamul jarh wat ta’dil pada abad ini Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani semoga Allâh mengampuninya dan merahmatinya dan memasukkannya ke dalam surga firdaus. Alangkah besar pembelaannya terhadap hadits Nabi yang mulia ﷺ . Bagaimana dengan para Imam ahli hadits sebelumnya seperti al-Hâfi dz Ibnu Hajar رحمه الله , yang dikatakan bahwa para wanita tidak sanggup lagi melahirkan anak yang sepertinya. Kemudian bagaimana dengan adz-Dzahabi Syaikhul jarh wat ta’dil. Al-Hâfi dz Ibnu Hajar pernah meminum air zamzam memohon kepada Allâh عزوجل martabat hapalan seperti Imam adz-Dzahabi. Dan adz-Dzahabi sendiri pernah mengatakan dalam sebuah kitabnya setelah beliau menjelaskan thabaqatul muhadditsin (tingkatan para ahli hadits) mutaqaddimin (yang terdahulu), “ Bahwa orang yang kecil hafalannya pada zaman mereka adalah orang yang paling hafizh pada zaman kita!!!” (yakni pada zaman adz-Dzahabi). Padahal adz-Dzahabi pernah mengatakan tentang keutamaan gurunya yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kalau ada hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyyah maka bukanlah hadits. Sebuah pujian yang benar, bukan omong kosong. Pujian yang beralasan, bukan isapan jempol. Pujian yang nyata bukan hayalan. adz-Dzahabi sungguh telah menyaksikan Syaikhul Islam dengan mata kepalanya akan ketinggian ilmu haditsnya yang tidak ada tandingannya yang telah diakui kealimannya oleh kawan maupun lawan, baik yang se zaman maupun yang sesudahnya. Meskipun demikian adz-Dzahabi mengatakan, “Bahwa orang yang kecil hafalannya pada zaman mereka adalah orang yang paling hafizh pada zaman kita!!!”…. Allahu Akbar !!! Kita kembali ke pokok pembahasan. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa mengambil sesuatu dari ahlinya merupakan salah satu kaidah besar dalam Islam yang telah ditinggalkan, terutama pada zaman kita sekarang ini. Lebih khusus lagi dalam masalah hadits, sebuah masalah besarnya karena berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an. Sehingga mustahil bagi seseorang untuk memahami al-Qur’ân tanpa Sunnah atau Hadits Nabi ﷺ . Perhatikanlah firman Allah عزوجل berikut ini : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (tentang nabi dan kitab-kitab) jika kamu tidak mengetahui, (QS. An-Nahl/16:43) Juga sabda Nabi ﷺ (yang artinya), “Sesungguhnya al-Qur’ân ini tidak turun untuk mendustakan sebagian (ayat)nya dengan (ayat) lainnya, bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kamu ketahui, amalkanlah ! Dan apa-apa yang tidak kamu ketahui, maka kembalikanlah kepada orang yang mengetahuinya (yang alim tentang al-Qur’ân)”. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Mâjah dan lain-lain. Sabda beliau ﷺ ini merupakan kaidah besar dalam masalah keharusan mengembalikan segala permasalahan kepada ahlinya. Sekarang kita sedang berbicara tentang jarh wa ta’dîl (celaan dan pujian terhadap rawi hadits) dan yang berhubungan dengannya, maka kewajiban kita adalah mengembalikan masalah ini kepada ahlinya, bukan kepada orang yang tidak tahu. Dari sini kita mengetahui, siapa saja yang berbicara tentang hadits sementara dia bukan ahlinya ,maka wajib ditolak dan tidak boleh diterima sama sekali serta wajib diumumkan di hadapan manusia bahwa dia orang yang tidak tahu menahu tentang hadits. Perhatikalah beberapa atsar di bawah ini !
  1. Dari Abu Abdirrahman as-Sulami (dia berkata), “Bahwasannya Ali pernah mendatangi seorang qadhi lalu bertanya kepadanya, “Apakah engkau mengetahui nâsikh dan mansûkh ?” Qadhi menjawab, “Tidak.” Kemudian Ali z berkata, “(berarti) Engkau telah binasa dan membinasakan (orang).” (Riwayat Baihaqi dalam kitab Sunannya ,10/117)
  2. Dari Mis’ar, ia berkata, “Aku pernah mendengar Sa’ad bin Ibrahim berkata, ‘Tidak boleh menceritakan dari Rasûlullâh kecuali orang-orang yang tsiqah (terpercaya).” (Riwayat Imam Muslim dalam muqaddimah Shahihnya (1/11-12)
  3. Abu Zinâd mengatakan, “Aku jumpai di Madinah seratus orang, semuanya orang-orang yang amanat, (akan tetapi) tidak satupun hadits diambil dari mereka, dikatakan bahwa mereka bukan ahlinya (yakni bukan ahli hadits)”. (Riwayat Muslim di muqaddimah Shahihnya (1/11)
  4. Dari Sulaiman bin Mûsa , dia berkata, “Aku bertemu dengan Thawus, lalu aku berkata kepadanya, ‘Si Fulan telah menceritakan kepadaku (hadits) ini dan itu, ((Bolehkah aku menerima riwayatnya) ?’ Thâwus menjawab, “Jika temanmu itu seorang rawi tsiqah, maka terimalah riwayat darinya.” Riwayat Muslim di muqaddimah Shahîhnya (1/11)
  5. Berkata Yahya bin Sa’id (al Qaththan), “Aku pernah bertanya kepada Sufyân ats-Tsauri, Syu’bah, Mâlik dan Ibnu Uyainah tentang seorang Rawi yang tidak tsabit (tidak kuat atau lemah) dalam (riwayat) haditsnya. Kemudian datang seorang kepadaku bertanya tentang orang tersebut (yakni tentang rawi yang dha’if itu, apakah boleh aku kabarkan kepadanya bahwa rawi tersebut dha’if) ?” Jawab mereka, “Kabarkan kepadanya bahwa orang tersebut tidak tsabit (tidak kuat).” Riwayat Muslim di Muqaddimah Shahîhnya (1/13).
  6. Berkata Imam Malik, “Ilmu itu tidak boleh diambil kecuali dari ahlinya”. (Rij âlul Muwaththa’ oleh Imam Suyuthi). Ayat al-Qur’an dan hadits di atas serta beberapa atsar dari Sahabat, tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în menjelaskan kepada kita :
Pertama, memulangkan segala sesuatu kepada ahlinya, khususnya dalam urusan hadits yang merupakan masalah besar. Kedua, tidak boleh menceritakan dari Rasulullah kecuali orng-orang yang tsiqah. Tsiqah artinya adil dan dhabith. Adil ialah orang yang baik agamanya, bukan orang fasiq dan tidak taat. Sedangkan dhabith ialah hafal hadits, baik hafalan luar kepala ataupun hafalan kitab, serta dia ahli dalam hadits, sebagaimana telah saya terangkan di kitab Mushtalahul hadits. Ketiga, hadits tidak boleh diterima dari orang yang bukan ahlinya bahkan wajib ditolak. Keempat, wajib mengumumkan orang-orang yang dha’if dan bodoh dalam hadits terlebih para ahli bid’ah yang senantiasa menentang hadits.
  1. Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi wa Âdâbis Sâmi’ oleh Imam al-Khathib al-Baghdâdi 1/168, ditahqiq oleh Doktor Muhammad Ajaaj al-Khathîb
  2. Bacalah Muqaddimah al-Kâmil fi Dhu’afâir Rij âl oleh Ibnu ‘Adi al-Mu’in fi Thabaqâtil Muhadditsin oleh Imam adz-Dzahabi; Muqaddimah Taqribut Tahdzib oleh al-Hafi zh Ibnu Hajar dan Muqaddimah al-Jarhu wat Ta’dil oleh Imam Abi Hatim.
  3. Sub judul ini dari redaks 4.Semua riwayat diatas telah dij elaskan oleh Imam al-Khatib Baghdadi dalam kitab al-Kifâyah fi ‘Ilmir Raayah. Lihat Syarah ‘Ilal Tirmidzi oleh Ibnu Rajab 1/46 dan seterusnya ditahqiq oleh Doktor Nuruddin ‘Itr.
MAJALAH AS-SUNNAH EDISI 09/THN XV/SHAFAR 1433H/JANUARI 2012M

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh