Cadar Menurut Ulama Mazhab Syafi’i
Awal era 90-an, apalagi sebelum 1990, muslimah yang bercadar di nusantara sangat jarang dijumpai. Di mata masyarakat, muslimah yang bercadar tersebut dianggap sangat aneh. Dia menjadi tontonan saat keluar rumah, bahkan sering menjadi bahan cercaan, makian, olokan, dan ejekan. Tidak jarang pula yang merasa ketakutan. Seakan-akan yang dilihat tersebut bukan manusia, melainkan hantu yang gentayangan. Apalagi anak-anak kecil, lebih seru lagi reaksinya.
Itu era 90-an… Bagaimana hari-hari sekarang setelah berlalu hitungan lebih dari seperempat abad?
Di beberapa daerah, pakaian cadar berlanjut keterasingannya dan masih saja dianggap aneh. Namun, alhamdulillah, di banyak daerah masyarakat sudah “terbiasa” melihat pemandangan muslimah yang menutup wajahnya dengan cadar. Jumlah pemakainya pun sangat banyak.
Akan tetapi, sangatlah disayangkan masih tersebar anggapan bahwa cadar adalah simbol bahwa pemakainya pengikut aliran sesat, bagian dari kelompok radikal dan golongan ekstrem. Memang didapati di antara istri para pelaku bom teror di negeri ini ternyata mengenakan cadar. Jadilah cap bahwa muslimah bercadar adalah bagian dari para teroris, wallahul musta’an.
Belum lama, istri seorang pimpinan teroris di Poso yang tertembak mati oleh pasukan keamanan dalam Operasi Tinombala, tertangkap setelah pelariannya selama 5 hari, dalam keadaan mengenakan penutup wajah. Nah, bertambah lagi fitnah bagi muslimah yang bercadar.
Ada juga orang-orang yang tidak memberikan cap buruk kepada cadar. Namun, mereka beranggapan bahwa cadar adalah budaya Arab yang ditiru oleh muslimah di negeri ini. Jadi, menurut mereka, sebenarnya cadar tidak cocok dengan budaya Indonesia.
Karena itulah, ada yang sinis ketika melihat muslimah bercadar, “Tuh yang cadaran merasa berada di negeri Arab. Kok nggak sekalian naik unta aja ke mana-mana.”
Ada juga yang berkata, “Wanita Arab aja banyak yang lepas cadar, kok perempuan Indonesia malah bergaya cadaran.”
Atau kalimat-kalimat cemoohan lain yang intinya menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap muslimah bercadar.
Yang lebih parah, ada yang menganggap bahwa cadar itu bid’ah, perkara yang dibuat-buat dan yang tidak dikenal dalam Islam. Kalaupun ada cadar, itu hanya zaman dahulu, khusus untuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimanakah duduk permasalahan yang sebenarnya? Bagaimana hukum cadar dalam Islam? Apa kata ulama Islam yang terkenal tentang cadar?
Benarkah pemakai cadar dipastikan pengikut aliran sesat, kelompok teroris, membebek budaya Arab, dan mengikuti bid’ah?
Betul bahwa ada di antara kelompok aliran sesat yang wanitanya bercadar. Kelompok teroris juga demikian, ada yang wanitanya bercadar. Akan tetapi, cadar bukanlah ciri khas mereka. Artinya, kalau ada wanita yang bercadar belum tentu dia pengikut aliran sesat, belum tentu dia wanita teroris.
Intinya, jangan mudah memvonis dan menuduh tanpa mengerti hukum dan duduk perkara yang sebenarnya. Jangan pula menyamaratakan. Semua perlu kejelasan dan kepastian.
Yang kita inginkan adalah ilmu yang benar terkait masalah cadar ini agar tidak ada lagi tuduhan dan kecurigaan kepada pemakainya. Tidak pula muncul sikap memukul rata bahwa mereka semua dari aliran atau kelompok yang sama.
Karena di Indonesia banyak kaum muslimin yang mengikuti mazhab Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah, kami hanya akan membawakan ucapan beberapa ulama terkenal dari mazhab Syafi’i. Kami berharap kaum muslimin di negeri ini memiliki ilmu tentang masalah cadar dari mazhab yang mereka percayai dan mereka peluk.
Semoga tulisan ini membuka mata dan hati kaum muslimin di negeri tercinta ini agar tidak salah menilai dan berbuat. Wallahul musta’an.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Siapa yang tidak kenal dengan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah[1], seorang tokoh terdepan dalam mazhab Syafi’i.
Ketika membahas boleh tidaknya seorang wanita melihat ke lelaki ajnabi (bukan mahram), beliau rahimahullah menyatakan,
“Yang menguatkan pendapat ‘boleh’ adalah kaum wanita terus diperkenankan untuk keluar ke masjid, ke pasar, dan melakukan safar (bersama mahramnya –pen.) dalam keadaan mereka berniqab (bercadar) agar para lelaki tidak melihat (wajah) mereka.
Sementara itu, para lelaki sama sekali tidak diperintah untuk memakai niqab agar tidak terlihat oleh kaum wanita. Ini menunjukkan perbedaan hukum antara kedua golongan (laki-laki dan wanita).”
Dengan alasan ini pula al-Ghazali berargumen membolehkan wanita melihat lelaki ajnabi. Dia mengatakan,
“Tidaklah kita mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurat yang tidak boleh dilihat oleh wanita, sebagaimana wajah wanita adalah aurat yang tidak boleh dilihat oleh lelaki.
Wajah wanita itu seperti wajah amrad (anak lelaki yang belum tumbuh jenggotnya sehingga wajahnya tampak manis seperti perempuan –pen.) pada lelaki sehingga diharamkan memandang si amrad. Hanya saja, pengharaman (memandang amrad) ini ketika dikhawatirkan adanya godaan. Apabila tidak timbul fitnah[2], tidak haram.
(Bukti bahwa wajah lelaki bukan aurat, tidak seperti wajah wanita) adalah kaum lelaki sepanjang masa senantiasa terbuka wajahnya (tidak dicadari). Adapun kaum wanita, apabila keluar rumah mereka mengenakan niqab.
Seandainya lelaki dan wanita itu sama dalam hal ini, niscaya kaum lelaki akan diperintah untuk berniqab atau kaum wanita dilarang keluar rumah (agar tidak melihat wajah lelaki yang terbuka).” (Fathul Bari, 9/337)
Ketika menyebutkan ucapan Aisyah radhiallahu ‘anhuma,
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kaum wanita Muhajirat (yang berhijrah meninggalkan negerinya menuju Madinah –pen.). Tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat (artinya), “Hendaklah mereka mengulurkan kerudung-kerudung mereka di atas dada-dada mereka,”[3] mereka memotong-motong muruth, lalu ikhtimar dengannya.
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha مُرُوْطَهُنَّ , muruth adalah jamak dari murth, maknanya izar/sarung/kain…. Ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha فَاخْتَمَرْنَ maksudnya mereka menutupi wajah mereka (dengan potongan muruth).” (Fathul Bari, 8/490)
Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Hajar rahimahullah, “Termasuk hal yang dimaklumi, seorang lelaki yang berakal tentu merasa keberatan apabila lelaki ajnabi melihat wajah istrinya, putrinya, dan semisalnya.” (Fathul Bari, 12/240)
Jalaluddin al-Muhalli Saat menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan wanitanya orang-orang beriman agar mereka mengulurkan jalabib (jilbab-jilbab) mereka di atas tubuh mereka. Hal itu lebih pantas untuk mereka dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ahzab: 59)
seorang tokoh ulama mazhab Syafi’i yang terkemuka, Jalaluddin al-Muhalli rahimahullah[4] mengatakan, “Jalabib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu mala’ah (pakaian panjang) yang menutupi seluruh tubuh wanita. Ayat di atas memerintahkan agar mereka mengulurkan sebagian jilbab tersebut menutupi wajah, saat mereka keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan mereka (tidak ada yang terlihat dari mereka) kecuali satu mata.
Firman-Nya, ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ “hal itu” lebih pantas untuk أَن يُعۡرَفۡنَ “mereka dikenali” bahwa mereka adalah wanita merdeka (bukan budak), فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ “sehingga mereka tidak diganggu”, dengan dihadang (digoda) di jalan.
Berbeda halnya dengan wanita yang berstatus budak, mereka tidak menutupi wajah sehingga orang-orang munafik menghadang mereka (di jalan).
Firman-Nya, وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا“dan adalah Allah Maha Pengampun” terhadap perbuatan mereka tidak berhijab pada masa yang lalu (sebelum turunnya perintah); dan رَّحِيمٗا “Allah Maha Penyayang”, terhadap mereka saat mereka berhijab.” (Tafsir al-Jalalain, hlm. 559, cetakan Darul Hadits)
Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi[5] Nama beliau sering kita dengar. Orang-orang yang menisbatkan diri pada mazhab Syafi’i sudah tentu mengenalnya. Sebab, as-Suyuthi rahimahullah termasuk tokoh besar dalam mazhab Syafi’i . Apa gerangan pendapat beliau tentang cadar atau penutup wajah bagi wanita?
Saat menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala surat al-Ahzab ayat 59 di atas, beliau berkata, “Ayat di atas adalah ayat hijab yang berlaku untuk seluruh wanita. Di dalamnya ada kewajiban menghijabi kepala dan wajah. Ini tidaklah diwajibkan kepada para budak perempuan.”
Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma terkait dengan ayat di atas. Kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para wanita mukminah apabila keluar rumah untuk suatu kebutuhan, hendaknya menutupkan jilbab dari atas kepala mereka (hingga menutupi seluruh tubuh mereka –pen.) dan mereka menampakkan (hanya) satu mata (untuk kebutuhan melihat jalan –pent.).” (al-Iklil fi Istimbath at-Tanzil, hlm. 214, karya as-Suyuthi)
Ibnu Hajar al-Haitami Pernah ada yang bertanya kepada Ibnu Hajar al-Haitami[6] rahimahullah kurang lebih sebagai berikut,
“Di zaman ini banyak kaum wanita keluar rumah menuju ke pasar (untuk berbelanja –pen.) dan masjid untuk mendengar nasihat, mengerjakan thawaf, dan keperluan selainnya di masjid Makkah (Masjidil Haram –pen.).
Namun, para wanita ini keluar dengan penampilan yang aneh (yang tidak dikenal dalam Islam karena Islam tidak mengajar demikian –pen.). Penampilan tersebut secara pasti dapat menggoda kaum lelaki.
Mereka keluar dalam keadaan berhias semaksimal yang mereka sanggupi, dengan berbagai dandanan, bermacam perhiasan dan pakaian, seperti gelang kaki, gelang tangan, dan perhiasan emas yang terlihat pada lengan-lengan mereka, ditambah lagi aroma bukhur (dupa yang semerbak) dan parfum.
Bersamaan dengan itu, mereka menampakkan banyak bagian tubuh mereka, seperti wajah, tangan, dan selainnya. Mereka berjalan berlenggak-lenggok/gemulai yang jelas terlihat bagi orang yang sengaja melihat ke arah mereka ataupun tidak.
Apabila penampilannya demikian, apakah pemimpin negeri dan kalangan yang memiliki kekuasaan serta kemampuan wajib melarang para wanita tersebut keluar rumah? Bahkan, melarang mereka datang ke masjid, sampaipun itu Masjid al-Haram?”[7]
Beliau rahimahullah memberikan jawaban yang panjang. Intinya, beliau menyatakan haramnya pelanggaran syariat yang disebutkan. Beliau juga menetapkan, wajib melarang wanita keluar rumah dalam keadaan yang disebutkan karena dapat menjerumuskan ke dalam godaan.
Di antara ucapan beliau rahimahullah, “Dalam Mansak Ibnu Jama’ah al-Kabir disebutkan, termasuk kemungkaran terbesar yang dilakukan oleh orang-orang awam yang jahil saat thawaf adalah para lelaki berdesak-desakan dengan istri-istri mereka yang dalam keadaan membuka wajah (tidak menutup wajah)….” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 1/201—202)
Demikianlah ucapan alim ulama mazhab Syafi’i. Mereka berbicara didasari oleh ilmu dan ketakwaan, bukan hawa nafsu.
Karena terbatasnya tempat kami hanya bawakan pandangan empat orang di antara mereka sebagai perwakilan. Ini baru ulama mazhab Syafi’i, belum ucapan ulama mazhab yang lain: mazhab Hanafi yang mengikuti pendapat Abu Hanifah rahimahullah, mazhab Maliki yang mengikuti Imam Malik rahimahullah, ataupun mazhab Hambali yang mengikuti pendapat Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah.
Sungguh, tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan cadar itu haram, bid’ah, atau tidak dikenal dalam Islam.
Kalaupun ada di antara mereka yang berpendapat hukum cadar tidak wajib, hanya afdal atau sunnah, tidak ada seorang dari mereka yang mengatakan ‘terlarang bagi muslimah mengenakan cadar’ atau ‘cadar harus ditanggalkan’.
Nah, apabila demikian pendapat para ulama, sekarang apa yang kita permasalahkan saat melihat seorang muslimah bercadar?
Bukankah dia hanya ingin menjalankan perintah agama yang diyakininya? Bukankah dia ingin menjaga kehormatan dirinya dengan menutup tubuhnya secara sempurna?
Bukankah dia ingin menjaga dirinya dari godaan dan mencegah agar dirinya tidak menggoda orang lain?
Apa salahnya seorang muslimah yang bercadar? Bukankah tidak ada dosa yang dilakukannya terkait pakaiannya?
Namun, tentu saja si muslimah harus belajar cara berhijab yang syar’i, cadar yang sesuai syariat, sehingga tidak asal-asalan dalam berhijab.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki [1] Beliau adalah al-Imam al-Hafizh Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani. Beliau lahir dan tumbuh di negeri Mesir, tepatnya di bulan Sya’ban tahun 773 H. Ayah ibu beliau telah wafat saat beliau masik kanak-kanak, sehingga tumbuhlah Ahmad kecil dalam keadaan yatim.
Al-Qur’anul Karim telah selesai beliau hafalkan ketika berusia 9 tahun. Setelah itu rihlah/perjalanan menuntut ilmu agama dimulai. Beliau menuju ke banyak negeri. Dalam banyak bidang ilmu, Ibnu Hajar mencapai kekokohan (mutqin). Mengajar dan menyampaikan khutbah di al-Jami’ al-Azhar termasuk rutinitas beliau.
Karya-karya tulis yang besar manfaatnya banyak beliau hasilkan. Di antara karya monumental beliau adalah kitab Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari. Ibnu Hajar wafat di Mesir pada 8 Dzulhijjah 852 H.
[2] Fitnah yang dimaksud, misalnya, ketika seorang lelaki remaja/dewasa memandang wajah anak lelaki yang manis yang belum tumbuh jenggotnya, tergerak syahwatnya sebagaimana tergerak saat memandang wanita.
Apabila terjadi yang seperti ini, si lelaki diharamkan memandang wajah amrad.
[3] Surah an-Nur: 31
[4] Beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Muhalli asy-Syafi’i, termasuk tokoh ulama ahli ushul, alim dalam bidang tafsir dan fikih.
Karya-karya beliau memberikan manfaat kepada orang banyak. Di antara karyanya adalah Tafsir al-Jalalain yang disempurnakan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dan kitab Kanzu ar-Raghibin fi Syarh al-Minhaj.
Beliau lahir di Kairo pada 791 H dan wafat pada 864 H.
[5] Julukan beliau ialah Jalaluddin, nama beliau adalah Abdur Rahman bin Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin al-Khudhairi as-Suyuthi asy-Syafi`i. Beliau lahir di Kairo pada 849 H.
Beliau mengkhatamkan al-Qur’an pada usia 8 tahun. Menuntut ilmu ke banyak negeri, beliau tempuh. Dalam rihlah ilmiah tersebut beliau mempelajari ilmu nahwu, bahasa, fikih, hadits, dan ilmu-ilmu syar`i lainnya.
Saat mencapai usia 40 tahun, beliau fokus beribadah dan menyusun karya tulis. Murid-murid Jami’ al-Azhar berguru kepada beliau. Karya-karya beliau menjadi pegangan di Jami’ tersebut.
Di antara karya beliau adalah al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim ibnul Hajjaj, dll.
Beliau wafat di Kairo pada 911 H.
[6] Beliau digelari Syihabuddin. Nama beliau Ahmad bin Muhammad al-Haitami. Lahir pada 909 H di sebuah daerah di negeri Mesir.
Beliau seorang yang faqih, muhaddits, dan mencapai imamah, yakni ketokohan, keteladanan, dan panutan dalam mazhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah.
Beliau memiliki banyak karya tulis, di antaranya Mablagh al-Arabi fi Fadhail ‘Arab, Tuhfah al-Muhtaj li Syarh al-Minhaj. Beliau wafat pada 974 H.
[7] Pertanyaan di atas terkait dengan masa 500 tahun yang lalu. Tergambar dalam pertanyaan tersebut kondisi wanita sudah sedemikian parah.
asysyariah.com
No comment yet, add your voice below!