Skip to content
Dosa Dosa Yang Dianggap Biasa Bagian 7 Melanjutkan tentan dosa dosa yang dianggap biasa di bagian yang keenam berikut ini.
  1. Mencuri
Allah ﷻ berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S; Al Maidah: 38 ). Di antara kejahatan pencurian yang paling besar adalah mencuri barang-barang milik jama’ah haji dan mereka yang sedang melaksanakan umrah ke Baitullah di Mekkah. Pencuri semacam ini tidak lagi memperhitungkan ketentuan- ketentuan Allah ﷻ bahwa ia sedang berada di bumi yang paling mulia di sekeliling Ka’bah. Dalam kisah tentang shalat kusuf Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Dan sungguh telah diperlihatkan api neraka, yaitu saat kalian melihatku mundur karena aku takut hangus (oleh jilatannya) dan sehingga aku melihat di dalamnya pemilik mihjan (tongkat berkeluk kepalanya) menyeret ususnya di dalam nereka. Dahulunya ia mencuri (barang milik) orang yang haji. Jika ketahuan, ia berkilah; “Barang itu terpaut di mihjanku”, tetapi jika orang itu lengah dari barangnya, maka si pencuri membawanya (pergi) “. [80] Termasuk mencuri terbesar adalah mencuri harta milik umum. Sebagian orang yang melakukannya berdalih, kami mencuri sebagaimana yang dilakukan orang lain. Mereka tidak memahami bahwa pencurian itu berarti mencuri dari harta segenap umat Islam. Sebab harta milik umum berarti milik segenap umat Islam. Sedangkan apa yang dilakukan oleh orang lain yang tidak takut kepada Allah ﷻ, bukanlah alasan sehingga mereka dibiarkan mencuri. Sebagian orang mencuri harta milik orang-orang kafir dengan menjadikan kekafiran mereka sebagai dalih. Ini tidak benar. Orang kafir yang hartanya boleh diambil adalah mereka yang memerangi umat Islam. Padahal, tidak semua perusahaan milik orang-orang kafir atau individu dari mereka masuk dalam kategori tersebut. Modus pencurian amat beragam. Di antaranya mencopet, mengulurkan tangan ke saku orang lain dengan cepat dan mengambil isinya. Sebagian masuk rumah orang lain dengan kedok sebagai tamu, lalu menjarah barang-barang di dalam rumah. Sebagian lain mencuri dari koper atau tas tamunya. Ada pula yang masuk ke toko atau supermarket lalu mengutil barang yang kemudian ia selipkan di balik baju, seperti yang dilakukan sebagian wanita. Sebagian orang meremehkan pencurian sesuatu yang jumlahnya sedikit atau tak berharga, padahal Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur sehingga dipotong tangannya, dan (pencuri) yang mencuri seutas tali sehingga ia dipotong tangannya”. [81] Setiap orang yang mencuri sesuatu, betapapun kecil nilainya, harus dikembalikan kepada pemiliknya, setelah sebelumnya ia bertaubat kepada Allah ﷻ. Pengembalian itu baik secara terang-terangan atau rahasia, secara pribadi atau perantara. Adapun jika tak mampu setelah usaha maksimal untuk mengembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya, maka hendaknya ia menyedekahkan barang tersebut dengan niat pahalanya untuk pemilik barang tersebut.
  1. Memberi Atau Menerima Suap
Memberi uang suap kepada qadhi atau hakim agar ia membungkam kebenaran atau melakukan kebathilan merupakan suatu kejahatan. Sebab perbuatan itu mengakibatkan ketidak-adilan dalam hukum, penindasan orang yang berada dalam kebenaran serta menyebarkan kerusakan dimuka bumi. Allah ﷻ berfirman: “Dan janganlah sebagaian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda sebagian orang lain itu, dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (Q.S; Al Baqarah: 188). Dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu disebutkan: “Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam (urusan) hukum”. [82] Adapun jika tak ada jalan lain lagi selain suap untuk mendapatkan kebenaran atau menolak kezhaliman maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman tersebut. Saat ini, suap menyuap sudah menjadi kebiasaan umum, bagi sebagian pegawai, suap menjadi (income) pemasukan yang hasilnya lebih banyak dari gaji yang mereka peroleh. Untuk urusan suap menyuap banyak perusahaan dan kantor yang mengalokasikan dana khusus. Berbagai urusan bisnis atau mua’malah lainnya, hampir semua dimulai dan diakhiri dengan tindak suap. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang miskin. Karena adanya suap, undang-undang dan peraturan menjadi tak berguna lagi. Karena suap pula yang menjadikan orang yang berhak diterima sebagai karyawan digantikan mereka yang tidak berhak. Dalam urusan administrasi misalnya, pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang mau membayar, adapun yang tidak membayar, ia akan dilayani asal-asalan, diperlambat, atau diakhirkan. Pada saat yang sama, para penyuap yang datang belakangan, urusannya telah selesai sejak lama. Karena soal suap menyuap, uang yang semestinya milik mereka yang bekerja, bertukar masuk kedalam kantong orang lain, disebabkan oleh hal ini, juga hal yang lain, maka tak heran jika Rasulullah ﷺ‬ memohon agar orang-orang yang memiliki andil dalam urusan suap-menyuap semuanya dijauhkan dari rahmat Allah ﷻ. Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Laknat Allah atas penyuap dan orang yang disuap”. [83]
  1. Merampas Tanah Milik Orang Lain
Jika telah hilang rasa takut kepada Allah ﷻ, maka kekuatan dan kelihaian menjadi bencana bagi pemiliknya. Ia akan menggunakan anugerah itu untuk berbuat zhalim, misalnya dengan menguasai harta orang lain. Termasuk di dalamnya merampas tanah milik orang lain. Ancaman untuk orang yang melakukan hal tersebut sungguh amat keras sekali. Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu disebutkan: “Barang siapa mengambil tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak, niscaya ia akan ditenggelamkan dengannya pada hari kiamat sampai ke(dasar) tujuh lapis bumi”.[84] Ya’la bin Murrah Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Siapa yang menzhalimi (dengan mengambil) sejengkal dari tanah (orang lain), niscaya Allah membebaninya dengan menggali tanah tersebut”. (dalam riwayat Ath Thabrani : “menghadirkannya”) hingga akhir dari tujuh lapis bumi, lalu Allah mengalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sehingga seluruh manusia diadili”.[85] Termasuk di dalamnya, mengubah batas dan patok-patok tanah, sehingga tanahnya menjadi luas dengan mengurangi tanah milik tetangganya. Mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ‬ dalam sabdanya: “Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah”.[86]
  1. Menerima Hadiah Setelah Menolong
Pangkat dan kedudukan di tengah manusia -jika disyukuri- merupakan salah satu nikmat Allah ﷻ atas hamba-Nya. Di antara cara bersyukur atas nikmat ini adalah dengan menggunakan pangkat dan kedudukan tersebut buat mashlahat dan kepentingan umat. Ini merupakan realisasi dari sabda Rasulullah ﷺ‬ : “Barangsiapa di antara kalian bisa memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan”. [87] Orang yang dengan pangkatnya bisa memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, baik dalam mencegah kezhaliman daripadanya atau mendatangkan manfaat untuknya -jika niatnya ikhlas- tanpa diikuti dengan perbuatan haram, atau merugikan orang lain, maka ia akan mendapat pahala di sisi Allah ﷻ. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ‬ : “Berilah pertolongan, niscaya kalian diberi pahala” [88] Tetapi ia tidak boleh mengambil upah dari pertolongan dan perantaraan yang ia berikan. Ini berdasarkan hadits marfu’ dari Abu Umamah Radhiallahu’anhu : “Barang siapa memberi pertolongan kepada seseorang, lalu ia diberi hadiah (atas pertolongan itu), kemudian ia (mau) menerimanya, sungguh ia telah mendatangi pintu yang besar di antara pintu-pintu riba”. [89] Sebagian orang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan materi. Misalnya dengan mensyaratkan imbalan dalam pangangkatan kepegawaian seseorang, atau dalam memindah tugaskan pegawai dari satu daerah ke daerah lain, atau juga dalam mengobati pasien yang sakit, dan hal lain yang semacamnya. Menurut pendapat yang kuat, imbalan yang diterimanya itu hukumnya haram. Berdasarkan hadits Abu Umamah Radhiallahu’anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Bahkan secara umum hadits itu mencakup pula penerimaan imbalan yang tidak disyaratkan di muka [90]. Cukuplah orang yang berbuat baik itu mengharap imbalannya dari Allah ﷻ kelak pada hari kiamat. Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Al Hasan bin Sahal meminta pertolongan dalam suatu keperluan, sehingga ditolongnya. Laki-laki itu berterima kasih kepada Al Hasan. Tetapi Al Hasan bin Sahal berkata: “Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami? Kami memandang bahwasanya pangkat wajib dizakati, sebagaimana harta wajib dizakati.” [91] Perlu dicatat, ada perbedaan antara mengupah dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas, mengawasi atau menyempurnakannya dengan menggunakan pangkat dan kedudukannya untuk tujuan materi. Yang pertama, jika memenuhi persyaratan syari’at diperbolehkan karena termasuk dalam bab sewa menyewa, sedang yang kedua hukumnya haram.
  1. Tidak Memenuhi Hak-Hak Pekerja
Dalam hubungan antara pemilik usaha dengan pekerja, Nabi ﷺ‬ menganjurkan disegerakannya pemberian hak pekerja, beliau bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya”.[92] Salah satu bentuk kezhaliman ditengah masyarakat muslim adalah tidak memberikan hak-hak pegawai, pekerja, karyawan atau buruh sesuai dengan yang semestinya. Bentuk kezhaliman itu beragam di antaranya:
  1. Sama sekali tidak memberikan hak-hak pekerja, sedang si pekerja tidak memiliki bukti. Dalam hal ini, meskipun si pekerja kehilangan haknya di dunia, tetapi di sisi Allah ﷻ pada hari kiamat kelak, hak tersebut tidak hilang. Orang zhalim itu karena telah memakan harta orang yang didzhaliminya, diambil daripadanya kebaikan yang pernah ia lakukan untuk diberikan kepada orang yang didzhalimi. Jika kebaikannya telah habis, maka dosa yang ia dzhalimi itu diberikan kepadanya, lalu ia dicampakkan ke neraka.
  2. Mengurangi hak pekerja dengan cara yang tidak dibenarkan. Allah ﷻ berfirman:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang”. (Q.S; Al Muthaffifin: 1). Hal itu sebagaimana banyak dilakukan pemilik usaha terhadap para pekerja yang datang dari daerah. Di awal perjanjian, mereka sepakat terhadap jumlah upah tertentu. Tetapi jika si pekerja telah terikat dengan kontrak dan memulai pekerjaannya, pemilik usaha mengubah secara sepihak isi perjanjian, lalu mengurangi dan memotong upah pekerjaannya dengan berbagai dalih. Si pekerja tentu tidak bisa berkutik dengan posisinya yang serba sulit; antara kehilangan pekerjaan dan upah di bawah batas minimum. Bahkan terkadang si pekerja tak mampu membuktikan hak yang mesti ia terima, akhirnya si pekerja hanya bisa mengadukan masalahnya kepada Allah ﷻ. Jika pemilik usaha yang dzhalim itu seorang muslim sedang pekerjanya seorang kafir, maka kedzhaliman yang dilakukannya termasuk bentuk menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, sehingga dialah yang menanggung dosa orang tersebut.
  1. Memberi pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tetapi hanya memberikan gaji pokok dan tidak memperhitungkan pekerjaan tambahan dan waktu lembur.
  2. Mengulur-ulur pembayaran gaji, sehingga tidak memberikan gaji kecuali setelah melalui usaha keras pekerja, baik berupa pengaduan, tagihan hingga usaha lewat pengadilan.
Mungkin maksud pengusaha menunda-nunda pemberian gaji agar si pekerja bosan, lalu meninggalkan haknya dan tidak lagi menuntut. Atau selama tenggang waktu tertentu, ia ingin menggunakan uang pekerja untuk suatu usaha. Dan tidak mustahil ada yang membungakan uang tersebut, sedang pada saat yang sama, para pekerja merana tidak mendapatkan apa yang dimakan sehari-hari, juga tak bisa mengirim nafkah kepada keluarga dan anak-anaknya yang sangat membutuhkan, padahal demi merekalah para pekerja itu membanting tulang jauh di negeri orang. Sungguh celakalah orang yang dzhalim itu, kelak pada hari kiamat mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih dari Allah ﷻ. Dalam riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu disebutkan, bersabda Rasulullah ﷺ‬ : Allah ﷻ berfirman: “Tiga jenis (manusia) yang Aku menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, laki-laki yang memberi dengan nama-Ku, lalu berkhianat, laki-laki yang menjual orang merdeka (bukan budak) lalu memakan harga uang hasil penjualannya dan laki-laki yang mempekerjakan orang lain, sedang ia memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya”. [93]
  1. Tidak Adil Di Antara Anak
Di antara orang tua ada yang sengaja memberikan perlakuan khusus dan istimewa kepada sebagian anaknya, anak-anak itu diberikan berbagai macam pemberian, sedangkan yang lain tidak demikian. Menurut pendapat yang kuat, tindakan semacam itu hukumnya haram, jika tidak ada alasan yang membolehkannya. Misalnya anak tersebut memang dalam kondisi yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Seperti sedang sakit, dililit banyak utang sehingga tak mampu membayar, tidak mendapat pekerjaan, memiliki keluarga besar, sedang menuntut ilmu atau karena ia hafal Al Qur’an sehingga ia diberi hadiah khusus oleh sang ayah [94]. Jika sang ayah memberi anaknya sesuatu dengan sebab yang dibenarkan syara’, hendaknya ia berniat jika anaknya yang lain dalam kondisi yang sama, ia akan memberinya pula. Dalilnya secara umum adalah firman Allah ﷻ: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah”. (Q.S; Al Maidah: 8). Adapun dalilnya secara khusus adalah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radhiallahu’anhu : Suatu hari sang ayah mengajaknya kepada Rasulullah ﷺ‬, sang ayah berkata: “Sesungguhnya aku telah memberikan kepada putraku ini seorang budak”. Rasulullah ﷺ‬ bertanya: “Apakah setiap anakmu juga engkau beri hal yang sama?”, ia menjawab: “Tidak!”, Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Kembalikanlah (budak itu)”. [95] Dalam riwayat yang lain Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah di antara anak-anakmu”. Ia berkata: “Kemudian ia pulang lalu mengembalikan pemberiannya”. [96] Dalam suatu riwayat disebutkan: “Jika demikian, janganlah engkau menjadikan aku sebagai saksi, karena aku tidak memberi kesaksian atas suatu kedzhaliman “. [97] Menurut Imam Ahmad rahimahullah: “Anak laki-laki mendapat pemberian dua kali lipat bagian anak perempuan, yakni seperti dalam pembagian warisan [98]. Bila kita perhatikan kondisi sebagian keluarga, kita akan mendapatkan beberapa orang tua yang tidak takut kepada Allah ﷻ dalam soal pengistimewaan sebagian anaknya atas anaknya yang lain dengan berbagai pemberian. Tindakan yang kemudian membuat anak saling cemburu, menumbuhkan permusuhan dan kebencian di antara sesama mereka. Sebagian ayah mengistimewakan salah seorang anaknya hanya karena wajah anak tersebut mirip dengan keluarga dari pihak ayah, sedang yang lain dianak tirikan karena lebih menyerupai dengan wajah keluarga pihak ibu. Atau ia mengistimewakan anak-anak dari salah seorang istrinya, sedang anak-anak dari istri yang lain kurang ia pedulikan. Hal itu misalnya dengan memasukkan anak-anak dari istri yang paling disayanginya ke sekolah-sekolah favorit, sedang anak-anaknya dari istri yang lain tidak demikian. Padahal akibat tindakan tersebut kelak akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebab pada umumnya, mereka yang dianak tirikan tidak mau membalas budi kepada orang tuanya. Dalam hal ini Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Bukankah akan menyenangkanmu jika mereka sama-sama berbuat baik kepadamu”. [99]
  1. Meminta-Minta Di Saat Berkecukupan
Sahl bin Handzhaliyah Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bersabda Rasulullah ﷺ‬ : “Barang siapa meminta-minta sedang ia dalam keadaan berkecukupan, sungguh orang itu telah memperbanyak (untuk dirinya) bara api Jahannam”. Mereka bertanya: “Apakah (batasan) cukup sehingga (seseorang) tidak boleh meminta-minta? Beliau menjawab: “Yaitu sebatas (cukup untuk) makan pada siang dan malam hari”. [100] Ibnu Mas’ud t meriwayatkan, bersabda Rasulullah ﷺ‬ : “Barang siapa meminta-minta sedang ia dalam kecukupan, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan wajah penuh bekas cakaran dan garukan”.[101] Diantara pengemis ada yang berderet di depan pintu masjid, mereka menghentikan dzikir para hamba Allah ﷻ yang menuju atau pulang dari masjid dengan ratapan yang dibuat sesedih mungkin. Sebagian lain memakai modus agak berbeda, membawa dokumen dan berbagai surat palsu disertai blangko isian sumbangan. Ketika ia menghadapi mangsanya, ia mengada-adakan cerita sehingga berhasil mengelabui dan memperoleh uang. Bagi keluarga tertentu, mengemis bahkan telah menjadi suatu profesi. Mereka membagi-bagi tugas di antara keluarganya pada beberapa masjid yang ditunjuk. Pada saatnya, mereka berkumpul untuk menghitung penghasilan. Dan demikianlah, setiap masjid mereka jelajah. Padahal tak jarang mereka itu dalam kondisi cukup mampu dan sungguh Allah ﷻ Maha Mengetahui kondisi mereka, dan bila mereka mati barulah terlihat warisannya. Padahal sebetulnya masih banyak orang yang lebih membutuhkan, tetapi orang yang tidak tahu mengira mereka orang-orang mampu. Sebab mereka menahan diri dari meminta-minta, meskipun tuntutan kebutuhan sangat menjerat.
  1. Berhutan Dengan Niat Tidak Membayar
Dalam pandangan Allah ﷻ, hak-hak hamba adalah sangat besar nilainya. Seseorang bisa saja bebas dari hak Allah ﷻ hanya dengan bertaubat. Tetapi tidak demikian halnya dengan hak yang berkaitan dengan hamba. Hak-hak yang berkaitan antar sesama manusia -yang belum terselesaikan- kelak akan diadili pada hari yang utang-piutang tidak dibayar dengan dinar atau dirham, tetapi dibayar dengan pahala atau dosa. Dalam kaitan hak antar sesama manusia Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.(Q.S; An Nisa: 58). Di antara masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah gampang berhutang. Ironisnya, sebagian orang berhutang tidak karena kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan luks atau berlomba dengan tetangga-tetangganya. Misalnya dalam membeli mobil model baru, perkakas rumah tangga atau berbagai kesenangan lainnya yang bersifat duniawi dan fana. Sebagian orang tak segan-segan membeli barang-barang secara kredit yang sebagiannya tak lepas dari syubhat atau sesuatu yang haram. Mudah dalam berhutang akan menyeret seseorang pada kebiasaan menunda-nunda pembayaran, atau malah mengakibatkan hilangnya barang orang lain. Memperingatkan akibat perbuatan ini, Rasulullah ﷺ‬ bersabda: “Barang siapa mengambil atau (berhutang) dan ia ingin melunasinya, niscaya Allah ﷻ akan melunaskan hutangnya. Dan barang siapa mengambil (berhutang) dengan keinginan untuk merugikannya (tidak membayar), niscaya Allah ﷻ akan benar-benar membinasakannya”. [102] Banyak orang yang meremehkan soal hutang piutang, mereka menganggapnya masalah yang remeh , padahal di sisi Allah ﷻ hutang-piutang merupakan masalah yang besar. Bahkan hingga seorang syahid sekalipun yang memiliki beberapa keistimewaan yang agung, pahala yang besar dan derajat yang tinggi, tidak bisa lepas dari urusan hutang-piutang. Dalil yang menegaskan hal tersebut adalah sabda Rasulullah ﷺ‬ : “Maha Suci Allah, betapa kerasnya apa yang diturunkan Allah dalam urusan hutang-piutang, Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian ia dihidupkan, lalu terbunuh (lagi) kemudian dihidupkan lagi, lalu terbunuh (lagi), sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk surga sehingga dibayarkan untuknya hutang tersebut”. [103] Setelah mengetahui hal ini, masih tak pedulikah orang-orang yang menggampangkan urusan hutang-piutang? Berlanjut insyaallah.. Referensi: [1] . Hadits riwayat Hakim: 2/ 375 dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam Ghaayatul Maram, hal: 14. [2] . Hadits riwayat Muslim, kitab al fadhail, hadits No; 130, tahqiq. Abdul Baqi. [3] . Hadits riwayat Abu Daud : 3486, shahih Abi Daud No: 977 (hadits ini disepakati keshahihannya. Bin Bazz rahimahullah). [4] . Hadits shahih riwayat Daruquthni; 3/7. [5] . Muttafaq ‘alaih. Bukhari, hadits; No: 2511 cet. Al Bugha. [6] . Hadits riwayat Bukhari, Fathul Bari : 8/ 176. [7] . Hadits riwayat Muslim, kitab shahih Muslim; No : 1978, tahqiq. Abdul Baqi. [8] . Lihat Taisirul Azizil Hamid, cet. Al Ifta’. Hal: 158. [9] . Hadits riwayat Baihaqi, As Sunanul Kubra; 10/ 116. Sunan Tirmidzi; No: 3095. Syaikh Al Bani rahimahullah menggolongkannya kedalam hadits hasan. Lihat Ghaayatul Maram : 19. [10] . Hadits riwayat Ahmad; 2/ 429 dalam Shahihul Jami’, hadits No: 5939. [11] . Shahih Muslim, 4/ 1751. [12] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 2/ 333. [13] . Hadits riwayat Ahmad, 4/ 156 dan dalam Silsilah Shahihah, No; 492. [14] . Hadits riwayat Muslim, 4/ 2289. [15] . Hadits riwayat Muslim, hadits; No : 2985. [16] . Hadits riwayat Ahmad, 1/ 389, dalam Shahihul Jami’; No: 3955. [17] . Hadits riwayat Thabrani dalam Al Kabiir; 18/ 162, lihat; Shahihul Jami’ No; 5435. [18] . Hadits riwayat Ahmad; 2/ 220, Silsilah as shahihah; No: 1065. (hadits ini lemah, sebaiknya disebutkan dengan menjelaskan kelemahannya, Bin Bazz rahimahullah). [19] . Hadits riwayat Abu Daud; No: 3910, dalam silsilah shahihah; No: 430. [20] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 11/ 530. [21]. Hadits riwayat Ahmad; 2/ 125, lihat pula Shahihul Jami’; No: 6204. [22] . Hadits riwayat Abu Daud; No: 3253, dan dalam Silsilah Shahihah; No: 94. [23] . Hadits riwayat Bukhari, lihat fathul Bari; 11/ 536. [24]. (Yang benar hendaknya diucapkan dengan kata “kemudian”. Misalnya, saya berhasil karena Allah ﷻ kemudian karena dirimu. Demikian pula hendaknya dalam lafadz-lafadz yang lain.Bin Baz). [25] . Demikian pula dengan setiap kalimat yang mengandumg pencelaan terhadap waktu, seperti, ini zaman edan, ini saat yang penuh kesialan, zaman yang memperdaya. Sebab pencelaan kepada masa akan kembali kepada Allah ﷻ, karena Dialah yang menciptakan masa tersebut. [26]. Untuk pembahasan yang lebih luas, lihat mu’jamul manahi Al Lafdziyyah, syaikh Bakr Abu Zaid. [27]. Hadits riwayat Imam Ahmad, 5/ 310 dan dalam Shahihul jami’ hadits no: 997. [28] . Thuma’ninah adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan, para Ulama memberi batasan minimal dengan lama waktu yang diperlukan ketika membaca tasbih. Lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq: 1/ 124 ( pent). [29] . Hadits riwayat Abu Daud; 1/ 533, dalam shahihul jami’, hadits; No: 7224. [30] . Sujud dengan cara mematuk maksudnya: Sujud dengan cara tidak menempelkan hidung dengan lantai, dengan kata lain, sujud itu tidak sempurna, sujud yang sempurna adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas t bahwasanya ia mendengar Nabi ﷺ‬ besabda: “Jika seseorang hamba sujud maka ia sujud denga tujuh anggota badan(nya), wajah, dua telapak tangan,dua lutut dan dua telapak kakinya”. HR. Jama’ah, kecuali Bukhari, lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq: 1/ 124. [31] . Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya: 1/ 332, lihat pula shifatus shalatin Nabi, Oleh Al Albani hal: 131. [32]. Hadits riwayat Abu Dawud; 1/ 581; dalam shahihil jami’ hadits; No: 7452 (Imam Muslim meriwayatkan hadits senada dari Mu’aiqib , Bin Baz) [33]. Hadits riwayat Baihaqi dalam As Sunanul Kubra:10/ 104; dalam As Silsilah As Shahihah hadits; No: 1795. [34] . Hadits riwayat Muslim; 1/ 320-321. [35] . Hadits riwayat Muslim, hadits; No: 474,tahqiq. Abdul Baqi. [36]. Hadits riwayat Baihaqi; No: 2/ 93, dan hadits tersebut dihasankan dalam Irwa’ul Ghalil; 2/ 290. [37] . Hadits riwayat Bukhari, hadits; No: 476, cet. Al Bagha. [38] . Hadits riwayat Bukhari, lihat; Fathul Bari; 2/ 339. [39] . Hadits riwayat Muslim; 1/ 395. [40] . Hadits riwayat Muslim; 1/ 396. [41] . Hadits riwayat Muslim; 1/ 102-103. [42] . Hadits riwayat Ahmad; 1/ 300, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 6565. [43] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 6/ 314. [44] . Lihat Zawaidul Bazzar; 2/ 181, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 547. [45] . Hadits riwayat Ahmad; 5/ 277, dalam Shahihul Jami’; hadits; No: 2703. [46] . Hadits riwayat Thabrani dalam; Al Kabir; 17/ 339, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 1934. [47] . Hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah t; 1/ 243, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 5918. [48]. Yang benar adalah dia boleh memilih antara membayar kaffarat satu dinar atau setengahnya. Baik di awal haid atau di akhirnya. Adapun dinar adalah senilai 4/6 junaih Saudi, sebab satu junaih Saudi sama dengan 1, ¾ dinar, Bin Baz. [49] . Hadits riwayat Ahmad; 2/479, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 5865. [50] . Hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah t; 1/243, dalam Shahihul Jami’, hadits No: 5918. [51] . Hadits riwayat Abu Daud; 2/ 601, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 6491. [52] . Hadits riwayat Tirmidzi; 3/ 474 [53] . Hadits riwayat Muslim; 4/ 1711. [54] . Hadits riwayat Thabrani dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 4921. [55] . Hadits riwayat Ahmad; 1/ 412, Shahihul Jami’; 4126. [56] . Hadits riwayat Ahmad; 6/ 357, dalam Shahihul Jami’, hadits; No: 2509. [57] . Hadits riwayat Thabrani dalam Al Kabir; 24/ 342, Shahihul Jami’; 70554, lihat; Al Ishabah; 4/ 354, cet. Darul Kitab Al ‘Arabi. [58] . Hadits riwayat Ahmad; 4/ 418, Shahihul Jami’; 105. [59] . Hadits riwayat Ahmad; 2/ 444, Shahihul Jami’; 2073. [60] . Hadits riwayat Muslim; 2/ 977 [61] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 11/ 26. [62] . Hadits marfu’ riwayat Ahmad; 2/ 69, Shahihul Jami’; 3047. [63] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 8/ 45. [64] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 8/ 45. [65]. Mula’anah saling melaknat antara suami dengan istri, karena tuduhan zina. [66]. Hadits riwayat Abu Daud; 2/ 695, lihat Misykatul Mashabih; 3316. [67] . Hadits riwayat Muslim; 3/ 1219. [68]. Hadits riwayat Hakim dalam Mustadrak; 2/ 37, Shahihul Jami’; 3533. [69] . Hadits riwayat Ahmad; 5/ 225, lihat Shahihul Jami’; 3375. [70] . Hadits riwayat Hakim; 2/ 37, Shahihul Jami’; 3542. [71]. Seperti untuk membangun W.C umum atau yang semisalnya. (pent). [72] . Hadits riwayat Muslim; 1/ 99. [73] . Hadits riwayat Ibnu Majah; 2/ 754, Shahihul Jami’; 6705. [74] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 4/ 328. [75] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/ 484. [76] . Lihat Silsilatul Ahadits Shahihah; 1057. [77] . Hadits riwayat Ahmad; 1/ 129, Ahmad Syakir berkata; Isnad hadits ini shahih, hadits; No: 1065 (hadits tersebut terdapat dalam shahihain, Bin Baz). [78]. Tentang hukum asuransi dan solusinya menurut Islam, lihat majalah; Al buhuts Al Islamiyah; edisi; 17,19.20. terbitan Ar Ri’asatul Aammah Li Dirasatil Ilmiyah. [79]. Ini merupakan ringkasan diskusi bersama Syaikh Abdul Muhsin Az Zamil, semoga Allah ﷻ menjaganya, kalau tidak salah beliau telah menulis makalah khusus tentang masalah ini. [80] . Hadits riwayat Muslim; 904. [81] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 12/ 81. [82] . Hadits riwayat Ahmad; 2/ 387, Shahihul Jami’; 5069. [83] . Hadits riwayat Ibnu Majah; 2313, Shahihul Jami’; 5114. [84] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 5/ 103. [85].Hadits riwayat Thabrani dalam Al Kabir; 22/ 270, ShahihulJami’;2719. [86] . Hadits riwayat Muslim; Syarh Nawawi; 13/ 141. [87] . Hadits riwayat Muslim; 4/ 1726. [88] . Hadits riwayat Abu Daud; 5132, hadits ini terdapat dalam shahihain, Fathul Bari; 10/ 450, kitab adab; bab ta’awunul mukminin ba’dhuhum ba’dhan. [89] . Hadits riwayat Ahmad; 5/ 261, Shahihul Jami’; 6292. [90] . Diambil dari keterangan syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan. [91]. Al Adab Asy Syar’iyah oleh Ibnu Muflih : 2/176. [92]. Hadits riwayat Ibnu Majah, 2/817; Shahihul Jami’ 1493 (lebih bijaksana jika dikomentari tentang derajat hadits, sebab ia termasuk Hadits dhaif). [93] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul bari; 4/ 447. [94]. Secara umum, hal ini dibolehkan manakala masih dalam hal memberi nafkah kepada anak yang lemah, sedang sang ayah mampu. Bin Baz. [95] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 5/ 211. [96] . Fathul Bari; 5/ 211. [97] . Shahih Muslim; 3/ 1243. [98] . Masa’ilul Imam Ahmad, oleh Abu Dawud, hal. 204. Imam Ibnul Qayyim telah mentahqiq masalah ini dalam Hasyiah Ala Abi Daud dengan keterangan yang sangat jelas. [99] . Hadits riwayat Ahmad; 4/ 269, shahih Muslim; 1623. [100] .Hadits riwayat Abu Daud; 2/ 281, Shahihul Jami’; 6280. [101]. Hadits riwayat Ahmad; 1/ 388, Shahihul Jami’; 6255. Dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah t disebutkan: “Barang siapa meminta-minta harta manusia agar dapat mengumpulkan harta banyak-banyak, sungguh ia telah meminta bara api, maka silahkan ia mengurangi atau memperbanyak”. Bin Baz. [102] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 5/ 54. [103] . Hadits riwayat Nasa’i, lihat Al Mujtaba; 7/ 314, Shahihul Jami’; 3594. [104] . Hadits riwayat Thabrani dalam Al Kabir; 19/ 136, ShahihulJami’; 4495. [105] . Hadits riwayat Muslim; 3/1587. [106]. Hadits riwayat Thabrani; 12/45, Shahihul Jami’; 6525. [107]. Hadits riwayat Ahmad; 5/ 342, Shahihul Jami’; 5453. [108] . Hadits riwayat Muslim; 3/1587. [109] . Hadits yang mengatakan: “Semua yang banyak jika memabukkan, maka sedikitpun diharamkan” telah diriwayatkan Abu Dawud dengan No : 3681, tertera dalam Shahihnya dengan no: 3128). [110] . Hadits riwayat Ibnu Majah; 3377, Shahihul Jami’; 6313. [111] . Hadits riwayat Muslim; 3/1634. [112]. Diambil dari keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan. [113] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 5/261. [114] . Tafsir Ibnu Katsir: 6/333. [115] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/ 51. [116]. As Silsilah Ash Shahihah; 2203, diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam kitab Dzammul Malahi dan At Tirmidzi; No: 2212. [117] . Saat ini bahkan kita kenal istilah dakwah lewat musik. Adakah pencampur-adukan antara kebenaran dan kebatilan yang lebih nyata dari ini? [118] . Hadits riwayat Muslim; 4/ 2001. [119] . As silsilah As Shahihah; 1871. [120]. Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/472. Dalam An Nihayah karya Ibnu Atsir; 4/11 disebutkan: “ …..Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba. [121] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 1/317. [122] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 11/ 24. [123] . Hadits riwayat Muslim; 3/ 1699. [124] . Hadits riwayat Ahmad; 2/ 385, Shahihul Jami’; 6022. [125] . Hadits riwayat Bukhari; lihat Fathul Bari; 11/83. [126] . Hadits riwayat Muslim; 1/ 102. [127] . Hadits riwayat Ahmad; 6/ 254, Shahihul Jami’; 5571. [128] . Hadits riwayat Bukhari; 3/ 465. [129] . Hadits riwayat Abu Daud; 4/ 353, Shahihul Jami’; 2770. [130] . Hadits marfu’ dari Abu Musa Al Asy’ari, riwayat Ahmad; 4/ 393, Shahihul Jami; 207. [131] . Hadits riwayat Muslim; 3/1655. [132] . Hadits riwayat Muslim; 3/1680. [133] . Hadits riwayat Muslim; 3/ 1676. [134] . hadits riwayat Muslim; 3/ 1679. [135] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/332. [136] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/333. [137]. Hadits riwayat Abu Daud; 4/ 355, Shahihul Jami’; 5071. [138]. Hadits riwayat Abu Daud; 4/ 419, Shahihul Jami’; 8153. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Nasa’i dengan sanad yang shahih, Bin Baz rahimahullah. [139] . Hadits riwayat Muslim; 3/1663. [140] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/ 382. [141] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/ 385. [142] . Hadits riwayat Muslim; 3/1671. [143] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/380. [144] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 6/ 540. [145] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 12/ 427. [146] . Hadits riwayat Muslim; 2/ 667. [147] . Hadits riwayat Ibnu Majah; 1/ 499, dalam Shahihul Jami’; 5038. [148] . Ibid [149] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 1/ 317. [150] . Hadits riwayat Ahmad; 2/ 236, Shahihul Jami’; 1213. [151] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/ 465. [152]. Hadits riwayat Ibnu Majah; 1/ 505, dalam Shahihul Jami’; 5068. [153] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/ 443. [154]. Hadits riwayat Ahmad; 1/ 402, dalam Shahihul Jami’; 623. [155]. Hadits riwayat bukhari; dalam Al Adabul Mufrad; 103, As Silsilah As Shahihah; 65. [156]. Hadits riwayat Ahmad; 3/ 453, dalam Shahihul Jami’; 6348. [157] . Hadits riwayat Muslim; 4/1770. [158] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/465. [159] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 10/465. [160]. Hadits riwayat Ibnu Majah; 1/505, Shahihul Jami’ 5063. [161] . Hadits riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari; 3/163. [162] . Hadits riwayat Muslim; No: 934. [163] . Hadits riwayat Muslim; 3/1673. [164]. Hadits riwayat Abu daud; 5/ 215, Shahihul Jami’; 7635. [165]. Hadits riwayat Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad No: 406, dalam Shahihul Jam’; 6557. [166] . Hadits riwayat Muslim; 4/1988. [167] . Hadits riwayat Bukhari, li محرمات استهان بها كثير من الناس يجب الحذر منها hat Fathul Bari; 10/492. [168] .Seperti hajr (pemutusan hubungan) yang dilakukan Nabi ﷺ‬ kepada Ka’ab bin Malik t dan dua orang kawannya, karena beliau melihat dalam hajr tersebut terdapat maslahat. Sebaliknya beliau menghentikan hajr kepada Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik lainnya karena hajr kepada mereka tidak membawa faedah. Bin Baz rahimahullah. [169] .Sebenarnya pembahasan masalah ini masih panjang. Penulis berkeinginan untuk melengkapi buku ini, Insya Allah akan membahas secara tersendiri beberapa larangan yang termaktub dalam Kitab dan Sunnah. sumbner: islamhouse.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh