Skip to content

Ketakwaan Orang Tua Menjadi Sebab Allah Menjaga Anak Keturunan

Pertanyaan: Ketika orang tua berusaha untuk menjaga batasan-batasan agama Allah, apakah bisa menjadi sebab Allah menjaga anaknya?

Jawaban: Syaikh Abdullah bin Abdurrahim al-Bukhari hafizhahullah berkata,

Ketakwaan orang tua akan menjaga anak-anaknya. Allah azza wa jalla berfirman

“… dan ayahnya adalah seorang yang saleh.” (al-Kahfi: 82)

Pada ayat yang mulia ini ada dalil yang jelas bahwa orang yang saleh akan dijaga anak keturunannya. Peribadahan dan ketakwaannya kepada Allah azza wa jalla, serta kecukupan yang Dia karuniakan kepadanya berkat penghambaan yang dia realisasikan kepada-Nya juga meliputi dan berlanjut kebaikannya sampai anak-anak keturunannya sepeninggalnya. Misalnya, mereka akan memintakan syafaat untuk dirinya, mereka (anak keturunannya) mendapatkan syafaat dengan sebab dirinya, atau derajat mereka di angkat ke tempat yang tertinggi di surga.

Said bin Jubair rahimahullah berkata, “Dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, terkait dengan ayat ini,

‘… dan ayahnya adalah seorang yang saleh.’ (al-Kahfi: 82)

Beliau berkata, ‘Kedua anak tersebut dijaga dengan sebab kesalehan ayahnya.’[1]

Padahal jelas sekali ayat di atas tidak menyebutkan kesalehan sang anak. Jadi, sebagaimana yang kata Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, “Keduanya dijaga berkat sebab kesalehan ayahnya.”

Imam Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata, “Sungguh, dengan sebab seseorang menjaga (hak-hak dan batasan-batasan) Allah, Allah azza wa jalla benar-benar akan menjaga anaknya, cucunya, rumah tempat tinggalnya beserta isinya, dan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Senantiasa mereka mendapat penjagaan dan perlindungan dari Allah.”[2]

Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Katsir pada ayat tersebut berkata,

“Pada ayat ini terdapat dalil bahwa orang yang saleh akan terjaga anak-anak keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan mencakup mereka di dunia dan akhirat, dalam bentuk syafaatnya untuk mereka dan derajat mereka diangkat ke tempat yang tertinggi di surga. Dengan demikian, dia merasa gembira dengan mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an dan diriwayatkan dalam sunnah (hadits).”

Kemudian, Ibnu Katsir membawakan atsar Ibnu Abbas di atas.[3]

Jadi, penjagaan seorang hamba terhadap dirinya, ketekunannya dalam merealisasikan penghambaannya kepada Allah azza wa jalla, khasyah (rasa takut)nya kepada Allah saat ridha ataupun marah, dan keadaannya yang senantiasa menegakkan hak-hak Allah azza wa jalla, akan bermanfaat baginya dan bermanfaat bagi anak-anak keturunannya. Dengan izin Allah, kesalehan dan kebaikannya akan menjadi kebaikan bagi anak-anak dan keturunannya.

Namun, tidak berarti harus selalu demikian. Tidak berarti bahwa setiap orang saleh pasti nasib anaknya seperti dirinya. Tentunya tidak. Tidak selamanya demikian. Ada juga di antara para nabi Allah yang anak-anaknya tidak sejalan dengan orang tuanya, sebagaimana yang telah kita lewati pembahasannya pada ayat-ayat sebelumnya tentang ucapan Luqman menasihati putranya,

“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah karena mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Terkadang, Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati, terkadang Dia mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Jadi, tidak mesti anggota keluarganya sama dengan dirinya dalam hal kesalehan dan perbaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah jalla wa ‘ala,

Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (at-Tahrim: 10)

Inti dari uraian ini adalah bahwa kesalehan orang tua memiliki pengaruh yang besar bagi (kebaikan) anak-anaknya.

(Sumber: Risalah Huququl Aulad ‘alal Aaba wal Ummahat hlm. 11—13, cetakan Dar Adhwa’ as-Salaf)

Catatan Kaki [1] Riwayat Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd no. 332, al-Humaidi dalam Musnad-nya (1) no. 376, Ibnu Abid Dunia dalam kitab al-‘Iyal (1) no. 360, Tafsir ath-Thabari 18/91, dan al-Mustadrak karya al-Hakim 2/369. Syaikh Abdullah al-Bukhari berkata, “Sanadnya sahih.”

[2] Kitab Zuhud karya Ibnul Mubarak no. 330, Musnad al-Humaidi (1) no. 377, dan al-Hilyah karya Abu Nuaim 3/148. Syaikh Abdullah al-Bukhari berkata, “Sanadnya sahih sampai kepada Ibnul Munkadir rahimahullah.”

[3] Tafsir Ibnu Katsir 3/143 dan Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/467.

asysyariah.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh