Khilafah, Imamah dan Pemberontakan
Arfajah al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/ bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut.”
Dalam lafadz lain,
“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Barang siapa ingin memecah-belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/ bersatu dalam satu kepemimpinan, penggallah orang tersebut, siapa pun dia.”
Takhrij Hadits
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Imarah, Bab “Hukmu Man Farraqa Amral Muslimin wa Huwa Mujtama’” (Hukum orang yang memecah-belah urusan muslimin dalam keadaan mereka telah berkumpul/bersatu pada perkara tersebut), no. 1852.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/261, 4/341, 5/23; an-Nasa’i dalam Sunan-nya no. 4020, 4021, 4022, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4762.
Dalam riwayat an-Nasa’i (no. 4020) ada tambahan,
“Karena sesungguhnya tangan Allah di atas tangan jamaah dan sungguh setan berlari bersama orang yang berpisah dari jamaah.”
Makna Hadits
(dia ingin memecahkan tongkat kalian)
Maknanya ia ingin memecah-belah jamaah kalian sebagaimana tongkat dibelah-belah. Hal ini merupakan ungkapan berselisihnya kalimat dan menjauhnya jiwa-jiwa. (Syarhu Muslim, 13/242)
(maka bunuhlah orang tersebut) dalam lafadz lain,
(maka penggallah orang itu),
Tindakan ini dilakukan bila memang perbuatan jeleknya itu itu tidak dapat dicegah dan tidak dapat dihentikan kecuali dengan membunuhnya. (Syarhu Muslim, 13/242)
(siapa pun dia)
Sama saja baik dia dari kalangan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau selain mereka, dengan syarat pimpinan (imam) yang awal memang pantas menyandang imamah ataupun khilafah. Demikian dikatakan al-Qari sebagaimana dinukil dalam ‘Aunul Ma’bud (13/76).
Dalam an-Nihayah (5/278) disebutkan maknanya adalah kerusakan dan kejelekan. Sedangkan di dalam hadits ini maknanya kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah adalah fitnah dan perkara-perkara baru. (Syarhu Muslim, 13/242)
Pentingnya Kepemimpinan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib diketahui bahwa mengangkat pemimpin untuk mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan tidak akan tegak agama dan tidak pula dunia kecuali dengannya. Sebab, anak Adam tidak akan sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan ijtima’ (berkumpul dan berjamaah), juga disebabkan kebutuhan sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Ketika mereka berkumpul, tentunya harus ada yang menjadi pemimpin/ketua mereka, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila tiga orang keluar dalam satu safar maka hendaklah mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka (dalam safar tersebut).” (HR. Abu Dawud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma)[1]
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi (yakni dalam safar) kecuali mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka.”[2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pengangkatan seseorang sebagai pemimpin dalam perkumpulan yang sedikit dalam safar yang ditempuh, sebagai peringatan agar pengangkatan pemimpin ini dilakukan dalam seluruh jenis perkumpulan.
Selain itu, Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan kewajiban ini tidak akan sempurna ditunaikan kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian pula seluruh perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan seperti jihad, keadilan, penunaian ibadah haji, pelaksanaan shalat Jum’at, hari Ied dan menolong orang yang dizalimi. Pelaksanaan hukum had juga tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan.
Karena itulah diriwayatkan,
“Sesungguhnya sultan/penguasa adalah naungan Allah subhanahu wa ta’ala di bumi.”[3]
Dikatakan juga, “Enam puluh tahun di bawah pimpinan imam/pimpinan yang jahat/lalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.”
Tentu saja pengalaman yang akan menerangkan hal ini.
Karena itulah, as-salafush saleh seperti al-Fudhail bin ‘Iyadh, Ahmad bin Hambal dan selain keduanya menyatakan, “Seandainya kami memiliki doa yang mustajab niscaya doa tersebut akan kami tujukan untuk penguasa.” (as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 129—130)
Catatan Penting bagi Kita Semua!
Keberadaan daulah Islamiyah memang sangatlah penting dan berarti bagi kehidupan beragama kaum muslimin.
Namun, yang perlu diperhatikan dan menjadi catatan penting di sini apakah perkara tersebut menjadi tujuan yang utama, sebagaimana dinyatakan, “Tujuan agama yang hakiki adalah menegakkan undang-undang kepemimpinan yang baik lagi terbimbing”?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Orang yang berkata bahwa masalah imamah adalah tujuan yang paling penting dan utama dalam hukum-hukum agama dan masalah kaum muslimin yang paling mulia, maka dia itu berdusta menurut kesepakatan kaum muslimin baik yang sunni ataupun yang syi’i. Bahkan ini termasuk kekufuran, karena iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya lebih penting dan utama daripada masalah imamah. Hal ini adalah perkara yang dimaklumi secara pasti dari agama Islam.
Seorang kafir tidaklah menjadi mukmin sampai ia bersaksi: Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah (bukan karena imamah, dan tentunya hal ini menunjukkan pentingnya permasalahan iman -pen.). Inilah alasan utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi orangorang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah, kemudian mereka menegakkan shalat dan membayar zakat. Bila mereka melakukan hal itu, terjagalah dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.”[4]
Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Perlu dimaklumi bagi kita semua, apabila didapatkan masalah kaum muslimin yang paling mulia dan tujuan yang paling penting dalam agama ini, tentu akan disebutkan dalam Kitabullah lebih banyak daripada perkara lainnya. Demikian pula keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara tersebut, tentu akan lebih utama dan lebih banyak daripada keterangan beliau terhadap perkara lainnya.
Sementara itu, kita lihat al-Qur’an penuh dengan penyebutan tauhidullah, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, kisah-kisah, perintah dan larangan, hukum had dan kewajiban-kewajiban. Tidak demikian halnya dengan masalah imamah. (Maka kalau dikatakan bahwa masalah imamah itu lebih utama/penting dan lebih mulia daripada yang lainnya-pen.) lalu bagaimana bisa al-Qur’an itu dipenuhi dengan selain perkara yang lebih penting/utama dan lebih mulia?!” (Minhajul Anbiya’, 1/21)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata meluruskan kesalahan orang yang mengatakan demikian, “Sesungguhnya tujuan agama yang hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia serta tujuan diutusnya para rasul serta diturunkannya kitab-kitab adalah untuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikhlaskan agama untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (adz-Dzariyat: 56)
“Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelummu kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada ilah yang patut disembah kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (al-Anbiya: 25)
“Alif laam raa. (Inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan baik serta dijelaskan secara terperinci dari sisi Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui/Mengabarkan, agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira dari Allah kepada kalian.” (Hud: 1) (Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql, hlm. 152)
Demikianlah perkara keimanan ini begitu amat pentingnya agar menjadi perhatian kita semuanya. Dan jangan seseorang terlalu berambisi mendirikan daulah Islamiyah dan menjadikannya sebagai inti dakwahnya kepada umat, sementara tauhid belum ditegakkan, kesyirikan masih merajalela dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih dibuang di belakang punggung-punggung manusia.
Wallahul musta’an.
Pemberontak, Gerombolan Parasit dalam Khilafah Islamiyah
Tegaknya daulah Islamiyah merupakan keinginan setiap muslim yang memiliki ghirah keislaman, agar hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang diibadahi dan hanya syariat-Nya yang ditegakkan.
Namun, kesinambungan dan perjalanan daulah itu dapat terganggu oleh keberadaan gerombolan-gerombolan pengacau keamanan yang merongrong kewibawaan penguasa. Tak jarang gerombolan itu mengadakan aksi pemberontakan saat mereka merasa memiliki kekuatan.
Ibaratnya gerombolan ini seperti parasit dalam tubuh daulah Islamiyah sehingga tidak ada jalan untuk menjaga keutuhan daulah, kewibawaan penguasa dan mempertahankan persatuan kaum muslimin kecuali menumpas parasit tersebut dan memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka sesuai dengan ketetapan syariat Islam.
Larangan Memberontak kepada Pemerintah Muslimin walaupun Zalim
Aksi kudeta, penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu sering kita dengar terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden Fulan digulingkan dan diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan kudeta berdarah. Demikian contoh isi beritanya.
Kudeta seperti ini pun pernah terjadi di negara kita tidak hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Namun dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala aksiaksi pemberontakan tersebut dapat digagalkan atau disingkirkan.
Akan tetapi, sangat disesalkan diantara kelompok-kelompok para pemberontak ini ada yang menisbahkan dirinya pada Islam atau agama yang mulia ini, sementara agama yang mulia ini berlepas diri dari hal tersebut. Karena agama ini tidak mengajarkan pemberontakan dan tidak ridha terhadap pemberontakan kepada pemerintah muslimin. Wallahul musta’an.
Kelompok-kelompok pemberontak yang berbicara atas nama agama ini menggembar-gemborkan keinginan mereka ingin membangun negara dalam negara (yang sah), dan seandainya punya kesempatan merekapun akan menggulingkan pemerintah yang sah.
Mereka berteriak-teriak di hadapan khalayak ingin mendirikan khilafah Islamiyah, ingin menegakkan syariat Islam, sementara syariat Islam tersebut tidak ditegakkan lebih-lebih dahulu pada diri dan keluarga mereka (bahkan juga dalam praktik mereka untuk meraih khilafah/daulah Islamiyah -ed).
Jadi, penegakan syariat Islam dan khilafah Islamiyah yang ingin mereka lakukan sekadar isapan jempol semata. Mereka membuat huruhara, mengacaukan keamanan dan menyudutkan Islam serta kaum muslimin.
Aksi bom di berbagai tempat mereka tebarkan atas nama jihad fi sabilillah melawan kezaliman penguasa, padahal lebih tepat apabila dikatakan mereka ini adalah gerombolan pemberontak pengacau keamanan dan ketenteraman.
Jalan yang mereka tempuh menyelisihi kebenaran (al-haq), bimbingan dan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena syariat menetapkan, bila seorang muslim telah diangkat sebagai pimpinan di sebuah negeri kaum muslimin di mana seluruh urusan kaum muslimin berada di bawah perintah dan pengaturannya, maka haram untuk memberontak kepadanya dan haram menggulingkan kekuasaannya walaupun ia seorang pimpinan yang zalim.
Memberontak dengan bentuk dan model yang bagaimana pun haram hukumnya, karena adanya hadits-hadits yang berisi larangan memberontak dan juga karena adanya dampak yang ditimbulkan oleh pemberontakan tersebut berupa fitnah, tertumpahnya darah, malapetaka dan bencana. Prinsip tidak memberontak kepada pemerintahan kaum muslimin merupakan prinsip yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ini termasuk asas Ahlus Sunnah wal Jamaah yang paling pokok yang diselisihi oleh kelompok-kelompok sesat dan ahlul ahwa’. (Fiqhus Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 170)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan kesepakatan tersebut dengan, “Adapun memberontak kepada penguasa dan memerangi mereka maka haram menurut kesepakatan kaum muslimin, walaupun penguasa itu fasiq zalim.” (Syarhu Muslim, 12/229)
Demikian pula yang dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dari Ibnu Baththal rahimahullah, beliau berkata, “Fuqaha sepakat tentang wajibnya menaati sultan/penguasa, jihad bersamanya, dan menaatinya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena akan melindungi tertumpahnya darah dan menenangkan orang banyak.”
Ibnu Baththal melanjutkan, “Dan mereka tidak mengecualikan dari larangan tersebut kecuali bila sultan/penguasa itu jatuh ke dalam kekufuran yang nyata, maka tidak boleh menaatinya bahkan wajib memeranginya bagi orang yang memiliki kemampuan.” (Fathul Bari, 13/9)
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ucapan Ulama dalam Masalah Ini
Di antara hadits-hadits yang ada dalam masalah ini dapat kita sebutkan sebagai berikut:
‘Ubadah ibnu Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu berkata,
“Kami berbai’at untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami suka ataupun terpaksa, dalam keadaan sulit ataupun lapang, dan dalam keadaan penguasa menahan hak-hak kami. Dan beliau membai’at kami agar kami tidak menentang dan menarik/merebut perkara dari pemiliknya (memberontak pada penguasa) kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata dari penguasa tersebut di mana di sisi kalian ada bukti/keterangan yang nyata[5] dari Allah tentang kekafiran mereka.” (HR. al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Sungguh akan memimpin kalian para pimpinan yang kalian pahami perbuatan mereka adalah perbuatan maksiat dan kalian mengingkari perbuatan tersebut dilakukan. Maka barang siapa yang benci (terhadap kejahatan/kezaliman pimpinan tersebut) sungguh ia telah berlepas diri dan barang siapa yang mengingkarinya sungguh ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan mengikuti (kejahatan penguasa maka orang itu bersalah).”
Para sahabat bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”
Beliau menjawab, “Tidak boleh, selama mereka masih shalat.” ( HR. Muslim no. 1854)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang ia benci maka hendaklah ia bersabar karena siapa yang satu jengkal saja meninggalkan jamaah (kaum muslimin di bawah kepimpinanan pemimpin tersebut) lalu ia meninggal, maka matinya itu mati jahiliah.”[6] (HR. al-Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan, Para pembesar sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dengan mengatakan,
“Janganlah kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah mengkhianati mereka dan janganlah membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya perkara itu dekat.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim no. 1015 dalam as-Sunnah, dinyatakan sahih oleh asy- Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah)
Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Ashabul hadits memandang shalat Jum’at, shalat dua ied dan shalat-shalat lainnya dilakukan di belakang setiap imam/pimpinan muslim, yang baik atau yang fajir/jahat. Mereka memandang untuk mendoakan taufik dan kebaikan untuk penguasa serta tidak boleh memberontak, sekalipun para pimpinan itu menyimpang dari keadilan dengan berbuat kejahatan, kelaliman dan kesewenang-wenangan.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hlm. 106)
Al-Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata menyebutkan i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah, “Kita memandang tidak bolehnya memberontak terhadap pimpinan dan penguasa/pengatur perkara kita, sekalipun mereka itu zalim. Kita tidak boleh mendoakan kejelekan untuknya dan kita tidak menarik ketaatan kita dari ketaatan terhadapnya. Kita memandang taat kepada pimpinan merupakan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla sebagai satu kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat. Dan kita mendoakan kebaikan dan kelapangan/pemaafan untuk mereka.” (Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi, hlm. 379)
Al-Aini menerangkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas, “Yakni hendaklah ia bersabar atas perkara yang dibenci tersebut dan tidak keluar dari ketaatan kepada penguasa. Karena hal itu akan mencegah tertumpahnya darah dan menenangkan dari kobaran fitnah, kecuali bila imam/penguasa tersebut kafir dan menampakkan penyelisihan terhadap dakwah Islam maka dalam keadaan demikian tidak ada ketaatan kepada makhluk.” (‘Umdatul Qari, 24/178; Fiqhus Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 173)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang masyhur dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka memandang tidak boleh keluar memberontak kepada para pemimpin dan memerangi mereka dengan pedang, sekalipun pada mereka ada kezaliman. Sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kerusakan yang ditimbulkan dalam peperangan dan fitnah lebih besar daripada kerusakan yang dihasilkan kezaliman mereka tanpa perang dan fitnah.” (Minhajus Sunnah, 3/213)
Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang memerangi para penguasa/pimpinan, padahal beliau mengabarkan bahwa para pimpinan tersebut melakukan hal-hal yang mungkar. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengingkari penguasa dengan menghunuskan pedang (perang) sebagaimana pandangan kelompokkelompok yang memerangi penguasa, dari kalangan Khawarij, Zaidiyah dan Mu’tazilah.” (Minhajus Sunnah, 3/214)
Dalam Majmu’ul Fatawa (35/12) beliau juga menyatakan, “Adapun ahlul ilmi wad din dan orang yang Allah berikan kepadanya keutamaan, mereka tidak memberikan rukhshah (keringanan) kepada seorang pun dalam perkara yang Allah larang berupa bermaksiat kepada wulatul umur (pemimpin), menipu mereka dan memberontak terhadap mereka dari satu sisi pun. Sebagaimana prinsip ini diketahui dari Ahlus Sunnah dan orang-orang yang berpegang teguh terhadap agama, baik orang-orang yang terdahulu maupun yang belakangan.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Wajib bagi kaum muslimin untuk taat kepada wulatul umur dalam perkara ma’ruf, bukan dalam perkara maksiat. Bila ternyata mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak boleh ditaati, namun tidak boleh keluar/memberontak kepada mereka karena perbuatan maksiat mereka tersebut. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seseorang wajib mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai dan benci, kecuali jika ia diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2955 dan Muslim no. 1839)
Juga ketika disebutkan kepada para sahabat tentang para pemimpin yang mereka pahami perbuatan para pemimpin itu adalah perbuatan maksiat dan mereka mengingkari perbuatan tersebut, para sahabat bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami apabila kami menyaksikan perkara tersebut?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Tunaikan hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah ‘azza wa jalla.” HR. Al-Bukhari no. 7052 dan Muslim no. 1843)
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mereka menentang wulatul umur dan tidak bolehnya memberontak kecuali bila mereka melihat kekufuran yang nyata yang mereka punya bukti yang nyata dari Allah ‘azza wa jalla tentang kekufuran mereka.
Memberontak kepada wulatul umur (penguasa) itu dilarang tidak lain karena akan menyebabkan kerusakan yang besar dan kejelekan yang tidak sedikit. Di antaranya akan terganggu keamanan dan tersia-siakannya hak, tidak diperolehnya kemudahan untuk mencegah kezaliman orang yang berbuat zalim dan tidak dapat memberi pertolongan kepada orang yang dizalimi dan jalan-jalan menjadi tidak aman.
Jadi, jelas bahwa memberontak terhadap wulatul umur berdampak kerusakan dan kejelekan yang besar, terkecuali bila kaum muslimin melihat kekufuran yang nyata yang mereka punya bukti yang nyata dari Allah ‘azza wa jalla tentang kekufuran mereka. Dalam keadaan seperti ini tidak apa-apa mereka melakukan upaya untuk menggulingkan penguasa tersebut jika memang kaum muslimin memiliki kekuatan.
Namun bila tidak memiliki kekuatan, mereka tidak boleh melakukan hal tersebut. Atau bila mereka keluar (memberontak, red) dari penguasa tersebut akan menyebabkan kejelekan yang lebih besar, tidak boleh mereka keluar demi kemaslahatan umum.
Kaidah syar’iyyah yang disepakati menyatakan, tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan mendatangkan apa yang lebih jelek daripada kejelekan yang sebelumnya, bahkan wajib menolak kejelekan dengan apa yang memang bisa menghilangkannya atau meringankannya.
Adapun menolak kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar tidaklah dibolehkan dengan kesepakatan kaum muslimin.” (Fiqhus Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 263-264, Fatawa al-’Ulama al-Akabir Fima Uhdira Min Dima’ fi al-Jazair hlm. 70—71)
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh memberontak kepada pemimpin dan menentang mereka, terkecuali:
Ketika mereka kafir dengan kekufuran yang nyata berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata….” (Muttafaqun alaihi)[7]
Memiliki ilmu tentang kekafiran mereka, dan ulama-lah dalam hal ini yang menilainya.
Terealisirnya maslahat dalam hal ini dan tertolaknya mafsadat, dan yang menetapkan yang demikian ini dan yang menilainya juga ahlul ilmi.
Adanya kemampuan (yang hakiki) yang dimiliki kaum muslimin untuk menyingkirkan pemimpin yang kafir itu.
Dengarkanlah wahai kaum muslimin, nasihat yang sangat berharga dari beliau rahimahullah: “Umumnya kekuatan dan kemampuan itu berada di tangan pemerintah, maka aku nasihatkan agar kaum muslimin untuk berpegang dengan ilmu dan dakwah dengan hikmah, serta tidak masuk dalam perkara yang nantinya beresiko akan berhadapan dengan pemerintah…” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir Fima Uhdira Min Dima’ fi al-Jazair, hlm. 135—136)
Hukuman bagi Pemberontak
Orang yang keluar dari jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh penguasa dari kalangan muslimin dan memberontak kepada pemerintah yang sah berarti ia ingin memecah-belah persatuan kaum muslimin dan memperhadapkan kaum muslimin kepada fitnah, bahaya dan kerusakan yang besar.
Sungguh, tidak ada alasan baginya untuk berbuat demikian karena syariat telah menetapkan agar kita senantiasa taat kepada pemimpin dalam hal yang ma’ruf, baik pemimpin itu baik maupun jahat/zalim, selama ia masih muslim.
Al-Imam al-Lalikai rahimahullah berkata menukilkan ucapan al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah: “Siapa yang keluar memberontak terhadap satu pemimpin dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin sementara manusia telah berkumpul dalam kepemimpinannya dan mengakui kekhilafahannya dengan cara bagaimana pun dia memegang jabatan tersebut baik dengan keridhaan atau dengan penguasaan, orang yang memberontak itu berarti telah memecahkan tongkat persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila pemberontak itu mati dalam keadaan berbuat demikian maka matinya mati jahiliah. Dan tidak halal bagi seorang pun untuk memerangi sultan dan tidak pula keluar dari ketaatan padanya. Barang siapa yang melakukannya berarti dia adalah ahlul bid’ah, dia tidak berada di atas as-Sunnah dan tidak di atas jalan yang benar.” (Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, 1/181; Fatawa al-Ulama al-Akabir Fima Uhdira Min Dima’ fi al-Jazair, hlm. 28)
Al-Imam as-Sindi berkata, “Penjagaan dan pertolongan Allah akan menyertai kaum muslimin apabila mereka bersepakat/bersatu. Barang siapa ingin memecah-belah di antara mereka, sungguh ia berkeinginan memalingkan pertolongan Allah dari mereka.” (Sunan an-Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi, 7/92)
Fadhilatusy Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Memberontak pada pemerintah, tidaklah dibolehkan secara mutlak. Karena itulah kami memandang para pemberontak itu atau orang-orang (da’i) yang mengajak untuk memberontak tersebut, bisa jadi mereka itu musuh Islam yang menyusup di tengah kaum muslimin, atau mereka itu muslimin namun mereka berada pada puncak kejahilan tentang Islam yang Allah turunkan kepada hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fatawa al-Ulama al-Akabir Fima Uhdira Min Dima’ fi al-Jazair, hlm. 94)
Karena besarnya kesalahan yang diperbuat oleh para pemberontak pengacau persatuan kaum muslimin ini, maka syariat memberikan hukuman yang keras bagi mereka dalam rangka mencegah kerusakan yang mereka timbulkan. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau di atas,
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka penggallah orang tersebut.”
Dalam lafadz lain,
“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka siapa yang ingin memecah-belah perkara umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan maka perangilah/bunuhlah orang tersebut siapa pun dia.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat perintah untuk memerangi orang yang keluar/memberontak terhadap imam, atau ia ingin memecah-belah kalimat (persatuan) kaum muslimin dan semisalnya dan ia dilarang dari berbuat demikian. Namun bila tidak berhenti, ia diperangi, dan jika kejelekan/kejahatannya tidak bisa ditolak/dicegah kecuali dengan membunuhnya, ia boleh dibunuh.” (Syarhu Muslim, 13/241)
Demikianlah hukuman bagi perongrong kedaulatan pemerintah kaum muslimin yang sah dan pemecah belah persatuan kaum muslimin. Mereka boleh diperangi dan dibunuh oleh penguasa untuk menolak dan mencegah kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkannya!
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditanyakan kepada asy-Syaikh Saleh bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, “Wahai Fadhilatusy Syaikh, sangat disayangkan ada orang yang membolehkan keluar (memberontak) terhadap pemerintah tanpa memerhatikan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebenarnya apa manhaj kita dalam berhubungan dengan penguasa muslim dan selain muslim?”
Beliau hafizhahullah menjawab, “Manhaj kita dalam berhubungan dengan penguasa muslim adalah mendengar dan taat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan ulil amri di antara kalian. Maka jika kalian berselisih dalam sesuatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jka memang kalian itu beriman kepada Allah dan hari akhir.” (an-Nisa’: 59)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Karena sungguh (kelak) orang yang masih hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidun al-Mahdiyyun sepeninggalku.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan at-Tirmidzi no. 2676 dan ia berkata: hadits hasan sahih. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no. 3851 dan Shahih at-Tirmidzi no. 2157)
Hadits ini sangat sesuai dengan ayat di atas (an-Nisa: 59).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang taat kepada pemimpin berarti ia taat kepadaku dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti ia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835)
Dan hadits-hadits lainnya yang berisi hasungan untuk mendengar dan taat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Dengar dan taatlah sekalipun diambil hartamu dan dipukul punggungmu.”[8]
Dengan demikian, pemimpin kaum muslimin wajib ditaati dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila ia memerintahkan kepada maksiat maka tidak boleh ditaati dalam perkara tersebut, namun dalam perkara selain maksiat ia harus ditaati.
Adapun dengan pemimpin kafir, maka hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan. Bila kaum muslimin punya kekuatan dan punya kemampuan untuk memeranginya dan menggesernya dari pemerintahan lalu menggantinya dengan pemimpin yang muslim, maka hal itu wajib dilakukan dan termasuk jihad fi sabilillah.
Adapun bila mereka tidak mampu menggesernya maka tidak boleh bagi mereka untuk menebarkan benih permusuhan dan kebencian dengan (menyebut-nyebut) kezaliman dan kekafiran si penguasa, karena hal tersebut justru akan mengembalikan kemudaratan dan kebinasaan kepada kaum muslimin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun setelah diangkatnya beliau sebagai nabi, sementara Makkah ketika itu dikuasai orang-orang kafir. Beliau dan orang-orang yang berIslam dari kalangan sahabatnya tidaklah memerangi orang-orang kafir tersebut. Bahkan pada saat itu mereka dilarang memerangi orang-orang kafir. Mereka tidaklah diperintah untuk berperang melainkan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah, di mana ketika itu beliau telah memiliki daulah dan jamaah sehingga mereka mampu memerangi orang kafir. Inilah manhaj Islam.
Dengan demikian bila kaum muslimin di bawah pemerintahan kafir dan mereka tidak punya kemampuan untuk menggesernya maka mereka berpegang teguh dengan keislaman mereka dan akidah mereka, dan mereka jangan mempertaruhkan diri mereka untuk menghadapi orang-orang kafir. Karena hal itu akan berakibat kebinasaan bagi mereka dan dakwah Islam di negeri itu pun akan berakhir. Adapun bila mereka punya kekuatan yang dengannya mereka mampu untuk berjihad maka mereka berjihad di jalan Allah menurut ketentuan syar’i yang ma’ruf.” (Fiqhus Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 287—288)
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari‘
[1] No. 2608. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam ash-Shahihah no. 1322, “Sanadnya hasan.”
[2] 2/176-177. Hadits ini sebagai syahid (pendukung) hadits di atas. Kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah: “Rijal (perawinya) tsiqat (tepercaya) kecuali Ibnu Lahi’ah, dia buruk hafalannya.”
[3] HR. al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, no. 8/162.
[4] HR. al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 22.
[5] Yakni keterangan dari ayat al-Qur’an atau hadits yang shahih yang tidak mungkin ditakwil, yakni tegas dan jelas. Dari sini dipahami bahwa tidak boleh memberontak kepada penguasa selama perbuatan mereka masih mungkin untuk ditakwil. (Fathul Bari, 13/10)
[6] Keadaan matinya seperyi matinya orang jahiliyyah di atas kesesatan dalam keadaan ia tidak punya imam/pemimpin yang ditaati karena orang-orang jahiliyyah tidak mengenal hal itu. Bukan maksudnya orang itu mati kafir, tetapi mati dalam keadaan bermaksiat. (Fathul Bari, 13/9)
[7] HR. al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709
[8] Dalam hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
“Engkau mendengar dan menaati penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka tetap mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim no. 1847)
sumber: asysyariah.com
No comment yet, add your voice below!