Kisah Abu Dzar al-Ghifari Bukti Kebenaran Sabda Nabi
Nama dan Nasabnya
Abu Dzar al-Ghifari namanya adalah Jundub bin Junadah al-Ghifari. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang nama asli Abu Dzar. Ada yang mengatakan Jundub bin Abdullah. Pendapat lain menyatakan Jundub bin as-Sakan. Namun yang masyhur adalah Jundub bin Junadah. Ibunya bernama Ramlah binti al-Waqi’ah al-Ghifariyah. Dan ibunya memeluk Islam.
Abu Dzar adalah seorang laki-laki Arab yang berkulit sawo matang. Berpostur tinggi kurus. Rambut dan janggutnya putih. Abu Qilabah (tabi’in) berkata tentang seseorang dari Bani Amir, “Aku memasuki masjid di Mina. Kulihat laki-laki tua yang kurus berkulit sawo matang. Ia mengenakan pakaian Qitri. Aku pun tahu dia itu Abu Dzar, karena sifat-sifat fisiknya itu.
Di Zaman Jahiliyah
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu dilahirkan di Kabilah Ghifar. Sebuah kabilah yang terletak antara Mekah dan Madinah. Kabilah ini terkenal sebagai perampok. Mereka adalah begal bagi para musafir dan pedagang. Mereka merampas harta dengan paksa dan kekuatan. Abu Dzar adalah salah seorang dari mereka. Bahkan ia lebih hebat lagi. Terkadang ia membegal sendirian tanpa rombongan. Dia sergap orang-orang dengan kudanya mereka di kegelapan pagi. Atau bahkan tanpa tunggangan sekalipun. Seakan ia hewan buas yang menerkam. Ia lepaskan korbannya dalam kondisi hidup. Namun ia rampok apapun yang ia inginkan.
Meskipun demikian, Abu Dzar adalah seorang yang percaya dengan Tuhan. Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari Abu Bakar memegang tanganku. Ia berkata, ‘Abu Dzar’! ‘Iya, Abu Bakar’, jawab Abu Dzar. ‘Apakah engkah menyembah Tuhan di masa jahiliyah’? tanya Abu Bakar. Abu Dzar menjawab, ‘Iya. Aku teringat dulu berdiri saat matahari terbit. Aku senantiasa shalat sampai aku merasa kepanasan. Lalu aku menyungkurkan diri seakan tersembunyi’. Abu Bakar kembali bertanya, ‘Ke arah mana engkau menghadap’? ‘Tidak tahu. Ke arah mana saja Allah hadapkan. Hal itu terus kulakukan sampai aku memeluk Islam’.”
Di masa jahiliyah, Abu Dzar mengucapkan laa ilaaha illallah. Dan dia tidak menyembah berhala.
Satu Kabilah Memeluk Islam
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku adalah seorang yang berasal dari Ghifar. Lalu, sampai kabar kepada kami bahwa ada seorang laki-laki di Mekah mengaku sebagai nabi. Aku berkata pada saudaraku, ‘Temuilah orang itu. Lalu kabarkan padaku tentang dia’. Saudaraku pun berangkat. Kemudian ia kembali. Aku berkata, ‘Kabar apa yang kau bawa’? Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku melihat seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan’. ‘Kabarmu itu tidak cukup memuaskanku’, kataku padanya.
Aku pun mengambil kantong (semacam tas untuk safar) dan tongkat. Kemudian berangkat ke Mekah, padahal aku tidak tahu orang yang mengaku nabi itu yang mana. Namun aku tidak mau bertanya yang mana orangnya. Aku minum air zamzam dan tinggal di masjid.
Lalu Ali bin Abu Thalib lewat menemuiku. Ia berkata, ‘Sepertinya kau ini orang asing’? ‘Iya’, jawabku. ‘Mari tinggal di rumahku’, katanya. Aku pun pergi bersamanya. Dia tidak bertanya apapun padaku dan aku juga tak memberi tahunya tujuanku. Saat pagi tiba, aku pergi ke masjid untuk bertanya tentang orang yang mengaku nabi itu. namun tak ada seorang pun yang memberi tahuku tentangnya.
Aku bertemu lagi dengan Ali. Ia berkata, ‘Apakah kau sudah tahu mau tinggal dimana? ‘Belum’, jawabku. ‘Kalau begitu tinggallah lagi bersamaku’, katanya. Ali bertanya, ‘Apa keperluanmu dan mengapa datang ke Mekah’? Kukatakan padanya, ‘Jika kau rahasiakan, akan aku beri tahu’. ‘Aku akan merahasiakannya’, jawabnya. ‘Sampai kabar kepada kami bahwa di sini ada seorang yang mengaku sebagai nabi. Lalu aku utus saudaraku untuk berbicara dengannya. Saat dia kembali, dia membawa kabar yang tidak memuaskanku. Aku pun ingin menemuinya’, kataku. Ali berkata, ‘Engkau seorang yang mendapat petunjuk. Aku akan berjalan menuju tempatnya. Ikuti aku. Masuklah di tempat aku masuk. Kalau sampai ada yang seseorang yang melihatmu, aku khawatir melakukan sesuatu padamu’.
Aku akan berdiri di dinding pura-pura memperbaiki sendalku. Lalu pergilah. Ali pun pergi, lalu aku membututinya. Sampai ia masuk ke tempat nabi, dan aku pun masuk. Saat bertemu nabi, aku berkata, ‘Sampaikan Islam padaku’. Beliau pun menyampaikannya. Lalu saat itu juga aku memeluk Islam. Nabi berkata, ‘Abu Dzar, rahasiakanlah keislamanmu ini. Pulanglah ke negerimu. Kalau engkau sudah mendengar kekuatan kami, barulah datang lagi’.
Aku berkata, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan meneriakkan hal ini di tengah-tengah mereka’. Abu Dzar pergi menuju masjid. Saat itu Quraisy tengah berkumpul di sana. Ia berkata, ‘Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku bersaksi tidak ada Tuhan yang benar kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’. Mereka berkata, ‘Ayo tangkap orang murtad ini’!! Merekapun menghampiriku dan memukuliku untuk membunuhku. Lalu Abbas datang mengangkatku yang tengah tersungkur. Ia berkata kepada Quraisy, ‘Celaka kalian ini! Kalian mau membunuh seorang dari Ghifar?! Sementara jalur perdagangan kalian melewati perkampungan orang-orang Ghifar’! Mereka pun berhenti memukuliku.
Esok paginya, aku mengatakan di tengah-tengah Quraisy perkataanku yang kemarin. Mereka berkata, ‘Bereskan orang murtad ini’! Respon mereka sama seperti kemarin. Lalu Abbas menolongku dan mengatakan ucapannya kemarin juga.
Abu Dzar memeluk Islam setelah empat orang memeluk Islam. Artinya, dia orang yang kelima. Sehingga ia pun menempati kedudukan yang tinggi di tengah para sahabat. Di masa keislamannya, Nabi mempersaudarakannya dengan al-Mundzir bin Amr. Seorang sahabat yang berasal dari Bani Sa’adah. Al-Mundzir adalah seseorang pemberani yang mengejar mati syahid.
Pengaruh Nabi Pada Diri Abu Dzar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang kuat bagi para sahabatnya. Termasuk Abu Dzar radhiallahu ‘anhu. Abu Dzar termasuk orang yang lama bersahabat dengan nabi. Sehingga banyak hal yang ia teladani dari manusia paling utama itu. Dari Hatib, Abu Dzar berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang ditinggalkan Rasulullah yang dimasukkan Jibril dan Mikail ke dada beliau, kecuali juga beliau masukkan di dadaku.”
Kemudian Nabi mengajarkan kepada Abu Dzar bahwa dzikir itu bernilai sedekah.
Dari Abu Hurairah rhadhiallahu ‘anhu, ia berkata, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Mereka mempunyai kelebihan harta yang mereka sedekahkan sementara kami tidak memiliki harta untuk bersedekah.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Dzar, maukah engkau ku-ajarkan beberapa kalimat yang dengannya engkau bisa menyusul orang yang telah mendahuluimu dan orang yang di belakangmu tidak dapat mengejarmu kecuali mereka mengerjakan apa yang kau kerjakan”? Abu Dzar menjawab, “Tentu, Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Engkau bertakbir tiga puluh tiga kali setiap selesai shalat. Bertahmid tiga puluh tiga kali. Bertasbih tiga puluh tiga kali. Dan tutup dengan ucapan LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, milik-Nya seluruh kerajaan, dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu) niscaya dosa-dosanya akan diampuni walaupun sebanyak buih lautan.” [Sunan Abu Daud, No: 1286].
Zuhud dan Sederhana
Ada seseorang berkata pada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Apakah engkau tidak tertarik menguasai suatu wilayah seperti Thalhah dan az-Zubair”? Ia menjawab, “Apa yang akan kulakukan dengan menjabat pemimpin? Cukup bagiku setiap hari dengan tegukan air, nabidz (air kurma), atau susu. Dan setiap pekannya satu takaran gandum.”
Abu Dzar berkata, “Di zaman Rasulullah, makananku hanyalah satu sha’ kurma. Dan aku tidak tertarik menambahnya hingga aku bertemu dengan Allah (wafat).” Rasulullah memuji Abu Dzar,
“Tidaklah ada di atas bumi dan di bawah kolong langit ini seorang yang lebih jujur ucapannya dan lebih memenuhi janji dari Abu Dzar. Ia mirip dengan Isa bin Maryam (dalam zuhud dan tawadhu’).” Umar berdiri dan menanggapi, “Wahai Nabi Allah, apakah kita mengetahui kedudukan tersebut untuknya”? Nabi menjawab, “Iya, ketauhilah untuknya.” [HR. at-Turmudzi 3802].
Setia Bersama Nabi Meskipun Dalam Kondisi Sulit
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Saat Rasulullah berjalan menuju Tabuk. Sebagian orang tidak turut serta dalam pasukan. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, si Fulan tidak ikut’. Beliau menjawab, ‘Biarkan saja. Kalau pada dirinya ada kebaikan, Allah akan menyusulkannya menuju kalian. Kalau memang dia orang yang buruk, Allah membuat kalian nyaman dengan ketidak-kehadirannya’.
Lalu ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Dzar juga tidak ada di pasukan. Hewannya membuat ia terhambat’. Beliau menjawab, ‘Biarkan dia. Kalau pada dirinya ada kebaikan, Allah akan menyusulkannya menuju kalian. Kalau memang dia orang yang buruk, Allah membuat kalian nyaman dengan ketidak-kehadirannya’.
Saat itu Abu Dzar kesal, ia mencela hewan tunggangannya. Saat si hewan semakin menghambatnya, ia ambil barang-barangnya dan ia pikul di pundaknya. Lalu berangkat jalan kaki mengikuti Rasulullah.
Rasulullah berhenti di suatu tempat. Lalu ada seseorang yang melihat dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada seseorang yang tengah berjalan’. Rasulullah berkata, ‘Mudah-mudahan itu Abu Dzar’. Setelah diamati, para sahabat mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, benar itu Abu Dzar’. Rasulullah bersabda,
“Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Dia berjalan sendirian. Wafat dalam kondisi sendirian. Dan dibangkitkan sendirian.”
Meriwayatkan Hadits
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata,
“Aku bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah Anda melihat Rabb Anda (saat mi’raj)”? Nabi menjawab, ‘Yang kulihat hanyalah cahaya’.” [HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 8/170].
Abu Dzar bertanya pada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, tidakkah Anda memberiku tugas (jabatan)”? Beliau menepuk pundakku dan berkata, “Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Sementara jabatan itu amanah. Dan hal itu di hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi mereka yang mengambilnya dengan benar dan menunaikannya.” [HR. Muslim 1852].
Bersama Muawiyah
Zaid bin Wahb berkata, “Aku melewati Rabadzah. Ternyata di sana ada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu. Aku berkata padanya, ‘Apa yang menyebabkan Anda bisa tinggal di sini’? Ia menjawab, ‘Sebelumnya aku tinggal di Syam. Lalu aku bersilang pendapat dengan Muawiyah mengenai ayat:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah…” [Quran At-Taubah: 34]
Muawiyah mengatakan, ‘Ayat tersebut turun terkait dengan ahlul kitab’. Sementara aku berpendapat, ‘Ayat itu turun berkaitan dengan kondisi kita sekarang (yang bermewahan)’. Karena itu, terjadi perselisihan antara aku dengannya. Iapun menulis surat kepada Utsman mengadukan perihalku.
Lalu Utsman memerintahkanku untuk datang ke Madinah. Orang-orang mengumpuli seakan mereka belum pernah berjumpa denganku sebelumnya. Kemudian aku menyampaikan kepada Utsman pendapatku tentang ayat itu. Ia menanggapi dengan berkata, ‘Kalau engkau mau, kau bisa mengasingkan diri di tempat yang dekat dengan Madinah’. Karena inilah aku sekarang berada di sini. Seandainya yang memerintahku seorang Habasyi sekalipun, aku akan mendengar dan taat.”
Bersama Ubay bin Ka’ab
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku masuk masjid di hari Jumat. Saat itu Nabi sedang berkhutbah. Lalu aku duduk di dekat Ubay bin Ka’ab. (Saat shalat) Nabi membaca Surat Bara-ah (At-Taubah). Aku berkata pada Ubay, ‘Kapan surat ini diturunkan’? Namun ia hanya menatapku dan tidak menjawab. Lalu aku diam beberapa saat. Setelah itu aku bertanya lagi padanya. Tapi, ia tetap menatapku dan tidak berbicara. Aku diam lagi beberapa saat. Kemudian bertanya lagi. Ia tetap menatapku dan tidak menjawab.
Saat Nabi selesai mengerjakan shalat, aku berkata pada Ubay, ‘Tadi aku bertanya padamu, tapi kau malah mematapku dan tidak menjawabku’. Ubay berkata, ‘Engkau tidak dapat apa-apa dari shalatmu kecuali kesia-siaan saja’.
Lalu aku menuju Nabi dan bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, tadi aku berada di samping Ubay saat Anda membaca Surat Bara-ah. Aku bertanya padanya kapan surat ini diturunkan. Tapi ia hanya menatapiku dan tidak menjawab. Kemudian ia mengatakan, ‘Engkau tidak dapat apa-apa dari shalatmu kecuali kesia-siaan saja’. Nabi menanggapi, ‘Ubay benar’. [Shahih Ibnu Khuzaimah, 1807].
Di awal-awal turunnya perintah shalat, para sahabat boleh ngobrol dalam shalatnya. Hingga turun firman Allah Ta’ala,
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” [Quran Al-Baqarah: 238].
Merekapun tidak boleh lagi ngobrol saat shalat. Kemungkinan Abu Dzar belum mengetahui tentang ayat ini. Tapi dari riwayat ini, kita bisa tahu betapa semangatnya Abu Dzar dalam mempelajari ilmu agama. Mendengar surat yang dibaca Rasulullah, ia langsung ingin tahu tentang surat tersebut. Saat ia dinilai salah dalam syariat, ia langsung bertanya kepada sumbernya langsung. Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Petuah
Sejak memeluk Islam, Abu Dzar telah menjadi seorang pendakwah di jalan Allah. Ia mendakwahi ayah, ibu, keluarga, dan kabilhanya. Sampai semua anggota kabilahnya memeluk Islam. rasulullah bersabda kepada Bani Ghifar,
“Kabilah Ghifar semoga mendapat maghfirah (ampunan) Allah. Kabilah Aslam semoga Allah selamatkan.”
Di antara petuah Abu Dzar dalam berdakwah terdapat dalam riwayat berikut ini. Dari Shadqah bin Abi Imran bin Hatthan, ia berkata, “Aku menemui Abu Dzar. Kulihat ia berada di masjid, menyendiri dengan kain hitamnya. Aku bertanya, ‘Abu Dzar, mengapa menyendiri seperti ini’? Ia menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda,
‘Sendirian lebih baik daripada teman yang buruk. Teman yang shaleh lebih baik daripada sendirian. Ucapan yang baik lebih baik daripada diam. Dan diam lebih baik daripada berbicra yang buruk’.” [al-Jami’ ash-Shaghir, 9647].
Abu Dzar berkata,
“Berhajilah untuk menghadapi perkara yang besar. Berpuasalah di hari yang sangat terik untuk menghadapi panjangnya hari berkumpul (di mahsyar). Shalatlah dua rakaat di tengah gelapnya malam untuk menghadapi ngerinya kegelapan kubur.” [Hilyatul Auliya, Hal: 166].
Dalam Kesendirian
Setelah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu wafat, kekhalifahan dipegang oleh khalifah rasyid lainnya, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Di masa Utsman, kekuasaan kaum muslimin semakin meluas. Harta-harta datang berlimpah. Dari Persia, Romawi, Mesir. Orang-orang Arab yang dulunya miskin menjadi kaya. Mereka membangun istana. Dan hidup sebagai penguasa dunia.
Dalam kondisi gemah ripah bangsa Arab ini, Abu Dzar merenungi firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.” [Quran At-Taubah: 34-35].
Saat itu Abu Dzar tinggal di Syam dengan gubernurnya, Muawiyah bin Abi Sufyan. Syam adalah tanah kaum muslimin yang paling subur dan yang terbaik. Sementara Abu Dzar terus menyerukan pendapatnya tentang ayat tersebut. Muawiyah khawatir kedudukan Abu Dzar sebagai sahabat senior akan memperngaruhi banyak orang. Sehingga berdampak pada stabilitas pemerintahan. Namun ia segan. Ia menaruh hormat besar pada Abu Dzar. Tak berani berdiskusi dengannya, meskipun ia pemimpinnya. Iapun menulis surat kepada Amirul Mukminin Utsman bin Affan terkait masalah ini.
Utsman mengundang Abu Dzar datang ke Madinah. Terjadilah diskusi panjang antara sahabat utama ini. Dua orang yang pertama-tama memeluk Islam. Berkedudukan mulia. Dan lama bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir diskusi, Abu Dzar berkata, “Aku tak butuh dengan dunia kalian ini.” Abu Dzar meminta dengan hormat kepada Utsman untuk mengasingkan diri di Rabadzah. Utsman mengizinkannya.
Saat berada di Rabadzah, ada seseorang dari Kufah menemui Abu Dzar. Ia mengajaknya untuk memberontak kepada Utsman bin Affan. Spontan ia menghardiknya. Ia berkata, “Demi Allah, seandainya Utsman menyalibku di batang kayu. Atau mengasingkanku di gunung. Pasti aku akan menaatinya. Aku akan bersabar dan berharap pahala. Aku berpendapat itulah yang terbaik untukku. Seandainya dia mengungsikan aku dari ufuk ke ufuk. Pasti aku akan menaatinya. Aku akan bersabar dan berharap pahala. Dan menurutku itulah yang terbaik untukku. Kalau dia mengembalikan aku ke rumahku. Pasti aku akan menaatinya. Aku akan bersabar dan berharap pahala. Dan menurutku itulah yang terbaik untukku.
Wafat
Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu wafat di pengasingan di Rabadzah pada tahun 32 H/652 M. Dan ini sekaligus membuktikan mukjizat kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau bersabda tentang Abu Dzar,
“Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Dia berjalan sendirian. Wafat dalam kondisi sendirian. Dan dibangkitkan sendirian.”
KisahMuslim.com
No comment yet, add your voice below!