Kisah Abu Umamah al-Bahili
Abu Umamah menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meriwayatkan ilmu darinya. Termasuk salah seorang yang berbaiat di bawah pohon (Baitur Ridhwan). Dan ia tinggal di Kota Homs (kota di Suriah sekarang).
Abu Umamah al-Bahili, seorang sahabat yang bernama Shudai bin Ajlan radhiallahu ‘anhu. Namun kun-yahnya lebih populer dibanding nama aslinya. Ia berasal dari kabilah Arab yang berstatus sosial rendah. Kabilah Bahilah. Saking rendahnya kabilah ini di mata masyarakat Arab saat itu, sampai-sampai ada syair yang mengatakan,
Kalau seekor anjing dipanggil, Hei Bahili (orang Bahilah).
Pastilah dia menggonggong (marah) mencela garis keturunan ini.
Inilah asal-muasal sahabat yang mulia ini. Kemudian ia memeluk Islam. Agama yang tidak memandang orang karena nasabnya. Yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa kepada-Nya.
Abu Umamah al-Bahili mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya. Saat itu mulut Abu Umamah sedang komat-kamit. Rasulullah bertanya,
“Apa yang sedang kau ucapakan, Abu Umamah”? Aku jawab, “Aku sedang berdzikir kepada Allah, Rasulullah.” Beliau bersabda, “Maukah kau kuberi tahu dengan sesuatu yang lebih banyak dan lebih utama dari dzikirmu itu walaupun dibaca semalaman dan sepanjang siang”? Aku jawab, “Tentu mau, Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah: Subhanallah ‘adadd ma khalaqa. Subhanallah mil-a ma khalaqa. Subhanallah ‘adada ma fil ardhi was sama-i. Subhanallah mil-a ma fil ardhi was sama-i. subhanallah ‘adada ma ah-sha kitabuhu. Subhanallah mil-a ma ah-sha kitabuhu. Subhanallah ‘adad kulli syaiin. Subhanallahu mil-a kulli syaiin. Alhamdulillah ‘adada ma khalaqa. Walhamdulillah mil-a ma ‘adada ma fil ardhi was sama-i. walhamdulillah mil-a ma fil ardhi was sama-i. walhamdulillah ‘adada ma ah-sha kitabuhu. Walhamdulillah mil-a ma ah-sha kitabuhu. Walhamdulillah ‘adada kulli syaiin. Walhamdulillah mil-a kulli syaiin.” [Shahih at-Targhib, 1575].
Hadits ini menunjukkan mulianya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau memperhatikan para sahabatnya. Menyapa mereka agar semakin akrab. Bertanya tentang kondisi dan apa yang mereka lakukan. Kemudian memberikan saran yang lebih baik. Agar sahabatnya mendapatkan keutamaan.
Abu Umamah Shudai bin Ajlan al-Bahili radhiallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya:
Abu Umamah berkata, “Aku menyaksikan khutbah Rasulullah di Haji Wada’. Beliau mengucapkan banyak pesan yang indah. Di antaranya adalah ‘Siapa yang memeluk Islam, dan dia dari Yahudi atau Nasrani, baginya pahala dua kali. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kita. Siapa yang memeluk Islam, dan dia sebelumnya musyrik, baginya juga pahala. Ia juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kita.” [HR. ath-Thabrani].
Abu Umamah al-Bahili mendengar Rasulullah bersabda, “Bacalah ‘dua tangkai bunga indah’, yakni surat al-Baqarah dan Ali Imran. Sebab, keduanya akan datang pada hari Kiamat laksana penaung, atau seperti awan pelindung, atau seperti kelompok burung yang membeberkan sayap-sayapnya dan membela pembaca keduanya. Maka bacalah surat al-Baqarah, sebab di dalamnya terdapat keberkahan. Sedangkan meninggalkannya adalah kerugian. Bahkan, para pelaku kebatilan (para ahli sihir) pun tak mampu menembusnya.” [HR. Muslim 804].
Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan membaca Al-Quran. Dan juga menjelaskan secara khusus keutamaan sura al-Baqarah dan Ali Imran. Membaca di sini mencakup membacanya, menadabburinya, dan mengamalkannya. Semua itu adalah keberkahan.
Dari Abu Umamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku satu amalan yang Allah akan memberiku manfaat dengannya (masuk surga).” Beliau bersabda, “Kerjakanlah puasa, tak ada amalan yang setara dengannya.” [HR. Nasa’i]
Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah,
“Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang mencari balasan dan ketenaran, apa yang dia dapatkan”? Nabi menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi mengulangi jawabannya 3x. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali kalau amalan tersebut ikhlas berharap wajah Allah.” [Shahih an-Nasai, 3140].
Dari Abu Umamah al-Bahili, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaknya kalian menjaga shalat malam. Karena ini adalah ciri orang-orang shaleh sebelum kalian. Salah satu amalan yang mendekatkan kepara Allah Ta’ala. Mencegah dari perbuatan dosa. Dan menghapus dosa. Serta mengusir penyakit dari badan.” [Shahih al-Jami’, 4079].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk senantiasa mengerjakan shalat malam. Amalan ini adalah kebiasaan orang-orang shaleh. Dan merupakan shalat terbaik setelah shalat wajib yang lima waktu. Selain itu, shalat ini akan membantu seseorang terjatuh pada kemaksiatan. Menghapuskan dosa. Dan menjadi mengusir penyakit yang ada di badan. Atau menjauhkan badan dari penyakit. Baik penyakit fisik maupun penyakit hati.
Dari Abu Umamah al-Bahili, dari Hisyam bin al-Ash al-Umawi, ia berkata, “Aku bersama seorang laki-laki Quraisy diutus menuju Heraclius. Tugas kami mendakwahinya kepada Islam. Lalu kami bertemu Jabalah. Kami dakwahi ia kepada Islam. Ternyata ia mengenakan pakaian hitam. Aku bertanya kepada tentang pakaian itu. Ia menjawab, ‘Aku bersumpah untuk tidak menanggalkannya hingga aku mengeluarkan kalian dari Syam’. Kami berkata padanya, ‘Demi Allah, kami akan menguasai singgasanamu ini. Dan kami akan merebut kekuasaanmu. Nabi kami yang mengabarkan tentang hal ini’. Ia menjawab, ‘Kalian bukan orang yang melakukan itu’.
Lalu Abu Umamah dan temannya menceritakan bagaimana pertemuan mereka dengan Heraclius. Sang kaisar memperlihatkan kepada mereka sesuatu. Di dalamnya terdapat karakteristik para nabi. Sampai akhirnya ia memperlihatkan karakteristik Nabi Muhammad. Ternyata karakteristik beliau digambarkan putih. Ia bertanya, “Kalian tahu ini”? Kata Abu Umamah, “Kami pun menangis. Kami jawab, ‘Tentu tahu’.” Heraclius lalu berdiri tegak. Lalu duduk kembali. Ia berkata, “Demi Allah, dia (Nabi yang kalian ceritakan) adalah ini.” Kami menjawab, “Iya.”
Heraclius berkata, “Pegang erat erat-erat. Sungguh dialah rumah terakhir. Namun aku belum saatnya melihat apa yang ada pada sisi kalian. Kalau sekiranya aku mampu untuk pergi meninggalkan kerajaanku. Aku berandai menjadi seorang budak dari tuan kalian (Nabi Muhammad) di kerajaannya. Hingga kematian datang menjemputku.”
Abu Umamah berkata, “Saat sampai di Madinah, kami ceritakan hal ini kepada Abu Bakar, iapun menangis. Lalu mengatakan, ‘Kalau Allah menginginkan kebaikan untuknya pastilah ia tinggalkan kerajaannya’.” Kemudian Abu Umamah melanjutkan, “Rasulullah memberi tahu kami bahwa mereka orang-orang Nasrani dan Yahudi mengetahui karakteristik beliau.”
Ada banyak pelajaran dari kisah pertemuan Abu Umamah dan Heraclius ini. Di antaranya adalah tentang mahalnya hidayah Islam. Dan betapa beruntungnya orang yang mendapatkan hidayah Islam. Sampai-sampai Abu Bakar berkata, “Seandainya Allah menginginkan kebaikan (untuk Heraclius), pasti (dia diberi kekuatan dan hidayah) untuk meninggalkan kerajaannya.” Namun Heraclius tidak melakukan hal itu.
Padahal kita ketahui, Heraclius memiliki kebaikan. Yaitu jabatan raja di negara adidaya. Jabatan absolut. Kenikmatan dunia mana yang tak pernah ia rasakan? Tapi kata Abu Bakar, ada kebaikan yang jauh lebih besar. Yaitu hidayah memeluk Islam. Beruntunglah kita yang diberi petunjuk kepada Islam, mempelajarinya, dan mengamalkannya. Itu lebih hebat dari kenikmatan raja dunia yang memiliki kekuasaan absolut.
Kemudian lihatlah, Islam adalah agama persamaan dalam kemanusiaan. Abu Umamah al-Bahili seorang laki-laki yang garis nasabnya rendah di mata bangsa Arab sebelum Islam. Islam mengangkat kedudukannya. Bahkan ia berkesempatan berdialog dan mendakwahi raja dunia.
Dari Salim bin Amir, ia berkata, “Ada seseorang menemui Abu Umamah lalu berkata, ‘Abu Umamah, aku bermimpi melihat malaikat bershalawat (mendoakanmu) untukmu. Setiap aku masuk dan keluar. Setiap aku berdiri dan duduk’. Abu Umamah menanggapi dengan mengatakan, ‘Aku mohon ampunan kepada Allah. Kusampaikan kepada kalian, kalau kalian mau, malaikatpun akan bershalawat kepada kalian. Kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” [Quran Al-Ahzab: 41-43].
Muhammad bin Ziyad al-Alhani berkata, “Aku pernah menggandeng tangan Abu Umamah, sahabat Rasulullah. Aku berjalan bersamanya menuju rumahnya. Tidaklah ia melewati seorang muslim, anak kecil, bahkan siapapun, kecuali ia berkata, ‘Salamun ‘alaikum. Salamun ‘alaikum’. Apabila sampai di depan pintu rumahnya, ia menoleh kepada kami dan mengatakan, ‘Hai anak saudaraku, Nabi kita memerintahkan kepada kita untuk menyebarkan salam’.”
Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku melihat Abu Umamah mendatangi seseorang di masjid. Orang tersebut sujud sambil menangis. Ia berdoa kepada Rabbnya dalam sujudnya. Abu Umamah berkata padanya, ‘Kamu ini, kamu ini. Seandainya kau lakukan hal ini di rumahmu’.”
Maksud beliau sembunyikan tangis dan khusyukmu. Sujud berlama-lama sambil menangis-nangis di hadapan keramaian masjid sangat mudah disusupi setan. Dari khusyuk berubah menjadi riya’.
Sulaiman bin Habib al-Muharibi berkata, “Aku bersama Makhul dan Ibu Abi Zakariya menemui Abu Umamah. Lalu ia melihat pedang-pedang kami terdapat hiasan perak. Ia berkomentar, ‘Sungguh kota-kota dan berbagai penjuru negeri ditaklukkan oleh pedang-pedang yang tidak berhiaskan emas dan perak’. Kami berkata, ‘Ini lebih sedikit dari itu’. Abu Umamah berkata, ‘Sama saja. Sungguh orang-orang jahiliyah lebih bermudahan lagi dari kalian. Tapi mereka tidak berharap pahala dan sepuluh kali kelipatannya. Sementara kalian mengharapkannya, namun tidak kalian lakukan’. Saat kami keluar, Makhul berkata, ‘Kita telah menemui seorang tua yang bijak dan cerdas’.”
Sulaiman bin Habib al-Muharibi berkata, “Aku memasuki Masjid Homs. Ternyata ada Makhul dan Ibnu Abi Zakariya yang sedang duduk di sana. Makhul berkata, ‘Sekiranya kita berangkat dan menemui Abu Umamah, sahabat Rasulullah. Kita tunaikan hak (penghormatan) kepadanya dan mendengarkan ucapannya’. Kami pun berdiri dan pergi hingga berjumpa dengannya. Kami mengucapkan salam dan ia membalasnya. Abu Umamah berkata, ‘Sungguh masuknya kalian di tempatku ini adalah rahmat untuk kalian dan hujjah yang nanti akan mengadili kalian. Aku belum pernah melihat Rasulullah begitu takut terhadap umat ini melebih kedustaan dan fanatik kelompok (ashobiyah). Karena itu, waspadailah dusta dan ashobiyah. Ketahuilah ini adalah urusan yang kami sampaikan kepada kalian dari Rasulullah. Dan kami telah melakukannya. Sampaikanlah pada orang lain wasiat dari kami ini. Sebagaimana kami menyampaikannya pada kalian’.”
Abu Umamah Shudai bin Ajlan al-Bahili radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 81 H. Saat itu ia berusia 91 tahun. Pendapat lain mengatakan, ia wafat tahun 86 H.
Sumber Rujukan Penulisan:
Tahdzib al-Kamal, Tafsir ath-Thabari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasai, Shahih Ibnu Khuzaimah, al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Asad al-Ghabah, al-Isti’ab.
islamstory.com
KisahMuslim.com
No comment yet, add your voice below!