Kisah Ka’ab Bin Malik Yang Tidak Turut Serta Dalam Perang Tabuk Bagian 1
Dari Abdurrahman bin Abdillah bin Ka’ab bin Malik, Abdullah bin Ka’ab bin Malik salah seorang anak Ka’ab yang menjadi penuntunnya saat Ka’ab telah buta dia berkata, “Saya mendengar Ka’ab bin Malik Radhiallahu’anhu menceritakan tentang peristiwa ketidakikutsertaannya bersama Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dalam peperangan Tabuk.
Ka’ab berkata, “Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dalam suatu peperangan yang dipimpin sendiri oleh beliau kecuali dalam peperang Tabuk. Selain dari itu, aku memang tertinggal pula dalam perang Badar. Tetapi tidak seorang pun dapat disalahkan bila tertinggal (tidak ikut serta) ketika itu, karena Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam pergi dengan maksud hendak menghadang Kafilah Quraisy. Namun Allah subhanahuwata’la telah mempertemukan mereka dengan musuhnya tanpa terduga sebelumnya.
Aku telah bai’at bersama Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam pada malam Bai’at ‘Aqabah ketika kami bersumpah setia untuk Islam. Dan aku tidak senang kalau malam Aqabah itu dipersamakan dengan perang Badar. Sekalipung perang Badar itu lebih terkenal dari Aqabah di kalangan orang banyak.
Kemudian cerita mengenai ketidakikutsertaanku bersama Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dalam perang Tabuk ialah: Sesungguhnya aku belum pernah sedikt pun merasa diriku lebih kuat dan lebih mampu dari keadaanku ketika tertinggal (tidak ikut) dalam perang itu. Demi Allah, aku belum pernah menyiapkan dua kendaraan kecuali menjelang peperangan Tabuk itu.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam bila akan berperang menyamarkan dengan tujuan lain. Namun dalam perang Tabuk ini Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam tidak menyamarkannya. Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam merencanakan penyerangan pada musim panas yang terik dan akan menempuh perjalanan pada musim panas yang terik dan akan menempuh perjalanan yang sangat jauh serta kana menghadapi musuh yang sangat besar. Oleh karean itu Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam menjelaskan kepada kaum Muslimin tugas berat yang bakal mereka hadapi agar mereka bersiap-siap dan bersungguh-sungguh dalam menghadapi peperangan ini. Beliau memberitahukan sasaran yang dituju.
Kaum muslimin yang mengikuti Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam di dalam peperangan itu sangat banyak, tetapi tidak ada suatu daftar yang mencatat nama-nama dan jumlah mereka.
Seandainya seseorang berkehendak untuk tidak ikut dalam peperangan itu ia pasti akan mengira bahwa hal itu tidak akan diketahui selam tidak ada wahyu dari Allah subhanahuwata’ala yang menjelaskan hal itu.
Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam melaksanakan Perang Tabuk pada musim buah-buahan telah siap panen dan cuaca beraawan. Sebenarnya hatiku lebih cenderung untuk mengikuti perang itu. Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dan kaum Muslimin telah bersiap-siap, sementara aku merencakan untuk berkemas-kemas bersama mereka besoknya saja. Kemudian saya pulang tetapi saya belum juga mempersiapkan diri sama sekali serta saya berkata dalam hati, ‘Saya mampu untuk ikut berperang kapanpun saya berkehendak.’
Akan tetapi keadaan seperti itu terus berlaru-larut dan Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam serta kaum Muslimin telah siap untuk berangkat, tetapi saya belum juga terdorong untuk mengikutinya. Saya pulang tetapi saya belum juga mempersiapkan diri, toh saya bisa mempersiapkannya dalam 1 atau 2 hari, untuk kemudian aku bergabung dengan mereka.
Keesokan harinya , setelah mereka selesai bersiap-siap, aku pulang kerumah, namun aku tidak berbuat apa-apa. Hal yang demikian ini berlarut-larut terus hingga tiba saatnya keberangkatan pasukan perang ini. Dan saya masih punya pendirian bahwa saya masih bisa mengejar pasukan itu.
Ketika aku mulai berkemas dan keluar hendak menyusul Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam, namun keinginan tinggal keinginan. Aku tetap saja tidak berangkat.
Setalah Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam berangkat perang saya merasa sedih sekali. Kalau keluar saya tidak seorang pun diantara kaum Muslimin, kecuali orang-orang munafik, atau orang-orang lemah yang diberi kemurahan (dimaafkan) oleh Allah ‘azawajalla.
Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam tidak menyebut-nyebut nama saya sehingga sampai di Tabuk. Sewaktu di Tabuk dan beliau sedang duduk-duduk dengan kaum Muslimin barualh beliau bertanya, ‘Apa yang diperbuat oleh Ka’ab bin Malik?’ Seorang dari Bani Salamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dia terhalang karena merasa sayang pada selimutnya itu.’ Kemudian Muadz bin Jabal berkata kepada laki-laki dari Bani Salamah, ‘Alangkah buruknya perkataanmu. Demi Allah, Wahai Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam, kami tidak mengenal Ka’ab kecuali selalu berbuat baik.’ Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam lantar terdiam.
Setelah ada berita bahwa Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam telah datang kembali dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku dan saya hampir saja berdusta untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku kareana saya ingin menghindari kemurkaan beliau dan saya sudah berusaha untuk meminta pendapat seluruh keluargaku dalam mencari alasan.
Setelah ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam telah benar-benar datang dari Tabuk, maka hilanglah dari ingatanku segala pikiran buruk itu. Aku mengerti benar bahwa ak tidak akan lepas sedikitpun dari hukuman, walaupun dengan berbagai alasan. Karena itu aku bertekad hendak mengaku terus terang atas kesalahanku.
Pagi-pagi waktu subuh Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam tiba. Seperti biasa apabila beliau tiba dari suatu perjalanan beliau langsung ke masjid shalat dua rakaat kemudian duduk di tengah-tengah orang banyak.
Pada saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut perang untuk mengajukan alasan-alasan mereka masing-masing kepada beliau dan bersumpah kepadanya. Semuanya berjumlah lebih kurang 80 orang. Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam menerima alasan dan sumpah-sumpah mereka yang tampak nyata dan memohonkan ampun untuk mereka. Sedangkan hal-hal yang tersembunyi atau yang mereka rahasiakan, beliau serahkan kepada Allah ‘azawajalla.
Sewaktu saya menghadap Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dan mengucapkan salam, beliau tersenyum sinis, senyum kemarahan, lalu beliau bersabda, ‘Mari kesini.’ Saya pun datang mendekati dan duduk di hadapan beliau, beliau lantas bertanya, ‘Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut, bukanlah kamu telah membeli kendaraan?.
Saya menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam, Demi Allah, seandainya saya duduk di hadapan orang selain Anda dari penduduk dunia ini, niscaya saya akan mencari jalan keluar dari kemarahannya dengan berbagai alasan, karena saya cukup mahir berdebat, tetapi demi Allah saya yakin seandainya saya berdusta kepada Anda yang mungkin Anda meridhai dan menerima alasan saya namun nanti Allah akan memurkai saya lewat Anda. Dan seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada diriku niscaya Anda akan sangat murka kepadaku, tetapi saya tetap mengharapkan kemaafan dari Allah. Demi Allah sesungguhnya saya tidak mempunyai alasan apapun juga, dan Demi Allah, sesungguhnya saya belum pernah merasa sesehat dan selapang ini, di mana aku tidak turut berperang bersama-sama Anda.’
Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam bersabda, ‘Apa yang kamu katakan adalah sesuatu kejujuran; pergilah kamu sampai Allah memutuskan perkata untukmu.’
Sewaktu saya pergi, orang-orang Bani Salimah mengikutiku seraya berkata, ‘Demi Allah, kami belum pernah mengetahui kamu berbuat kesalahan sebelum ini, kenapa kamu tidak minta maaf saja kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam sebagaimana orang-orang lain yang tidak ikut berperang juga meminta maaf dengan mengajukan alasan. Niscaya dosamau diampuni Allah berkat permohonan ampun dari Rasulullah bagimu.’
Demi Allah mereka selalu menyalahkan sikapku sehingga saya akan bermaksud untuk kembali kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dan menarik pengakuanku semula. Tetapi kemudian saya bertanya kepada orang-orang Bani Salimah, ‘Apakah ada seseorang yang menerima keputusan seperti saya ini?’
Mereka menjawab, ‘Ya, ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan keduanya itu mendapatkan keputusan seperti keputusan yang diberikan kepadamu, ‘Saya bertanya, ‘Siapakah kedua orang itu?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin ar-Rabi’ah al-Amri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.’
Mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang shalih yang turut serta dalam perang Badar dan orang-orang yang pantas menjadi teladan. Setelah mereka menerangkan hal kedua orang itu akupun berlalu, dan Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam melarang kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami bertiga yang tidak ikut perang Tabuk.
Maka orang-orang menjauhi (memboikot) kami. Sikap mereka berubah terhadap kami, sehingga saya merasa seperti orang asing di negeri yang aku diami, dimana penduduknya aku kenal selama ini. Hukuman seperti itu akau alami selama 50 hari.
(Sementara itu), kedua teman saya itu tetap tinggal di rumah dan menangis terus menerus. Sedangkan saya adalah yang termuda dan terkuat diantara ketiga orang itu. Saya tetap keluar dan ikut shalat bersama-sama kaum Muslimin serta mondar-mandir ke pasar juga, akan tetapi tidak pernah ada seorang pun yang menyapa saya. Bahkan pernah saya mendekat Rasulullah Salallahu’alaihiwassallam dan duduk sehabis shalat, dalam hati kecilku timbul pertanyaan apakah beliau berkenan menggerakkan bibir beliau untuk membalas salam saya atau tidak. Kemudian saya langsung shalat di depan beliau sambil melirik, ketika saya sedang shalat itu beliau memandang diriku dan bila saya meliriknya beliau membuang muka.
Setelah suasana diboikot kaum Muslimin seperti itu berjalan agak lama, pada suatu sore, saya menaiki dinding rumah Abu Qatadah, dia sepupu saya dan dialah orang yang paling saya cintai. Kemudian saya mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Demi Allah, dia tidak membalas salam saya itu, lantas saya berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Qatadah, demi Allah saya ingin mendengar jawabanmu, tidak tahukah kamu bahwa saya tetap mencintai Allah subhanahuwata’ala dan RasulullahNya?’ Abu Qatadah diam saja. Saya bertanya lagi, tetapi dia tetap membisu.
Saya bertanya lagi. Akhirnya dia menjawab juga dengan ucapan, ‘Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.’Maka mengucurlah air mataku mendengar jawabannya. Saya segera kembali dengan naik dinding rumah Abu Qatadah.
Pernah suatu ketika saya berjalan-jalan dipasar, tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya, ‘Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepada saya?’ Maka orang-orang menunjuk diriku,lalu orang itu datang kepadaku dengan memberikan sepucuk surat dari Ghassan, ternyata isinya antara lain:
‘Amma ba’du, ingin saya sampaikan bahwa saya mendengar temanmu (yakni Nabi Salallahu’alaihiwassallam) sedang mengucilkan dirimu sedang Allah tidaklah menjadikan dirimu itu seorang yang hina dan bukanlah orang yang pantas disia-siakan, oleh karena itu datanglah pada kami niscaya kami benar-benar bersedia memberi bantuan kepadamu.’
Setelah membaca surat itu saya berkata, ‘Ini adalah ujian yang baru lagi bagiku’ Maka kucari api lalu kubakar surat tersebut.
Kisah berlanjut..
sumber : Buku 61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab
No comment yet, add your voice below!