Kisah Kehidupan Mu’awiyah Bin Abi Sufyan Radhiyallahu Anhuma
Mencintai para sahabat Rasûlullâh –Radhiyallahu ‘anhum- menjadi kewajiban bagi seorang muslim. Dan melakukan pembelaan kepada mereka merupakan konsekwensi dari rasa cinta tersebut. Termasuk pada masa sekarang ini, tuduhan dan celaan tanpa dasar banyak disebarkan di tengah-tengah masyarakat dan mempengaruhi sikap mereka terhadap para sahabat. Syubhat yang dihembuskan para musuh Islam sudah masuk ke dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga tanpa disadari banyak kaum muslimin sudah mencela sebagian sahabat. Diantara sahabat yang dicela adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhuma. Sejarah kehidupan beliau yang tersebar di masyarakat banyak tercemari berita dusta.
Sahabat yang mulia ini adalah tabir penutup dan tameng bagi para sahabat seluruhnya. Apabila tabir penutup tersingkap, maka orang-orang yang gemar mencela akan lebih lancang dan berani mencela sahabat lainnya. Diungkapkan oleh ar-Rabi’ al-Halabi sebagaimana disampaikan Imam ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan- Nihayah (8/139): “Mu’awiyah adalah tameng bagi para sahabat Nabi lainnya. Apabila tersingkap, maka seseorang akan berani merambah yang di belakangnya”.
Imam an-Nasa’i pernah ditanya tentang sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyân, beliau menjawab: “Islam itu bagaikan sebuah rumah yang memiliki pintu. Pintu Islam adalah para sahabat. Barangsiapa yang mengganggu para sahabat, berarti ia ingin mengganggu Islam. Ibarat seseorang yang merusak pintu, tentulah hanya ingin masuk ke dalam rumah tersebut. Barang siapa yang menginginkan (jelek) Mu’awiyah, berarti ia (juga) menginginkan para sahabat”. Lihat Tahdzibul-Kamâl, 1/45.
Oleh karena itu, menjelaskan keutamaan dan sejarah yang benar tentang Mu’awiyah ini termasuk melakukan pembelaan terhadap para sahabat. Membela para sahabat berarti membela Islam.
Beliau memiliki nama Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdumanaf al-Qurasyi. Menjadi salah satu sahabat dan ipar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau juga seorang penulis wahyu dan menjadi Khalifah kaum muslimin. [Lihat Mukhtashar That-hîr al-Jinan wal-Lisân, Sulaiman al-Khirasyi, hlm 27].
Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam Lum’atul-I’tiqad menyebutkan, bahwa Mu’awiyah saudara ibunya kaum mukminin (khâl al-Mu’minin), penulis wahyu dan seorang kholifah kaum muslimin. [Lihat Lum’at al-I’tiqâd, Ta’liq Ibnu Utsaimin, hlm 107]
Mu’awiyah dilahirkan di kota Mekkah sekitar lima tahun sebelum kenabian. Beliau tumbuh dan terbina di antara kaumnya, Bani Umayyah dengan diliputi kemuliaan dan kekayaan. Keluarga besar Mu’awiyah terkenal dengan ketokohan dan sebagai panglima pada masa jahiliyah. Kakek beliau, Harb bin Umayyah adalah penglima kaum Quraisy dalam perang al-Fijâr. Bapaknya, Abu Sufyân sendiri merupakan satu diantara pembesar Quraisy yang dipercaya kaumnya pada masa jahiliyah dan masuk Islam setelah penaklukan Mekkah. Adapun ibu beliau adalah Hindun bintu ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abdusy-Syams bin Abdumanaf. Dia termasuk tokoh wanita Quraisy yang terkenal dan masuk Islam bersama suaminya. Bapaknya adalah Utbah, seseorang yang termasuk tokoh terkenal di Mekkah dan mati dalam perang Badr bersama kaum kafir Quraisy lainnya.
Mu’awiyah termasuk pemuda Quraisy yang belajar membaca dan menulis. Saat itu orang yang bisa menulis sangat sedikit. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai salah satu juru tulis beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Para ulama sejarah sepakat tentang keislaman Mu’awiyah bin Abi Sufyân. Tetapi mereka berselisih waktu keislamannya. Imam an-Nawawi[1] dan Ibnu al-Qayyim[2] menetapkan Mu’awiyah termasuk yang masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada tahun kedepalan Hijriyah. Sedangkan Abu Nu’aim al-Ashbahani[3] dan adz-Dzahabi menjelaskan menjelang penaklukan kota Mekkah (fathu Makkah).
Perselisihan ini bersumber dari keadaan beliau yang menyembunyikan keislamannya, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat (1/131). Adapun Imam adz-Dzahabi secara pasti menyatakan, Mu’awiyah masuk islam sebelum bapaknya dalam Umrah Qadha`. Dia merasa takut terhadap bapaknya untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Meski demikian, perselisihan pendapat ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mencela Mu’awiyah, dan tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mu’awiyah ikut serta memerangi kaum murtad dalam perang Yamamah. Kemudian Abu Bakar mengirimnya ke saudaranya, yaitu Yazid bin Abi Sufyân untuk menaklukan negeri Syam. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab, beliau mengangkatnya sebagai Gubernur Syam pada tahun 21 H setelah saudaranya, Yazid bin Abi Syufyân wafat. Jabatan ini disandangnya hingga Khalifah Umar bin al-Khathab wafat. Adapun ketika Utsman bin Affân menjadi khalifah, beliau tetap mengangkat Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam. Selanjutnya, pasca Khalifah Utsman terbunuh pada tahun 35 H, Mu’awiyah tidak membai’at Khalifah Ali bin Abi Thalib z sehingga muncul fitnah yang berkelanjutan selama lima tahun dan terjadilah perang yang terkenal, yaitu perang Shiffin pada tahun 37 H.
Pada tahun 41 H beliau dibai’at menjadi khalifah setelah pengunduran diri al-Hasan bin Ali dari kekhilafahan. Tahun ini dinamakan tahun jama’ah (‘âm al-jama’ah), karena bersatunya kembali kaum muslimin. Pemerintahan Mu’awiyah ini berlanjut hingga wafatnya pada tahun 60H.
Khalifah Mu’awiyah terkenal sebagai pemimpin yang mencintai jihad fî sabilillâh. Beliau terkadang memimpin langsung pertempuran, mengirim para panglima dan tentaranya melakukan penaklukan. Pada masanya, beliau memerintah banyak sekali negara yang ditaklukkan, diantaranya Qubrus, Shaqliyah, Negara Sind, Kabul, al-Ahwaaz hingga Afrika Utara.
Mu’awiyah bin Abi Sufyân termasuk dalam kalangan ulama sahabat, sehingga disifati oleh Ibnu Abbas sebagai seorang faqih. Demikian juga Fudhail bin Iyâdh pernah mengatakan, amalanku yang paling kuat dalam jiwaku adalah cinta kepada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarâh, dan cintaku kepada para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Fudhail bin Iyâdh mendoakan Mu’awiyah dan berkata: “Beliau termasuk ulama dari para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[4]
Mu’awiyah bin Abi Sufyân termasuk perawi hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal. Disamping meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga meriwayatkan dari saudarinya Ummul-Mukminin, Ummu Habibah, Abu bakar dan Umar. Diantara tokoh-tokoh yang mengambil hadits dari beliau ialah Abdullâh bin Abbas, Abu Sa’id, Abdullâh bin Zubair, an-Nu’man bin Basyir, Jarir bin Abdillah, Abu Shalih as-Sammân, Abu Idris al-Khaulani, Abu Salaamh bin Abdirrahman, Urwah bin az-Zubair, Sa’id al-Maqburi, Khalid bin Mi’daan dan Sa’id bin al-Musayyib serta lainnya[5]. . Riwayat Abu Sa’id al-Khudri dan Jarir bin Abdillah terdapat dalam Shahih Muslim, dan riwayat Ibnu Abbas dari beliau tersebut dalam shahîhain.
Imam adz-Dzahabi menjelaskan hadits-hadits yang diriwayatkan Mu’awiyah dalam Musnad Baqi bin Makhlad berjumlah 163 hadits. Yang dikeluarkan Imam al-Bukhâri dan Muslim secara bersama ada 4 hadits, dan yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri tanpa Imam Muslim berjumlah 4 hadits. Adapun yang diriwayatkan Imam Muslim tanpa al-Bukhâri berjumlah 5 hadits.
Mu’awiyah ikut serta dalam jihad bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan sebagian peperangan tersebut. Diantaranya perang Hunain dan ath-Thaif.[6] Berikut adalah diantara peperangan yang diikuti beliau selama menjadi Gubernur Syam pada zaman Umar dan Utsman, dan saat beliau menjadi khalifah.
- Beliau meminta ijin kepada Khalifah Utsman ikut berperang di lautan, yaitu ke Qubrus, dan Allâh memenangkannya. Peperangan ini disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
Pasukan pertama yang berperang di lautan sungguh telah mengerjakan perbuatan yang berhak mendapatkan syurga. [HR al-Bukhâri, 2924].
Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini, bahwa Mu’awiyah adalah tentara pertama yang mengarungi lautan. Itu terjadi pada masa Kekhilafahan Utsman.[7] Waktu itu ia menjadi panglima pasukan.
- Pada Kekhalifahan Mu’awiyah terjadi pengepungan Konstantinopel. Yaitu pada tahun 49 H. Diantara pasukan yang dikirim terdapat para sahabat, diantaranya Ibnu Abbas, Ibnu az-Zubair dan Abu Ayyub al-Anshari.
- Pada tahun 54 H terjadi pengepungan kedua atas Konstantinopel dengan panglima Abdullâh bin Qais al-Hâritsi at-Tajibi dengan dibantu Fudhalah bin Ubaid. Lama pengepungan ini berjalan selama enam atau tujuh tahun.[8]
- Pada tahun 41 H Mu’awiyah memerintahkan Amru bin al-Ash, Gubernur Mesir untuk memerangi bagian utara Afrika dan memberikan perlawanan kepada Negara Bizantium. Untuk penaklukkan ini Amru bin al-Ash menyiapkan Uqbah bin Naafi’ al-Fihri, dan Uqbah berhasil menaklukan banyak negeri di kawasan Afrika Utara. Kemudian dibangunlah kota al-Qairwaan sebagai pusat penaklukan Islam di Afrika Utara.
- Pada masa pemerintahan Mu’awiyah, kaum Muslimin berhasil menaklukan banyak dari negeri Khurasaan dan Sajisitan, seperti kota Bust, Khasyk, Kabul dan lainnya. Penaklukan ini dimulai dari tahun 42-43 H ketika Gubernur Abdullah bin Amir bin Kuraiz mengangkat Abdurrahman bin Samurah bin Habib sebagai panglima penaklukan dan jihad di wilayah ini. Pusat pasukan ditempatkan di kota Marwu dan pasukan dipimpin oleh al-Hakam bin Amru al-Ghifâri.
Beliau memiliki banyak keutamaan, diantaranya: 1. Keislamannya. Para ulama sepakat mengenai keislamannya dan merupakan keutamaan besar baginya. Sikap istiqamahnya ditunjukkan dengan adanya hadits-hadits yang menjelaskan keislamannya, baik yang bersifat khusus maupun umum. Diantaranya adalah hadits Fathimah bintu Qais yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Mu’awiyah dan Abu Jahm yang melamarnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Adapun Abbu Jahm, maka ia tidak bisa melepas tongkat dari bahunya. Sedangkan Mu’awiyah, ia miskin tidak memiliki harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid. [HR Muslim no. 1480].
Hadits ini menjelaskan keutamaan Mu’awiyah dan bantahan atas tuduhan ketidakistiqamahannya dalam Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa Mu’awiyah tidak mempunyai harta saja. Seandainya ada masalah dengan keislamannya, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya.
Keistiqamahan Mu’awiyah tidak hanya pada awal Islam dan masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup saja, tetapi terus berlanjut, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan keistiqamahan keislaman Mu’awiyah dalam sabdanya:
Sesunggunya anakku ini adalah Sayyid, dan Allâh akan mendamaikan dengan sebabnya antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin. [HR al-Bukhâri, no. 2704].
Hadits ini menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki al-Hasan bin Ali, namun juga ada penisbatan sifat kelompok yang dipimpin al-Hasan bin Ali dan yang dipimpin Mu’awiyah dengan keislamannya. Pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas sikap al-Hasan yang mengalah dan berdamai menunjukkan keabsahan kepemimpinan Mu’awiyah. Seandainya Mu’awiyah tidak berhak atas kekhilafahan setelah al-Hasan mundur, tentulah al-Hasan tidak memuji pengunduran dirinya dari kekhilafahan. Oleh karena itu, Sufyaan bin Uyainah berkata: “Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘dua kelompok dari kaum Muslimin’ sangat menakjubkan aku”[9].
Al-Hâfizh ibnu Katsir mengatakan: “Padanya terdapat hukum keislaman kedua kelompok, yaitu ahlu Syam dan ahlu Iraaq; tidak seperti yang dituduhkan sekte Rafidhah orang bodoh dan jahat berupa vonis kafir terhadap ahlu Syaam”.[10]
- Mu’awiyah adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tentang statusnya sebagai sahabat sangatlah jelas, seperti disampaikan Ibnu Abi Mulaikah:
Mu’awiyah shalat witir satu rakaat setelah Isya, dan disana terdapat maula Ibnu ‘Abbas. Lalu sang maula menemui Ibnu ‘Abbas, maka Ibnu ‘Abbbas berkata: “Biarkanlah, sesunggunya ia adalah sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [HR al-Bukhâri, no. 3746]
Sebagai sahabat, ia mendapatkan keutamaan dan kedudukan.
- Menjadi Juru Tulis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini dijelaskan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu :
Kaum Muslimin tidak memandang dan berkumpul dengan Abu Sufyân, lalu Abu Sufyan berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Nabi Allah! Berikanlah kepadaku tiga perkara”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya”. Abu Sufyân berkata: “Aku memiliki perempuan Arab yang terbagus dan tercantik, Ummu Habibah bintu Abi Sufyan. Aku menikahkannya denganmu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya”. Abu Sufyân berkata: “Mu’awiyah engkau jadikan sebagai juru tulismu”. Beliau menjawab: “Iya”. Abi Sufyân pun berkata: “Perintahkanlah kepadaku hingga aku memerangi orang-orang kafir sebagaimana dahulu aku memerangi kaum Muslimin”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya”. [HR Muslim, no. 2501].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya menjadi penulisnya karena kepandaian dan amanahnya”[11].
- Mu’awiyah mendapatkan doa dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Ya, Allâh! Jadikanlah ia menjadi orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan petunjuk, dan berilah petunjuk dengannya. [HR at-Tirmidzi dan dishahîhkan al-Albani dalam al-Misykah, no. 623 dan Silsilah ash-Shahîhah, no. 1969].
- Mu’awiyah adalah khâl (saudara dari Ummul-Mukminin) dan ipar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mu’awiyah adalah saudara ummul mukminin istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyân. Berkaitan dengan hal ini, Imam Ahmad berkata: “Mu’awiyah khâl al-mukminin dan Ibnu Umar khâl al-mukminin”. [as-Sunnah, al-Khalâl 2/433].
Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
Semua hubungan (perkawinan) dan nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali hubungan perkawinan dan nasabku. [hadits ini dinilai shahîh li ghairihi oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah , 2036].
Ini semua merupakan keutamaan tersendiri bagi Mu’awiyah.
Demikian sisi lain dari kehidupan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyân. Dia telah mengorbankan hidupnya untuk kejayaan Islam hingga wafatnya dalam usia 80 tahun setelah mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota. Beliau wafat dan dimakamkan di Damaskus, Suriah pada bulan Rajab tahun 60 H. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari perjalanan hidupnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Lihat Syarah Shahih Muslim, 8/231.
[2]. Lihat Zaad al-Ma’ad, 2/126.
[3]. Lihat Ma’rifathushshahabat, 5/2496.
[4]. Diriwayatkan oleh al-Khalaal dalam kitab as-Sunnah, hlm 438. [5]. Lihat Siyar a’lam an-Nubala, 5/116.
[6]. Lihat Thabaqat ibnu Sa’ad, 7/406.
[7]. Fathul Baari, 6/90.
[8]. Lihat Tarikh ath-Thabari, 3/221.
[9]. Lihat Fathul Baari, 13/66.
[10]. Al-Bidayah wan Nihaayah, 10/513.
[11]. Minhajussunnah, 4/439.
No comment yet, add your voice below!