Kisah Masuk Islamnya Salman Al Farisi (Bagian Pertama)
Dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, ” Salman al_Farisi menceritakan bigrafinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Beliau berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya, aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seoran gadis yang dipingit.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggungjawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam sesaatpun.
Ayahku memiliki tanah pertanian yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi kesana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus di selesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dilakukan orang-orang diluar karenan ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereke, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam geraja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kami anut selama ini.’ Demi Allah, aku beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka,’ Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab ‘dari Syam (Syria).’
Kemudian aku pulang kerumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anankku, kemana saja kamu pergi? Bukankah aku telah berpesan kepadmu untuk mengerjakan apa yang aku pertintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gerega, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara didalam rumahnya.
Suatu hari ada seorombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan Syiria terdir dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meinta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, agar memberiku izin untuk menemui mereka.
Ketia para pedagang itu hendak kembali ke negerinya, mereka memberitahu kepdaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakuku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampai aku di Syria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang paling ahli tentang agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar darimu dan bersembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’ Maka akupun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia mnyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah-sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada oran-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Maka aku sangat benci perbuatan pendeta tersebut. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, sebenarnya pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu sudah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku mejawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, ‘Baik, tunjukkan simpanananya tersebut kepada kami.’ Lalu aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanana pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang mengerjakan sembahyang lima waktu (bukan sembahyang seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencitai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka akupun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai sperti cintuku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, (keputusan) Allah (ajal) telah datang kepadamu, maka kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku. Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakat pun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia disana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memeliki keyakinan sebagaiman dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. AKupun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan si Fulan sebelumnya kepadaku. Namun iapun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkau aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?.’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin, yakni , Fulan. Temuilah ia!’
Maka beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku mencertikan keadaanku dan apa yang diperintahkan si Fulan kepadaku. Orang itu berkata, ‘ Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal dengan seseorang yang sangat baik.
Namum, kematian datan menjemputnya. Dan diambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkau aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?.’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorang pun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seorang yang tinggal di Amuria (kota Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaiman yang selana ini kami pegang.’
Setelah seorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepdanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Ditempat orang itu aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketiak itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui si Fulan, kemudian si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau pertintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawah ajaran Nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Diantara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cap kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah kesana!’
Baca kisah selanjutnya
sumber : Buku 61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab
No comment yet, add your voice below!