Skip to content
Kaum muslimin yang telah menempuh perjalanan hijrah dari Mekkah menuju Madinah mesti menghadapi beberapa permasalahan sosial. Kedatangan mereka yang tanpa perbekalan memadai ke suatu daerah agraris yang sangat berbeda dengan daerah asal yang gersang menjadi faktor pemicu. Intinya, mereka membutuhkan bantuan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pemukiman. Persaudaraan (al-muâkhâh) yang dijalin oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam antara kaum muhajirin dan anshar sudah merupakan salah satu solusi untuk meminimalisir problematika di atas. Kaum anshar sudah mencurahkan segala kemampuan dalam rangka membantu kaum muhajirin. Namun sebagian kaum muhajirin ini masih membutuhkan tempat tinggal. Ditambah lagi, intensitas gelombang hijrah yang tak kunjung berhenti, terutama sampai menjelang perang Khandaq. Tak diragukan, bila kondisi ini mendorong Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mulai memikirkan tempat berteduh bagi orang-orang fakir yang sudah menetap di Madinah. Asal Bangunan Shuffah Momen yang tepat pun datang. Manakala perintah pengalihan arah kiblat datang dari arah Masjidil Aqsha ke arah Ka’bah (kaum muslimin menghadap arah Masjidil Aqsha dalam sholat selama 16 bulan pasca hijrah Rasulullah ke Madinah), akibatnya tembok yang sebelumnya berada di depan, kini menjadi di belakang masjid. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tempat itu diberi atap. Akan tetapi, bagian sisi-sisi pinggirnya masih dibiarkan terbuka tanpa tembok penutup. Itulah tempat yang kemudian dikenal dengan Shuffah yang akan menjadi tempat tinggal bagi kaum muhajirin yang papa. Secara pasti, tidak diketahui berapa luas Shuffah. Tapi yang jelas, tempat itu bisa menampung banyak orang. Sampai-sampai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadikan tempat itu sebagai tempat walimah (acara makan-makan) yang dihadiri oleh 300 orang, meski sebagian yang hadir terpaksa duduk di kamar sebagian istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berdempetan dengan masjid (HR. Muslim, Kitâb Nikâh, no. 94). Penghuni Shuffah Yang pertama kali tinggal di Shuffah adalah kaum muhajirin (Samhudi, Wafâ-ul Wafâ, 1/323). Oleh karena itu, terkadang Shuffah ini melekat dengan mereka hingga juga dikenal dengan sebutan Shuffatul muhajirin (HR. Abu daud, Kitâbul Harûf, 2/361). Tempat ini juga menjadi tempat persinggahan para utusan yang hendak menjumpai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyatakan keislamannya dan kesiapannya menaati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhâri, Kitâbus Shalât, Bâbu Naumir rijâl Fil Masjid dan riwayat Ibnu Mâjah, Sunan, Kitâbus Shaid, Bâbud Dhab). Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu adalah orang yang dipercaya sebagai penanggung jawab orang-orang yang tinggal di Shuffah, baik yang menetap dalam jangka waktu yang lama ataupun yang sekedar singgah saja. Penghuni Shuffah ini tidak hanya terdiri dari kaum muhajirin ataupun para utusan saja. Sebagian sahabat dari kalangan anshar juga menghuninya. Kendatipun mereka telah memiliki rumah di Madinah dan memiliki harta yang cukup. Kemauan mereka untuk hidup zuhud menjadi alasan mengapa mereka memilih tinggal di Shuffah. Di antaranya, Ka’ab bin Mâlik al-anshari radhiyallaahu ‘anhu, Hanzhalah bin Abi ‘Aamir radhiyallaahu ‘anhu, dan Hâritsah bin Nu’mân radhiyallaahu ‘anhu. Jumlah Penghuni Shuffah Jumlah penghuni Shuffah tidak stabil. Jumlah mereka akan bertambah seiring dengan peningkatan angka pendatang ke Madinah. Namun dalam kondisi normal, jumlah penghuninya sekitar 70 orang (Abu Nu’aim, al-Hilyah, 1/339, 341). Terkadang jumlah mereka meningkat tajam. Pernah dalam satu kesempatan, seorang diri Sa’ad bin ‘Ubâdah radhiyallaahu ‘anhu menjamu 80 penghuni Shuffah. Hitungan ini belum mencakup yang dijamu oleh para sahabat yang lain (Abu Nu’aim, al-Hilyah, 1/341). Penyusun Kitab al-Hilyah, Abu Nu’aim menyebutkan nama-nama mereka satu persatu. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, Abu Dzaar al-Ghifâri, Wâtsilah bin Asqa’, Salmân al-Fârisi, dan lain sebagainya radhiyallaahu ‘anhum. Kesibukan Penghuni Shuffah: Belajar Ilmu Agama, Beribadah, dan Berjihad Para penghuni Shuffah ini memfokuskan diri untuk belajar, beri’tikaf di masjid dalam rangka beribadah, dan sudah terbiasa dengan hidup kekurangan. Mereka senantiasa melaksanakan shalat, membaca al-Qurân, mempelajari ayat-ayatnya, dan berdzikir. Sebagian mereka belajar baca tulis. Sampai salah satu dari mereka ada yang menghadiahkan busur panahnya kepada ‘Ubâdah bin Shâmit radhiyallaahu ‘anhu karena beliau radhiyallaahu ‘anhu berjasa mengajarkan al-Qurân dan menulis kepada pemilik busur tersebut. Disebabkan oleh konsentrasi penuh mereka dalam belajar agama, maka tidak heran kalau kemudian lahir orang-orang yang menonjol keilmuannya dari mereka. Sebut saja Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, seorang sahabat yang terkenal dengan hafalan hadis yang sangat banyak. Atau sahabat Hudzaifah ibnul Yamân radhiyallaahu ‘anhu yang sangat perhatian akan hadis-hadis fitnah. Namun ini bukan bermakna bahwa mereka tidak peduli dengan kegiatan kemasyarakatan dan tidak memiliki andil dalam jihad. Terbukti, sebagian di antara mereka gugur dalam perang Badr, seperti Shafwân bin Baidha’, Khubaib bin Yasâf, Sâlim bin ‘Umair, dan Hâritsah bin Nu’mân al-anshari radhiyallaahu ‘anhum. Sebagian juga gugur di medan perang Uhud yaitu Khanzhalah radhiyallaahu ‘anhu, atau di peristiwa Hudaibiyah, perang Khaibar, perang Tâbuk, dan perang Yamâmah. Begitulah para penghuni Shuffah. Mereka sangat perhatian terhadap ilmu dan ibadah. Di malam hari tekun beribadah dan di siang hari menjadi pejuang gagah berani. Pakaian dan Makanan Mereka Mereka yang tinggal di Shuffah sudah terbiasa dengan hidup kekurangan. Kebanyakan mereka tidak memiliki pakaian yang memadai untuk menutupi seluruh badan dan melindunginya dari dinginnya udara. Dalam Shahîh al-Bukhâri, Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu menceritakan: “Saya melihat 70 orang dari penghuni Shuffah, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenakan rida` (kain penutup bagian atas tubuh). Hanya mengenakan sarung atau hanya kisa’ saja. Mereka mengikatkan kisa’ tersebut pada leher mereka, ada yang menjulur sampai separuh betis, ada yang sampai mata kaki. Lalu dia menyatukannya dengan tangan karena khawatir auratnya terlihat.” Demikian pula makanan mereka, tidak lebih baik dari kondisi pakaian yang mereka sandang. Kurma kering adalah makanan yang sering mereka konsumsi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan setengah mud (kurang lebih satu genggam) kurma untuk satu orang setiap hari. Sampai ada di antara mereka yang merasakan perutnya panas karena terlalu banyak makan kurma kering. Namun begitu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu memberikan makanan yang lebih baik buat mereka. Hanya saja, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memotivasi mereka agar kuat dan bersabar. Terkadang mereka diundang untuk makan-makan atau dibawakan susu atau terkadang juga mendapat hidangan istimewa seperti tsarîd (bubur gandum dengan campuran minyak samin dan lain-lain). Perhatian Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Penghuni Shuffah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap mereka. Seringkali, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering mengunjungi mereka, menanyakan kondisi mereka, mengarahkan, duduk-duduk bersama, mengarahkan mereka agar banyak membaca al-Qur`ân, memotivasi mereka agar memandang dunia itu remeh dan tidak berharap untuk merengkuhnya. Jika ada yang mengirimkan sedekah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lantas mengirim seluruhnya kepada mereka. Kalau hadiah yang beliau terima, sebagiannya beliau kirimkan dan sisanya beliau ambil buat keperluan pribadi atau hadiah tersebut dinikmati bersama mereka (HR. al-Bukhâri). Ketika putri beliau, Fâthimah radhiyallaahu ‘anhaa melahirkan Hasan radhiyallaahu ‘anhu, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya bersedekah untuk penghuni Shuffah dengan perak seberat rambut Hasan yang dicukur (Al-Baihaqi, Sunan 9/304). Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullaah, diceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih mengutamakan penghuni Shuffah ketimbang keluarga beliau sendiri yaitu Fâthimah. Wujud perhatian yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih agar bersedekah kepada penghuni Shuffah. Dinukil dari as-Sîratun Nabawiyyah ash-Shahîhah, DR. Akram Dhiya’ al-Umari, hlm. 257-268. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. kisahmuslim.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh