Skip to content
Larangan Bagi Wanita Haidh, Nifas, Orang Junub, dan Orang yang Berhadats Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan, Yang diharamkan untuk wanita haidh dan nifas ada delapan hal:
  1. Shalat
  2. Puasa
  3. Membaca Al-Qur’an
  4. Menyentuh dan membawa mushaf
  5. Masuk masjid
  6. Thawaf
  7. Berhubungan intim
  8. Bercumbu antara pusar dan lutut.
Yang diharamkan untuk orang junub ada lima hal:
  1. Shalat
  2. Puasa
  3. Membaca Al-Qur’an
  4. Menyentuh dan membawa mushaf
  5. Masuk masjid
  6. Thawaf
  7. Berhubungan intim
  8. Bercumbu antara pusar dan lutut.
Yang diharamkan untuk orang yang berhadats ada tiga hal:
  1. Shalat
  2. Thawaf
  3. Menyentuh dan membawa mushaf
Larangan shalat dan puasa untuk wanita haidh dan nifas Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya, “Kenapa sampai wanita haidh mengqadha puasa, tetapi tidak mengqadha shalat?” Aisyah berkata, “Apakah kamu seorang Haruriyah?” Ia menjawab, “Saya bukan Haruriyah, saya hanya sekadar bertanya.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dahulu kami mengalami haidh, kami hanya diperintah mengqadha’ puasa, tetapi kami tidak diperintah untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Bukhari, no. 321 dan Muslim, no. 335) Catatan: Larangan shalat bagi wanita haidh ini berlaku untuk shalat fardhu, shalat sunnah, maupun shalat jenazah. Jika wanita haidh itu wudhu, lalu mengerjakan shalat, shalatnya batal dan ia berdosa. Larangan wanita haidh dan junub membaca Al-Qur’an Hadits yang melarang hal ini adalah, “Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca Al-Qur’an.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Hadits ini DHA’IF, lihat Shahih Al-Jaami’, no. 6364) Untuk wanita haidh, yang TEPAT, masih boleh membaca Al-Qur’an, asalkan tidak menyentuh mushaf langsung. Sedangkan untuk orang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an, kecuali untuk niatan selain tilawah. Catatan: Wanita haidh dan nifas masih dibolehkan membaca Al-Qur’an ketika khauf (khawatir), untuk maksud berdoa, takut lupa, atau keadaan darurat untuk belajar. Para ulama empat madzhab sepakat bahwa haram bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an. Dalil pendukungnya adalah hadits berikut dari ‘Ali bin Abi Thalib, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah melarang dari membaca Al-Qur’an sedikit pun juga kecuali dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Hibban, 3:79; Abu Ya’la dalam musnadnya, 1:400. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Larangan menyentuh dan membawa Al-Qur’an bagi orang yang berhadats (wanita haidh, nifas, orang junub, dan berhadats kecil) Allah Ta’ala berfirman, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79). Catatan: Boleh membawa mushaf dalam keadaan berhadats dengan tumpukan barang yang lain, asalkan Al-Qur’an di tengah, tetapi niatannya adalah membawa tumpukan barang, bukan membawa mushaf. Larangan wanita haidh dan junub masuk masjid Dalam hadits disebutkan, “Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haidh dan orang yang junub.” (HR. Abu Daud, no. 232. Hadits ini DHA’IF menurut Syaikh Al-Albani). Catatan: Jumhur ulama berpendapat bahwa orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya boleh melewati saja. Larangan ini berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 43. Yang dimaksud ayat, janganlah mendekati shalat adalah janganlah mendekati tempat shalat yaitu masjid. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa’: 43). Tidaklah ada hadits yang melarang wanita haidh memasuki masjid kecuali hadits yang dikaji kali ini. Sedangkan pengqiyasan wanita haidh dengan orang junub tidaklah tepat karena orang junub masih bisa segera bersuci. Sehingga pendapat yang tepat, wanita haidh masih boleh berdiam di masjid, yang penting tidak mengotori masjid. Jika wanita haidh sekadar lewat saja atau mengambil sesuatu di masjid, hukumnya boleh. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Ambilkan untukku khumrah (sajadah kecil) dari masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu bukan di tanganmu.” (HR. Muslim, no. 298). Larangan thawaf bagi wanita haidh Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari, no. 305 dan Muslim, no. 1211) Larangan hubungan intim dengan wanita haidh dan nifas Allah Ta’ala berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222) Catatan: – Menyetubuhi wanita saat haidh termasuk dosa besar jika dilakukan dengan sengaja, atas pilihan sendiri dan dalam keadaan punya ilmu akan haramnya. Namun, untuk perbuatan ini tidak ada kafarah, yang ada adalah bertaubat dengan taubatan nasuhah (taubat yang tulus) dan tidak mengulanginya lagi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi, no. 135; Ibnu Majah, no. 639; Abu Daud, no. 3904. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Larangan Bercumbu dengan Wanita Haidh pada Wilayah Antara Pusar dan Lutut Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai yang halal bagi laki-laki pada istrinya ketika istri tersebut haidh. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Selain yang ditutupi sarung (berarti selain antara pusar dan lutut).” (HR. Abu Daud, no. 213. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini DHA’IF). Catatan: Boleh mencumbu wanita haidh di pusar dan lututnya, yang telarang adalah pada wilayah antara pusar dan lutut. Asal tidak sampai hubungan intim di kemaluan Boleh bercumbu dengan wanita haidh selama tidak melakukan jima’ di kemaluan. Dalam hadits disebutkan, “Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jimak (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302) Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan, Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haidh di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haidh atau selain kemaluannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang mengalami nifas selain wilayah sarungnya (berarti selain antara pusar dan lutut). Ia boleh mencumbunya dengan mulut, tangan atau kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu keluarlah mani, maka itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu istrinya pada kedua paha istrinya (belum sampai kemaluan, pen), maka tentang bolehnya diperselisihkan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:624) Larangan talak ketika haidh Dari Anas bin Sirin, ia berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata bahwa ia telah mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lantas ‘Umar mengadukan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Suruh ia untuk rujuk.” Aku (Anas berkata pada Ibnu ‘Umar), “Apakah hal itu dianggap jatuh talak?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Kalau tidak teranggap, lalu apa?” (HR. Bukhari, no. 5252 dan Muslim, no. 1471) Talak ketika haidh dan sebelum suci dengan mandi atau tayamum tetap HARAM, walau talak tersebut dianggap jatuh. Larangan shalat bagi orang yang berhadats Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” Ahdatsa berarti muncul hadats yaitu sesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan atau pembatal wudhu lainnya. (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225) Larangan thawaf dalam keadaan berhadats Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thawaf sekitar Kabah adalah seperti shalat. Namun, thawaf dibolehkan untuk berbicara. Siapa yang mau berbicara, berbicaralah hanya dalam kebaikan.” (HR. Tirmidzi, no. 960; Ad-Darimi, no. 1847; Ibnu Majah, no. 3836. Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Sumber: rumaysho.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh