Skip to content

Seorang ibu mengadukan permasalahan putranya, si Fulan. Dia menerima perlakuan yang melampaui batas dari gurunya. Sang guru menjewer telinganya dengan keras sampai cedera dan berdarah bagian dalam telinganya, lantaran si Fulan terlambat masuk kelas. Padahal alasan si Fulan adalah alasan yang bisa diterima.

Di kota lain, si Fulanah yang masih kanak-kanak harus menanggung sakit di bibirnya yang robek berdarah karena tergores kuku tangan seseorang yang mencubitnya, hanya gara-gara ‘salah bicara’. Lagi-lagi justru sang gurulah yang melakukannya.

Beberapa kisah senada yang memiriskan hati telah terdengar. Seorang murid harus menerima sabetan sarung tanpa penjelasan apapun, ditarik kedua telinganya hingga terangkat kakinya…. Menyedihkan! Bocah-bocah yang amat membutuhkan kasih sayang dan bimbingan pendidiknya justru merasakan kekejaman yang tak pernah dia bayangkan akan dialami. Pendidik yang dia harapkan sebagai pengganti orang tuanya di tempat belajarnya justru menjelma bak algojo yang siap menghukum. Padahal kadang dia belum bisa mencerna, di mana letak kesalahannya.

Di sisi lain, ada pula guru yang kurang bisa menyikapi pelanggaran yang dilakukan anak didiknya. Dengan leluasa si anak berbicara kotor, bercerita dusta, bahkan melampiaskan kenakalanannya pada si teman di depan sang guru tanpa ada sanksi apa-apa. Bahkan ketika si murid menampakkan adab yang jelek, tak ada reaksi apapun dari sang guru. Alhasil, bukan mereka bertambah mengerti peraturan, justru semakin bengal. Pendidikan di tempat belajar yang diharapkan semakin membentuk pribadi anak yang matang tak bisa berperan optimal.

Melihat kenyataan seperti ini, penting kiranya kita yang diembani amanah sebagai pendidik – baik sebagai orang tua maupun guru– menyimak nasihat dari seorang alim, pendidik yang telah puluhan tahun mendidik umat ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah. Nasihat beliau ini membuat kita mengaca diri, selama ini sejauh manakah kita melaksanakan amanah besar ini? Telah pantaskah kita memandang diri kita sendiri sebagai pendidik yang baik bagi anak-anak maupun murid-murid kita?

Dalam nasihat ini, beliau memaparkan, bagaimana menjadi seorang pendidik yang bisa diharapkan keberhasilannya dalam mendidik anak. Nasihat ini termaktub dalam beberapa bab di kitab beliau, Nida’ ilal Murabbiyin wal Murabbiyyat.

Beliau mengingatkan di awal tulisannya, “Sesungguhnya di antara tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk sesosok pribadi yang memiliki sifat-sifat mulia, senantiasa terkait dengan Rabbnya, tatanan hidupnya bersandar kepada-Nya, berusaha membenahi masyarakatnya dan meluruskan pemahamannya di atas prinsip-prinsip yang benar.”

Selanjutnya beliau menyatakan, “Asas pendidikan dalam masyarakat Islam berdiri di atas akidah yang benar, adab-adab yang tinggi, yang semua itu terwujud dalam hubungan anak didik dengan Rabbnya, pengajarnya, teman-teman, maupun lembaga pendidikannya, serta dengan keluarganya.

Jika kita ingin mewujudkan pribadi semacam ini, maka tentu kita perlu membentuk lebih dulu sosok pendidik yang akan berhasil dalam pendidikan dan pengajarannya. Pendidik ini haruslah memenuhi berbagai persyaratan dan adab, sehingga dia nantinya menjadi seorang pendidik yang baik dan pengajar yang bisa memberi manfaat.”

Syarat-syarat seorang pendidik

  1. Mahir dalam bidangnya, kreatif dalam metode pengajarannya, serta mencintai profesi dan anak didiknya. Dia selalu berusaha mendidik murid-muridnya dengan baik dan berupaya menjauhkan mereka dari berbagai kebiasaan buruk. Jadi, dia mengajar sekaligus mendidik.
  2. Bisa menjadi teladan bagi orang lain, baik dari sisi ucapan, perbuatan, maupun perilakunya. Dia selalu melaksanakan kewajibannya terhadap Rabbnya, umat ini, dan terhadap murid-muridnya. Dia menginginkan kebaikan bagi mereka sebagaimana yang diinginkannya bagi diri dan anak-anaknya. Dia selalu lapang dan memaafkan kesalahan. Kalaupun menghukum, dia menghukum dengan kasih sayang.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda:

“Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia mencintai kebaikan bagi saudaranya seperti yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

  1. Melaksanakan apa yang dia perintahkan pada murid-muridnya, baik berupa adab, akhlak maupun ilmu-ilmu yang lainnya. Jangan sampai perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Allah subhanahuwata’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa tidak kalian lakukan? Amat besar kemurkaannya di sisi Allah jika kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan.” (Ash-Shaff: 2-3)

Ini merupakan pengingkaran terhadap orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dia lakukan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim)

Yakni ilmu yang tidak aku amalkan, tidak aku sampaikan pada orang lain, dan tidak pula bisa memperbaiki akhlakku.

Seorang penyair mengatakan:

Wahai orang yang mengajar orang selainmu

Mengapa tak ada pengajaran pada dirimu

  1. Mengetahui bahwa profesi yang dia tekuni itu serupa dengan tugas para nabi yang diutus oleh Allah untuk memberi petunjuk dan mengajari manusia, mengenalkan mereka pada Rabb dan Pencipta mereka. Di samping itu, dia menduduki peran orang tua dalam hal kasih sayang dan cintanya kepada murid-muridnya. Dia juga bertanggungjawab dalam hal kehadiran mereka, perhatian mereka terhadap pelajaran, bahkan juga membantu mereka mengatasi berbagai problema yang mereka hadapi, serta peran-peran lain yang tercakup dalam tanggung jawabnya.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda:

“Masing-masing diri kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)

Hendaknya dia mengetahui pula bahwa dia nanti akan ditanya di hadapan Allah tentang anak didiknya. Apa yang telah diajarkannya pada mereka? Apakah dia telah ikhlas dalam mencari berbagai jalan untuk membimbing mereka dan mengarahkan mereka dengan pengarahan yang baik?

Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaganya atau menyia-nyiakannya. Sampai-sampai seseorang akan ditanya tentang keluarganya.” (HR. An-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa’, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1636)

Selanjutnya, seorang guru harus bisa mengajak bicara murid-muridnya sesuai tingkat pemahamannya, karena masing-masing anak memiliki tingkat pemahaman tersendiri. Ali z mengatakan:

“Ajaklah bicara manusia sesuai dengan apa yang dia mengerti. Apakah kalian senang jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Al-Bukhari, Kitabul ‘Ilmi, Bab Man khashsha bil ‘ilmi qauman duna qaumin karahiyatan an la yafhamu)

  1. Seorang guru, sesuai dengan ketetapan bidangnya, hidup di antara anak didik yang berlainan tingkatan akhlak, pendidikan dan kecerdasannya. Karena itu, dia harus bisa meratai mereka semua dengan akhlaknya, sehingga dia bagaikan orang tua bersama anak-anaknya. Ini sebagai pengamalan sabda Sang Pendidik yang agung, Nabi kita Muhammad n:

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ

“Sesungguhnya aku ini bagaikan orangtua bagi kalian, di mana aku mengajari kalian.” (HR Abu Dawud no. 8, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalamShahih Sunan Abi Dawud)

  1. Saling membantu dengan teman-teman seprofesi, saling menasihati dan bermusyawarah dengan mereka untuk kebaikan anak didik. Juga hendaknya dia menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya tersebut, dan meneladani Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam, yang Allah berfirman kepada seluruh kaum muslimin dengan ayat-Nya:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)

  1. Tawadhu’ terhadap ilmu

Mengakui suatu kebenaran merupakan keutamaan. Kembali pada kebenaran lebih baik daripada terus-menerus berada dalam kesalahan. Karena itu, seorang guru harus mencontoh para pendahulu kita yang shalih dalam hal mencari dan tunduk terhadap kebenaran, tatkala telah jelas bagi mereka bahwa ternyata kebenaran itu berbeda dengan apa yang selama ini mereka katakan dan mereka yakini.

Dalil dari hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya Muqaddimah Al-Jarh wat Ta’dil, ketika beliau mengisahkan tentang rujuk Al-Imam Malik dari fatwa beliau ketika mendengar suatu hadits. Ibnu Abi Hatim menyebutkan kisah tersebut dengan judul Bab kisah ittiba’ Al-Imam Malik terhadap atsar-atsar Nabi n dan pembatalan fatwanya ketika disampaikan hadits dari Nabi n yang berbeda dari fatwanya.

Ibnu Wahb berkata: Aku pernah mendengar Al-Imam Malik ditanya tentang menyela-nyelai jari-jemari kaki ketika berwudhu. Beliau menyatakan, “Hal itu tidak harus dilakukan.” Aku pun membiarkannya sampai orang-orang yang ada di majlis itu berkurang. Lalu aku mengatakan padanya, “Kami mempunyai sunnah dalam hal itu.”

“Apa itu?” tanya beliau.

“Al-Laits ibnu Sa’d dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr ibnul Harits telah menyampaikan pada kami, dari Yazid ibni ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdirrahman Al-Habli dari Al-Mustaurid ibni Syaddad Al-Qurasyi, dia mengatakan, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam menggosok antara jari-jemari kaki beliau dengan kelingkingnya’,” paparku.

“Hadits ini hasan, dan aku belum pernah mendengarnya sebelum ini,” kata beliau. Kemudian aku mendengar setelah itu beliau ditanya tentang hal ini, maka beliau pun memerintahkan untuk menyela-nyelai jari-jemari.” (Lihat Muqaddimah Al-Jarh wat Ta’dil hal. 30)

Kalau kita ingin mencari berbagai contoh dari kehidupan para salaf, maka lembaran ini tak akan mencukupi. Oleh karena itu, wajib atas seorang guru yang ingin berhasil dalam tugasnya untuk tunduk terhadap kebenaran dan mau kembali dari kesalahannya jika dia bersalah. Dia juga harus mengajari murid-muridnya agar memiliki akhlak yang agung ini, serta menerangkan pada mereka tentang keutamaan sikap tawadhu’ dan kembali kepada kebenaran, dan dia terapkan hal ini di dalam kelas. Apabila dia melihat jawaban murid-muridnya lebih baik daripada jawaban yang dia miliki, hendaknya dia mengutarakan hal ini dan mengakui keutamaan jawaban murid tersebut. Ini akan lebih mendorong tumbuhnya kepercayaan dan kecintaan para murid padanya.

Aku (Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu –pen) telah hidup sebagai seorang guru dan pendidik hampir 40 tahun lamanya. Kalaupun ada yang aku lupa, maka aku tak pernah melupakan seorang guru yang pernah salah dalam membacakan suatu hadits. Ketika beberapa murid menyanggahnya, dia tetap bersikukuh dalam kesalahannya, sehingga dia berdebat dengan kebatilan. Jatuhlah si guru ini dalam pandangan murid-muridnya dan tak pernah kembali lagi kepercayaan mereka.

  1. Jujur dan menepati janji

Seorang guru harus senantiasa jujur ucapannya, karena kejujuran itu seluruhnya baik. Jangan sampai dia mendidik murid-muridnya untuk berdusta, walaupun menurutnya ada kebaikannya.

Suatu ketika, ada seorang murid yang bertanya kepada gurunya dengan maksud mengingkari perbuatan merokok yang dilakukan oleh salah seorang guru. Ternyata guru itu memberikan jawaban yang membela temannya (rekan sesama guru), bahwasanya penyebab dia merokok adalah saran dokter padanya. Ketika keluar dari kelas, sang murid pun menggerutu, “Guru itu telah membohongi kita!”

Amatlah disayangkan. Andai guru itu jujur dalam menjawab dan menjelaskan kesalahan temannya, bahwasanya merokok itu haram karena membahayakan tubuh, mengganggu orang lain di sekitarnya, dan memboroskan harta. Kalaulah dia lakukan hal itu, dia akan memperoleh kepercayaan dan kecintaan murid-muridnya. Dia pun bisa mengatakan pada murid-muridnya, “Sesungguhnya guru itu adalah manusia biasa yang memiliki tabiat seorang manusia. Bisa benar bisa pula salah. Nabi kita Muhammad n menyatakan hal ini dalam hadits beliau:

“Setiap anak Adam itu banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad dan hadits ini shahih)

Sesungguhnya amatlah memungkinkan untuk menjadikan pertanyaan si murid tadi sebagai pengajaran bagi seluruh murid tentang bahayanya merokok serta hukumnya dalam syariat. Juga memaparkan pendapat para ulama tentang hal itu beserta dalil-dalilnya, sehingga dapat diambil faidah dari pertanyaan tadi dan digunakan sebagai sarana pendidikan serta pengarahan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan membiasakan diri untuk selalu jujur, hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur….” (HR. Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)

Kejujuran adalah sebuah akhlak yang agung. Selayaknya seorang guru menanamkan, membiasakan dan menjadikan murid-muridnya mencintai akhlak ini. Juga hendaknya dia terapkan hal ini dalam ucapan ataupun perbuatannya, sampaipun dalam gurauannya dengan murid-muridnya. Dulu Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam biasa bergurau, namun tak pernah beliau mengatakan kecuali sesuatu yang benar. Jangan sampai seorang guru berbohong kepada murid-muridnya, walaupun dalam rangka bergurau atau berdiplomasi.

Jika menjanjikan sesuatu pada murid-muridnya, hendaknya dia memenuhi janjinya. Sehingga mereka pun akan belajar jujur dan memenuhi janji dari sang guru, baik dalam ucapan maupun amalan. Murid-murid akan tahu jika gurunya berdusta, walaupun mereka tidak mampu membantahnya karena rasa segan terhadap gurunya.

  1. Sabar

Seorang guru harus berhias dengan kesabaran dalam menghadapi segala problema murid maupun pengajaran, karena kesabaran merupakan penolong terbesar dalam menjalankan tugasnya yang mulia ini.

Tugas seorang guru

Tugas seorang guru tak hanya semata mengisi otak murid-muridnya dengan berbagai mata pelajaran. Namun lebih dari itu, dia juga menjalankan pendidikan yang komprehensif untuk memurnikan akidah dan akhlak mereka dari segala sesuatu yang dapat merusak agama yang lurus ini. Karena itu, seorang guru harus bisa menjadikan segala ucapan dan perilaku murid-muridnya di dalam kelas selalu berpijak pada petunjuk nabawi yang shahih. Allah subhanahuwata’ala berfirman:

“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran: 31)

Sejarah hidup Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam pun menunjukkan bahwa beliau merupakan seorang pendidik yang penuh hikmah, pengajar, pembimbing, pemberi nasihat yang penuh kasih sayang dan yang dicintai oleh para sahabatnya, serta ikhlas. Maka hendaknya seorang guru pun memiliki sifat-sifat ini pula, terutama keikhlasan. Dia harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya, hanya untuk Allah, tidak memandang pada materi. Jika diberi walau sedikit, dia bersyukur. Kalaupun tidak, dia sabar. Nanti Allah subhanahuwata’ala akan memberinya rezeki di dunia ini dan mencatat baginya pahala di akhirat nanti.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Nida’ ilal Murabbiyin wal Murabbiyat hal. 9-16 oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

sumber: asysyariah.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh