Risalah singkat tentang Islam berdasarkan Al-Qur`ān Al-Karīm dan As-Sunnah An-Nabawiyyah Bagian 7
35. Islam melarang akhlak tercela, seperti: berbohong, curang, tidak jujur, berkhianat, menipu, dengki, berbuat makar, mencuri, memberontak, serta berbuat zalim. Jadi, Islam sejatinya melarang setiap akhlak yang buruk.
Islam melarang akhlak yang tercela secara umum. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”(QS. Luqmān: 18)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik budi pekertinya di antara kalian. Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempatnya dariku pada hari Kiamat adalah orang yang banyak bicara dan bergaya dalam bicara serta bermulut besar.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Kami sudah tahu orang yang banyak bicara dan bergaya dalam bicara, lantas apakah yang dimaksud dengan bermulut besar?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang sombong.”(As-Silsilah Aṣ-Sahihah: 791)
Islam juga melarang ucapan dusta. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.”(QS. Gāfir: 28)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Jauhilah kalian perbuatan dusta; karena sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan pada kejahatan. Dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha melakukan kedustaan hingga ia dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.”(Sahih Muslim: 2607)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,”Tanda orang munafik ada tiga; berdusta apabila berbicara, ingkar janji apabila berjanji dan berkhianat apabila diberi amanah.”(Sahih Bukhari: 6095)
Islam juga melarang berbagai jenis kecurangan.Dalam hadis lain disebutkan, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah melewati sebuah tumpukan makanan (yang dijual) lalu beliau memasukkan tangannya padanya, ternyata jari-jari beliau merasakan basah. Beliau bersabda, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Ditimpa hujan, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Tidakkah engkau meletakkannya di bagian atas makanan itu supaya orang lain dapat melihatnya? Siapa yang berbuat curang, maka dia bukan dari golongan kami.”(Sahih Muslim: 102)
Islam melarang ketidakjujuran, berkhianat dan penipuan. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.”(QS. Al-Anfāl: 27)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.”(QS. Ar-Ra’d: 20)
Dahulu, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah menyampaikan kepada bala tentaranya ketika mereka bersiap-siap berangkat perang,”Berperanglah kalian dan janganlah kalian menipu (dalam harta rampasan), jangan kalian mengkhianati janji, jangan membunuh seseorang dengan cara yang kejam, dan janganlah membunuh anak-anak.”(Sahih Muslim: 1731)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,”Ada empat perkara, siapa yang keempat perkara itu ada padanya maka dia seorang munafik tulen, dan siapa yang pada dirinya terdapat salah satu dari keempat perkara itu maka dalam dirinya terdapat satu perangai kemunafikan hingga dia meninggalkannya; yaitu berkhianat apabila dipercaya, berdusta apabila berbicara, ingkar apabila berjanji, dan keluar dari kebenaran apabila berselisih.”(Sahih Bukhari: 34)
Islam juga melarang iri dengki. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”(QS. An-Nisā`: 54)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 109)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Penyakit umat-umat sebelum kalian merayap mendatangi kalian; hasad dan kebencian, itulah yang memangkas. Aku tidak mengatakan memangkas rambut tapi memangkas agama. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya! Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku beritahu yang menguatkan hal itu pada kalian?; Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.”(Sunan At-Tirmiżiy: 2510)
Islam juga telah melarang perbuatan makar dan rencana jahat. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.”(QS. Al-An’ām: 123)
Allah -Ta’ālā- telah mengisahkan bahwa kaum Yahudi berusaha keras membunuh Almasih -‘alaihis-salām- dan merencanakan kejahatan. Namun, Allah -Ta’ālā- akhirnya membalas rencana jahat mereka. Allah juga telah menjelaskan bahwa rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Maka ketika Isa merasakan pengingkaran mereka (Bani Israil), dia berkata, ‘Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para Ḥawāriyyūn (sahabat setianya) menjawab, ‘Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.Ya Tuhan kami! Kami telah beriman kepada apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul, karena itu tetapkanlah kami bersama golongan orang yang memberikan kesaksian.’Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku engkau kembali, lalu Aku beri keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan.'”(QS. Āli ‘Imrān: 52-55)
Allah -Ta’ālā- juga telah mengisahkan bahwa kaum Nabi Ṣāliḥ -‘alaihis-salām- berupaya keras melancarkan rencana jahat dengan membunuh dirinya. Lalu mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya mereka, serta membinasakan mereka dan seluruh kaum mereka. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari, kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh, kita orang yang benar.’Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya.”(QS. An-Naml: 49-51)
Islam juga melarang pencurian. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Tidaklah pezina dalam keadaan beriman (sempurna) ketika ia berzina, tidaklah pencuri dalam keadaan beriman (sempurna) ketika ia mencuri, dan tidaklah peminum minuman keras dalam keadaan beriman (sempurna) ketika meminumnya, dan tobat pun masih terbuka.”(Sahih Bukhari: 6810)
Islam juga melarang permusuhan. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Naḥl: 90)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Sesungguhnya Allah -Ta’ālā- telah memberikan wahyu kepadaku: hendaklah kalian bersikap tawaduk (rendah hati) sehingga tidak ada seseorang yang menganiaya orang lain dan tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas orang lain.”(Sahih Abī Dāwūd: 4895)
Islam juga melarang kezaliman. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”(QS. Āli ‘Imrān: 57)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.”(QS. Al-An’ām: 21)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih.”(QS. Al-Insān: 31)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Tiga orang yang doa mereka tidak tertolak, yaitu; seorang imam (penguasa) yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka dan doanya orang yang dizalimi. Allah akan mengangkat doanya ke atas awan dan membukakan baginya pintu-pintu langit, seraya berfirman, ‘Demi kemuliaan-Ku! Sungguh Aku akan menolongmu meski beberapa saat lamanya.'”(HR. Muslim: 2749 secara ringkas dengan sedikit perubahan, Tirmizi: 2526 dengan sedikit perubahan, dan Ahmad: 8043, dan lafal hadis ini dari beliau)
Tatkala Rasul Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengutus Mu’āż ke negeri Yaman, di antara yang disampaikan Rasulullah kepadanya ialah:”Takutlah terhadap doanya orang yang terzalimi karena antara dia dan Allah tidak ada hijab yang menghalanginya.”(Sahih Bukhari: 1496)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Ketahuilah bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan umat Islam, atau mengurangi haknya, atau membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan; maka aku adalah orang yang akan membelanya pada hari Kiamat.”(Sunan Abī Dāwūd: 3052)
Kesimpulannya; agama Islam -sebagaimana engkau saksikan- senantiasa melarang setiap perbuatan yang menjijikkan (buruk), dan perlakuan yang zalim atau sewenang-wenang.
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
(QS. Luqmān: 18)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik budi pekertinya di antara kalian. Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempatnya dariku pada hari Kiamat adalah orang yang banyak bicara dan bergaya dalam bicara serta bermulut besar.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Kami sudah tahu orang yang banyak bicara dan bergaya dalam bicara, lantas apakah yang dimaksud dengan bermulut besar?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang sombong.”
(As-Silsilah Aṣ-Sahihah: 791)
Islam juga melarang ucapan dusta. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.”
(QS. Gāfir: 28)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Jauhilah kalian perbuatan dusta; karena sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan pada kejahatan. Dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha melakukan kedustaan hingga ia dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.”
(Sahih Muslim: 2607)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
“Tanda orang munafik ada tiga; berdusta apabila berbicara, ingkar janji apabila berjanji dan berkhianat apabila diberi amanah.”
(Sahih Bukhari: 6095)
Islam juga melarang berbagai jenis kecurangan.
Dalam hadis lain disebutkan, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah melewati sebuah tumpukan makanan (yang dijual) lalu beliau memasukkan tangannya padanya, ternyata jari-jari beliau merasakan basah. Beliau bersabda, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Ditimpa hujan, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Tidakkah engkau meletakkannya di bagian atas makanan itu supaya orang lain dapat melihatnya? Siapa yang berbuat curang, maka dia bukan dari golongan kami.”
(Sahih Muslim: 102)
Islam melarang ketidakjujuran, berkhianat dan penipuan. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Anfāl: 27)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.”
(QS. Ar-Ra’d: 20)
Dahulu, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah menyampaikan kepada bala tentaranya ketika mereka bersiap-siap berangkat perang,
“Berperanglah kalian dan janganlah kalian menipu (dalam harta rampasan), jangan kalian mengkhianati janji, jangan membunuh seseorang dengan cara yang kejam, dan janganlah membunuh anak-anak.”
(Sahih Muslim: 1731)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
“Ada empat perkara, siapa yang keempat perkara itu ada padanya maka dia seorang munafik tulen, dan siapa yang pada dirinya terdapat salah satu dari keempat perkara itu maka dalam dirinya terdapat satu perangai kemunafikan hingga dia meninggalkannya; yaitu berkhianat apabila dipercaya, berdusta apabila berbicara, ingkar apabila berjanji, dan keluar dari kebenaran apabila berselisih.”
(Sahih Bukhari: 34)
Islam juga melarang iri dengki. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”
(QS. An-Nisā`: 54)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Baqarah: 109)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Penyakit umat-umat sebelum kalian merayap mendatangi kalian; hasad dan kebencian, itulah yang memangkas. Aku tidak mengatakan memangkas rambut tapi memangkas agama. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya! Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku beritahu yang menguatkan hal itu pada kalian?; Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.”
(Sunan At-Tirmiżiy: 2510)
Islam juga telah melarang perbuatan makar dan rencana jahat. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.”
(QS. Al-An’ām: 123)
Allah -Ta’ālā- telah mengisahkan bahwa kaum Yahudi berusaha keras membunuh Almasih -‘alaihis-salām- dan merencanakan kejahatan. Namun, Allah -Ta’ālā- akhirnya membalas rencana jahat mereka. Allah juga telah menjelaskan bahwa rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Maka ketika Isa merasakan pengingkaran mereka (Bani Israil), dia berkata, ‘Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para Ḥawāriyyūn (sahabat setianya) menjawab, ‘Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.
Ya Tuhan kami! Kami telah beriman kepada apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul, karena itu tetapkanlah kami bersama golongan orang yang memberikan kesaksian.’
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku engkau kembali, lalu Aku beri keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan.'”
(QS. Āli ‘Imrān: 52-55)
Allah -Ta’ālā- juga telah mengisahkan bahwa kaum Nabi Ṣāliḥ -‘alaihis-salām- berupaya keras melancarkan rencana jahat dengan membunuh dirinya. Lalu mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya mereka, serta membinasakan mereka dan seluruh kaum mereka. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari, kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh, kita orang yang benar.’
Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.
Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya.”
(QS. An-Naml: 49-51)
Islam juga melarang pencurian. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Tidaklah pezina dalam keadaan beriman (sempurna) ketika ia berzina, tidaklah pencuri dalam keadaan beriman (sempurna) ketika ia mencuri, dan tidaklah peminum minuman keras dalam keadaan beriman (sempurna) ketika meminumnya, dan tobat pun masih terbuka.”
(Sahih Bukhari: 6810)
Islam juga melarang permusuhan. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Naḥl: 90)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Sesungguhnya Allah -Ta’ālā- telah memberikan wahyu kepadaku: hendaklah kalian bersikap tawaduk (rendah hati) sehingga tidak ada seseorang yang menganiaya orang lain dan tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas orang lain.”
(Sahih Abī Dāwūd: 4895)
Islam juga melarang kezaliman. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
(QS. Āli ‘Imrān: 57)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.”
(QS. Al-An’ām: 21)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih.”
(QS. Al-Insān: 31)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Tiga orang yang doa mereka tidak tertolak, yaitu; seorang imam (penguasa) yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka dan doanya orang yang dizalimi. Allah akan mengangkat doanya ke atas awan dan membukakan baginya pintu-pintu langit, seraya berfirman, ‘Demi kemuliaan-Ku! Sungguh Aku akan menolongmu meski beberapa saat lamanya.'”
(HR. Muslim: 2749 secara ringkas dengan sedikit perubahan, Tirmizi: 2526 dengan sedikit perubahan, dan Ahmad: 8043, dan lafal hadis ini dari beliau)
Tatkala Rasul Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengutus Mu’āż ke negeri Yaman, di antara yang disampaikan Rasulullah kepadanya ialah:
“Takutlah terhadap doanya orang yang terzalimi karena antara dia dan Allah tidak ada hijab yang menghalanginya.”
(Sahih Bukhari: 1496)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Ketahuilah bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan umat Islam, atau mengurangi haknya, atau membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan; maka aku adalah orang yang akan membelanya pada hari Kiamat.”
(Sunan Abī Dāwūd: 3052)
Kesimpulannya; agama Islam -sebagaimana engkau saksikan- senantiasa melarang setiap perbuatan yang menjijikkan (buruk), dan perlakuan yang zalim atau sewenang-wenang.
36. Islam melarang segala praktik transaksi jual beli yang mengandung unsur riba, membahayakan, tipuan, kezaliman, kecurangan atau yang dapat menyebabkan malapetaka dan mudarat besar terhadap masyarakat, bangsa maupun pribadi seseorang.
Islam melarang segala praktik transaksi jual beli yang mengandung unsur riba, membahayakan, tipuan, kezaliman, kecurangan atau yang dapat menyebabkan malapetaka dan mudarat besar terhadap masyarakat, bangsa maupun pribadi seseorang.Di awal pembahasan ini telah disebutkan beberapa ayat dan hadis yang mengharamkan riba, kezaliman, kecurangan serta perbuatan merusak di atas muka bumi. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(QS. Al-Aḥzāb: 58)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(Nya).”(QS. Fuṣṣilat: 46)
Dan dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- telah memutuskan bahwa tidak boleh berbuat mudarat (untuk diri sendiri) dan hal yang menimbulkan mudarat (untuk orang lain).”(Sunan Abī Dāwūd)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam!” Dalam riwayat lain: “Maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”(Sahih Muslim: 47)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,”Ada seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati kelaparan, lalu dengan sebab itu dia masuk neraka. Dia tidak memberinya makan dan minum ketika mengurungnya, dan dia juga tidak melepaskannya supaya bisa memakan serangga tanah.”(Sahih Bukhari: 3482)
Kalau ancaman neraka dalam hadis ini berlaku bagi siapa pun yang menyiksa seekor kucing, maka bagaimana kiranya nasib orang yang menyiksa manusia secara berlebih-lebihan?! Ibnu Umar -raḍiyallāhu ‘anhumā- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah naik mimbar lantas menyeru dengan suara yang lantang seraya bersabda,”Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya namun keimanan belum tertancap di hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin dan jangan pula kalian memperolok mereka, janganlah kalian menelusuri dan membongkar aib mereka. Barangsiapa yang menyelidiki aib saudaranya seislam niscaya Allah akan menyelidiki aibnya dan barangsiapa yang aibnya diselidiki oleh Allah niscaya Allah akan membongkar aibnya meskipun di dalam rumahnya sendiri.” Nāfi’ meriwayatkan: Suatu hari Ibnu Umar melihat ke arah Kakbah, lantas beliau berkata, “Betapa agungnya kamu dan betapa luhurnya kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih agung kehormatannya di sisi Allah dari padamu.”(HR. Tirmizi: 2032, dan Ibnu Ḥibbān: 5763)
Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”(Sahih Bukhari: 6018)
Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang paling merugi?” Para sahabat menjawab, “Orang yang paling merugi menurut kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki harta benda.” Rasulullah bersabda, “Orang yang paling merugi dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan pahala puasa, salat dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa dosa karena mencela kehormatan si polan, menuduh keji si polan, serta memakan harta si polan, lalu ia dihukum dengan diambil bagian kebaikannya oleh si polan dan kebaikan yang lain diambil oleh si polan, sehingga jika amalannya telah habis sebelum melunasi dosa-dosanya maka akan diganti dengan dilemparkan kepadanya dosa-dosa mereka (orang-orang yang dizaliminya) kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.”(HR. Muslim: 2581, Tirmizi: 2418, dan Ahmad: 8029, dan lafal hadis ini berasal dari beliau)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,”Pada badan jalan terdapat sebuah batang pohon berduri yang membahayakan manusia, lalu seorang lelaki mengambil dan membuangnya, maka ia pun dimasukkan ke dalam surga.”(HR. Bukhari: 652 secara makna; Muslim: 1914 juga secara makna; Ibnu Majah: 3682; dan Ahmad: 0432, dan lafal ini milik Ibnu Majah dan Ahmad). Menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan saja dapat menyebabkan pelakunya masuk surga; maka bagaimana kiranya nasib orang yang suka menyakiti manusia dan berbuat kerusakan terhadap mereka selama hidupnya.
Di awal pembahasan ini telah disebutkan beberapa ayat dan hadis yang mengharamkan riba, kezaliman, kecurangan serta perbuatan merusak di atas muka bumi. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
(QS. Al-Aḥzāb: 58)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(Nya).”
(QS. Fuṣṣilat: 46)
Dan dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- telah memutuskan bahwa tidak boleh berbuat mudarat (untuk diri sendiri) dan hal yang menimbulkan mudarat (untuk orang lain).”
(Sunan Abī Dāwūd)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam!” Dalam riwayat lain: “Maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”
(Sahih Muslim: 47)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
“Ada seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati kelaparan, lalu dengan sebab itu dia masuk neraka. Dia tidak memberinya makan dan minum ketika mengurungnya, dan dia juga tidak melepaskannya supaya bisa memakan serangga tanah.”
(Sahih Bukhari: 3482)
Kalau ancaman neraka dalam hadis ini berlaku bagi siapa pun yang menyiksa seekor kucing, maka bagaimana kiranya nasib orang yang menyiksa manusia secara berlebih-lebihan?! Ibnu Umar -raḍiyallāhu ‘anhumā- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah naik mimbar lantas menyeru dengan suara yang lantang seraya bersabda,
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya namun keimanan belum tertancap di hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin dan jangan pula kalian memperolok mereka, janganlah kalian menelusuri dan membongkar aib mereka. Barangsiapa yang menyelidiki aib saudaranya seislam niscaya Allah akan menyelidiki aibnya dan barangsiapa yang aibnya diselidiki oleh Allah niscaya Allah akan membongkar aibnya meskipun di dalam rumahnya sendiri.” Nāfi’ meriwayatkan: Suatu hari Ibnu Umar melihat ke arah Kakbah, lantas beliau berkata, “Betapa agungnya kamu dan betapa luhurnya kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih agung kehormatannya di sisi Allah dari padamu.”
(HR. Tirmizi: 2032, dan Ibnu Ḥibbān: 5763)
Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
(Sahih Bukhari: 6018)
Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang paling merugi?” Para sahabat menjawab, “Orang yang paling merugi menurut kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki harta benda.” Rasulullah bersabda, “Orang yang paling merugi dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan pahala puasa, salat dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa dosa karena mencela kehormatan si polan, menuduh keji si polan, serta memakan harta si polan, lalu ia dihukum dengan diambil bagian kebaikannya oleh si polan dan kebaikan yang lain diambil oleh si polan, sehingga jika amalannya telah habis sebelum melunasi dosa-dosanya maka akan diganti dengan dilemparkan kepadanya dosa-dosa mereka (orang-orang yang dizaliminya) kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR. Muslim: 2581, Tirmizi: 2418, dan Ahmad: 8029, dan lafal hadis ini berasal dari beliau)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
“Pada badan jalan terdapat sebuah batang pohon berduri yang membahayakan manusia, lalu seorang lelaki mengambil dan membuangnya, maka ia pun dimasukkan ke dalam surga.”
(HR. Bukhari: 652 secara makna; Muslim: 1914 juga secara makna; Ibnu Majah: 3682; dan Ahmad: 10432, dan lafal ini milik Ibnu Majah dan Ahmad). Menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan saja dapat menyebabkan pelakunya masuk surga; maka bagaimana kiranya nasib orang yang suka menyakiti manusia dan berbuat kerusakan terhadap mereka selama hidupnya.
37. Islam hadir demi menjaga akal dan mengharamkan setiap perkara yang bisa merusaknya, semisal meminum khamar. Islam juga sangat menghargai peran akal hingga menjadikannya sebagai dasar (syarat) bagi seseorang menjadi mukalaf. Bahkan, Islam telah membebaskan akal dari belenggu khurafat dan penyembahan kepada berhala. Di dalam Islam, tidak terdapat adanya rahasia maupun hukum syariat yang hanya dikhususkan untuk golongan tertentu dan tidak berlaku untuk golongan yang lain. Namun sebaliknya, setiap hukum dan syariat Islam selalu sejalan dengan akal sehat dan selalu beriringan dengan konsep keadilan dan kebijaksanaan.
Islam hadir demi menjaga akal dan mengangkat derajatnya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS. Al-Isrā`: 36)
Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan untuk selalu menjaga akalnya. Oleh karena itu, Islam mengharamkan minuman keras dan narkotika. Saya (penulis) telah menyebutkan keharaman minuman keras di poin pembahasan nomor (34). Dalam Al-Qur`ān Al-Karīm juga terdapat banyak ayat yang diakhiri dengan firman Allah -Ta’ālā-:”Supaya kamu memahaminya.”(QS. Al-Baqarah: 242)
Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?”(QS. Al-An’ām: 32)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur`ān berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”(QS. Yūsuf: 2)
Allah -Ta’ālā- menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa mengambil faedah dari petunjuk atau hikmah melainkan orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang memiliki akal yang sehat. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”(QS. Al-Baqarah: 269)
Oleh sebab itu, Islam menjadikan akal sebagai dasar (syarat) bagi seseorang menjadi mukalaf. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Pena (pencatat amal) akan diangkat dari tiga orang, yaitu: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia balig, dan dari orang yang gila sampai dia sadar (berakal).”(HR. Bukhari secara mu’allaq dengan ungkapan jazm sebelum hadis no. 5269, dengan lafal yang sedikit berbeda; Abu Daud: 4402, secara mauṣūl dan lafal hadis ini berasal dari beliau; Tirmizi: 1423; An-Nasā`iy dalam As-Sunan Al-Kubrā: 7346; Ahmad: 956, dengan sedikit perbedaan redaksi; dan Ibnu Majah: 2042, secara ringkas)
Islam telah membebaskan akal dari belenggu khurafat dan penyembahan kepada berhala. Allah -Ta’ālā- berfirman mengabarkan kondisi umat terdahulu yang masih kuat pendiriannya terhadap khurafat dan bagaimana pula kebenaran yang datang dari Allah akhirnya mampu membantahnya:”Dan demikian, tidaklah Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.'”(QS. Az-Zukhruf: 23)
Allah -Ta’ālā- berfirman mengabarkan tentang Nabi Ibrahim -‘alaihis-salām-, bahwa ia berkata kepada kaumnya,”Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.”(QS. Al-Anbiyā`: 52-53)
Ketika Islam datang, maka manusia diperintahkan untuk segera meninggalkan penyembahan berhala dan menjauhi khurafat yang telah mereka warisi dari kakek dan nenek moyang mereka. Sebaliknya mereka diperintahkan untuk mengikuti jalan para rasul -‘alaihimuṣ-ṣalāh was-salām-.Dalam ajaran Islam tidak ada rahasia maupun hukum syariat yang hanya dikhususkan untuk golongan tertentu dan tidak berlaku untuk golongan yang lain.Ali -raḍiyallāhu ‘anhu- pernah ditanya; “Apakah Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengkhususkan kalian dengan sesuatu?” Dia menjawab, “Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- tidak mengkhususkan kami dengan apa pun yang tidak diberikan kepada manusia secara umum, kecuali apa yang ada sarung pedangku ini.” Abu Ṭufail berkata, “Dia mengeluarkan sebuah lembaran yang tertulis di dalamnya; Allah melaknat orang yang menyembelih karena selain Allah, Allah melaknat orang yang mencuri tanda batas tanah, Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, dan Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kerusakan.”(Sahih Muslim: 1978) Setiap hukum dan syariat Islam selalu sejalan dengan akal yang sehat dan selalu beriringan dengan konsep keadilan dan kebijaksanaan.
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
(QS. Al-Isrā`: 36)
Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan untuk selalu menjaga akalnya. Oleh karena itu, Islam mengharamkan minuman keras dan narkotika. Saya (penulis) telah menyebutkan keharaman minuman keras di poin pembahasan nomor (34). Dalam Al-Qur`ān Al-Karīm juga terdapat banyak ayat yang diakhiri dengan firman Allah -Ta’ālā-:
“Supaya kamu memahaminya.”
(QS. Al-Baqarah: 242)
Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?”
(QS. Al-An’ām: 32)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur`ān berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”
(QS. Yūsuf: 2)
Allah -Ta’ālā- menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa mengambil faedah dari petunjuk atau hikmah melainkan orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang memiliki akal yang sehat. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
(QS. Al-Baqarah: 269)
Oleh sebab itu, Islam menjadikan akal sebagai dasar (syarat) bagi seseorang menjadi mukalaf. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Pena (pencatat amal) akan diangkat dari tiga orang, yaitu: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia balig, dan dari orang yang gila sampai dia sadar (berakal).”
(HR. Bukhari secara mu’allaq dengan ungkapan jazm sebelum hadis no. 5269, dengan lafal yang sedikit berbeda; Abu Daud: 4402, secara mauṣūl dan lafal hadis ini berasal dari beliau; Tirmizi: 1423; An-Nasā`iy dalam As-Sunan Al-Kubrā: 7346; Ahmad: 956, dengan sedikit perbedaan redaksi; dan Ibnu Majah: 2042, secara ringkas)
Islam telah membebaskan akal dari belenggu khurafat dan penyembahan kepada berhala. Allah -Ta’ālā- berfirman mengabarkan kondisi umat terdahulu yang masih kuat pendiriannya terhadap khurafat dan bagaimana pula kebenaran yang datang dari Allah akhirnya mampu membantahnya:
“Dan demikian, tidaklah Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.'”
(QS. Az-Zukhruf: 23)
Allah -Ta’ālā- berfirman mengabarkan tentang Nabi Ibrahim -‘alaihis-salām-, bahwa ia berkata kepada kaumnya,
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”
Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.”
(QS. Al-Anbiyā`: 52-53)
Ketika Islam datang, maka manusia diperintahkan untuk segera meninggalkan penyembahan berhala dan menjauhi khurafat yang telah mereka warisi dari kakek dan nenek moyang mereka. Sebaliknya mereka diperintahkan untuk mengikuti jalan para rasul -‘alaihimuṣ-ṣalāh was-salām-.
Dalam ajaran Islam tidak ada rahasia maupun hukum syariat yang hanya dikhususkan untuk golongan tertentu dan tidak berlaku untuk golongan yang lain.
Ali -raḍiyallāhu ‘anhu- pernah ditanya; “Apakah Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengkhususkan kalian dengan sesuatu?” Dia menjawab, “Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- tidak mengkhususkan kami dengan apa pun yang tidak diberikan kepada manusia secara umum, kecuali apa yang ada sarung pedangku ini.” Abu Ṭufail berkata, “Dia mengeluarkan sebuah lembaran yang tertulis di dalamnya; Allah melaknat orang yang menyembelih karena selain Allah, Allah melaknat orang yang mencuri tanda batas tanah, Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, dan Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kerusakan.”
(Sahih Muslim: 1978)
Setiap hukum dan syariat Islam selalu sejalan dengan akal yang sehat dan selalu beriringan dengan konsep keadilan dan kebijaksanaan.
38. Dalam ajaran agama yang batil (sesat), bila para pemeluknya belum memahami kontradiksi serta perkara-perkara ditolak oleh akal sehat dalam keyakinan mereka; maka pemuka agama mereka akan berusaha meyakinkan para pengikutnya bahwa ajaran agama itu melebihi kemampuan akal, dan bahwa akal tidak memiliki fungsi sama sekali dalam memahami agama dan mencernanya dengan baik. Hal ini berbeda dengan ajaran Islam yang menjadikan agama sebagai cahaya yang senantiasa menerangi jalan bagi akal sehat. Para pemuka ajaran agama yang batil selalu berkeinginan agar manusia berlepas diri dari akalnya dan mengharuskannya untuk bertaklid kepada mereka. Adapun Islam, maka ia berkeinginan agar manusia mampu menyadarkan akalnya supaya bisa mengetahui kebenaran berbagai perkara sebagaimana adanya.
Dalam ajaran agama yang batil (sesat), bila para pemeluknya belum memahami kontradiksi serta perkara-perkara yang ditolak oleh akal sehat dalam keyakinan mereka; pasti pemuka agama mereka akan berusaha meyakinkan para pengikutnya bahwa ajaran agama itu melebihi kemampuan akal, dan bahwa akal tidak memiliki fungsi sama sekali dalam memahami agama dan mencernanya dengan baik. Hal ini berbeda dengan ajaran Islam yang menjadikan agama sebagai cahaya yang senantiasa menerangi jalan bagi akal sehat. Para pemuka ajaran agama yang batil selalu berkeinginan agar manusia berlepas diri dari akalnya dan mengharuskannya untuk bertaklid kepada mereka. Adapun Islam, maka ia berkeinginan agar manusia mampu menyadarkan akalnya supaya bisa mengetahui kebenaran berbagai perkara sebagaimana adanya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur`ān) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur`ān) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur`ān itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.”(QS. Asy-Syūrā: 52)
Wahyu Allah itu berisi berbagai bukti dan hujah (dalil) yang senantiasa membimbing akal sehat untuk memahami fakta-fakta yang ingin diketahui dan diimaninya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur`ān).”(QS. An-Nisā`: 174)
Allah -Subḥānahu wa Ta’ālā- mengharapkan manusia dapat hidup dalam naungan cahaya petunjuk, ilmu (yang bermanfaat) dan hakikat ajaran Islam yang sebenarnya. Adapun setan dan tagut, mereka menginginkan manusia agar tetap dalam kelamnya kekufuran, kedunguan dan kesesatan. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.”(QS. Al-Baqarah: 257)
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur`ān) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur`ān) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur`ān itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.”
(QS. Asy-Syūrā: 52)
Wahyu Allah itu berisi berbagai bukti dan hujah (dalil) yang senantiasa membimbing akal sehat untuk memahami fakta-fakta yang ingin diketahui dan diimaninya. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur`ān).”
(QS. An-Nisā`: 174)
Allah -Subḥānahu wa Ta’ālā- mengharapkan manusia dapat hidup dalam naungan cahaya petunjuk, ilmu (yang bermanfaat) dan hakikat ajaran Islam yang sebenarnya. Adapun setan dan tagut, mereka menginginkan manusia agar tetap dalam kelamnya kekufuran, kedunguan dan kesesatan. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.”
(QS. Al-Baqarah: 257)
39. Islam amat memuliakan ilmu yang sahih (bermanfaat) dan senantiasa menganjurkan untuk melakukan penelitian ilmiah yang jauh dari hawa nafsu. Ia juga mengajak agar selalu melakukan pengamatan serta perenungan terhadap diri kita dan lingkungan sekitar. Hasil dari riset ilmiah yang benar terhadap ilmu pengetahuan pasti tidak akan berkontradiksi dengan ajaran Islam.
Islam amat memuliakan ilmu yang sahih (bermanfaat). Allah -Ta’ālā- berfirman,”(Niscaya) Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujādilah: 11)
Bahkan Allah -Ta’ālā- menyandingkan persaksian ahli ilmu dengan persaksian-Nya dan persaksian para malaikat terkait persaksian yang sangat agung. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. (Juga menyatakan yang demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”(QS. Āli ‘Imrān: 18)
Hal ini menunjukkan mulianya kedudukan para ulama dalam ajaran Islam. Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- untuk meminta tambahan sesuatu selain tambahan ilmu. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan katakanlah (Muhammad), ‘Ya Tuhanku! Tambahkanlah ilmu kepadaku.'”(QS. Ṭāhā: 114)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Siapa yang menempuh sebuah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena senang pada penuntut ilmu. Orang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan di dasar air. Keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang melimpah.”(HR. Abu Daud: 3641, Tirmizi: 2682, Ibnu Majah: 223 dan lafal hadis ini berasal dari beliau, dan Ahmad: 21715)
Islam senantiasa menganjurkan untuk melakukan penelitian ilmiah yang jauh dari hawa nafsu. Serta mengajak agar selalu melakukan pengamatan serta perenungan terhadap diri kita dan lingkungan sekitar. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`ān itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”(QS. Fuṣṣilat: 53)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur`ān itu?”(QS. Al-A’rāf: 185)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Dan tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Rūm: 9)
Hasil riset ilmiah yang benar terhadap ilmu pengetahuan pasti tidak akan kontradiksi dengan ajaran Islam. Kami akan menyebutkan satu contoh, yaitu: Al-Qur`ān telah menyebutkan berbagai hal dengan amat detail sejak lebih dari 1400 tahun lalu, dan itu baru diketahui oleh sains modern belakangan ini. Hasil riset ilmu modern sejalan dengan yang tercantum dalam Al-Qur`ān yang agung; yaitu proses penciptaan janin manusia di dalam rahim ibunya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim).Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu lalu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.”(QS. Al-Mu`minūn: 12-14)
“(Niscaya) Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mujādilah: 11)
Bahkan Allah -Ta’ālā- menyandingkan persaksian ahli ilmu dengan persaksian-Nya dan persaksian para malaikat terkait persaksian yang sangat agung. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. (Juga menyatakan yang demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(QS. Āli ‘Imrān: 18)
Hal ini menunjukkan mulianya kedudukan para ulama dalam ajaran Islam. Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- untuk meminta tambahan sesuatu selain tambahan ilmu. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan katakanlah (Muhammad), ‘Ya Tuhanku! Tambahkanlah ilmu kepadaku.'”
(QS. Ṭāhā: 114)
Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Siapa yang menempuh sebuah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena senang pada penuntut ilmu. Orang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan di dasar air. Keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang melimpah.”
(HR. Abu Daud: 3641, Tirmizi: 2682, Ibnu Majah: 223 dan lafal hadis ini berasal dari beliau, dan Ahmad: 21715)
Islam senantiasa menganjurkan untuk melakukan penelitian ilmiah yang jauh dari hawa nafsu. Serta mengajak agar selalu melakukan pengamatan serta perenungan terhadap diri kita dan lingkungan sekitar. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`ān itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
(QS. Fuṣṣilat: 53)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur`ān itu?”
(QS. Al-A’rāf: 185)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Dan tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Rūm: 9)
Hasil riset ilmiah yang benar terhadap ilmu pengetahuan pasti tidak akan kontradiksi dengan ajaran Islam. Kami akan menyebutkan satu contoh, yaitu: Al-Qur`ān telah menyebutkan berbagai hal dengan amat detail sejak lebih dari 1400 tahun lalu, dan itu baru diketahui oleh sains modern belakangan ini. Hasil riset ilmu modern sejalan dengan yang tercantum dalam Al-Qur`ān yang agung; yaitu proses penciptaan janin manusia di dalam rahim ibunya. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim).
Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu lalu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.”
(QS. Al-Mu`minūn: 12-14)
sumber: islamhouse.com
No comment yet, add your voice below!