Risalah singkat tentang Islam berdasarkan Al-Qur`ān Al-Karīm dan As-Sunnah An-Nabawiyyah Bagian 8
40. Allah -Ta’ālā- tidak akan menerima satu amalan dan tidak akan memberikan pahala atas suatu perbuatan di akhirat kelak kecuali amalan tersebut berasal dari orang yang beriman kepada Allah, menaati-Nya serta membenarkan para rasul-Nya. Allah juga tidak akan menerima seluruh amal ibadah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah disyariatkan-Nya. Maka, bagaimana mungkin seorang yang kufur kepada Allah masih tetap mengharap balasan kebaikan dari-Nya? Sungguh Allah tidak akan menerima iman seseorang kecuali bila ia beriman dengan seluruh nabi -‘alaihimus-salām- serta beriman kepada risalah yang dibawa oleh Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-.
Allah -Ta’ālā- tidak akan menerima satu amalan dan tidak akan memberikan pahalanya di akhirat kelak kecuali amalan tersebut berasal dari orang yang beriman kepada Allah, menaati-Nya serta membenarkan para rasul-Nya -‘alaihimuṣ-ṣalāh was-salām-. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya padanya (di dunia) apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.(QS. Al-Isrā`: 18-19)
Allah -Ta’ālā- berfirman,”Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari (disia-siakan), dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya.”(QS. Al-Anbiyā`: 94)
Allah -Ta’ālā- tidak akan menerima amal ibadah kecuali bila telah sesuai dengan syariat-Nya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Untuk itu, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”(QS. Al-Kahf: 110)
Dia menjelaskan bahwa amalan seseorang tidak benar kecuali bila telah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, dan pelakunya berniat ikhlas karena Allah dalam amalannya, juga beriman kepada Allah dan membenarkan ajaran para nabi dan rasul-Nya. Namun sebaliknya, bila amalan seseorang tidak memenuhi persyaratan di atas (ikhlas dan mengikuti ajaran nabi), maka sungguh Allah -Ta’ālā- telah berfirman (tentang hal ini),”Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”(QS. Al-Furqān: 23)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina,bekerja keras lagi kepayahan,memasuki api yang sangat panas (neraka).”(QS. Al-Gāsyiyah: 2-4)
Inilah wajah-wajah yang terhina lagi kepayahan dari beramal. Namun, bila amalan tersebut tidak sesuai dengan petunjuk Allah; niscaya Allah akan menjadikan neraka sebagai tempat tinggalnya. Hal itu karena amalan tersebut tidak sesuai dengan syariat Allah, namun sebaliknya sesuai dengan peribadatan yang batil dan mengekor pada arahan pemimpin kesesatan yang telah menciptakan ajaran-ajaran kebatilan (sesat). Jadi, sebuah amalan akan diterima oleh Allah bila sesuai dengan ajaran yang disampaikan Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Maka, bagaimana mungkin seseorang kufur kepada Allah namun di sisi lain masih tetap mengharap balasan dari-Nya?Dan Allah tidak akan menerima iman seseorang kecuali bila ia mengimani seluruh nabi -‘alaihimus-salām- serta beriman kepada risalah yang dibawa oleh Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Dan kami telah sebutkan sebelumnya beberapa dalil yang berkaitan dengan hal ini pada pembahasan nomor (20). Allah -Ta’ālā- berfirman,”Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`ān) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.'”(QS. Al-Baqarah: 285)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada kitab (Al-Qur`ān) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.”(QS. An-Nisā`: 136)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu datang kepada kamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami setuju.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu.'”(QS. Āli ‘Imrān: 81)
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya padanya (di dunia) apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.
(QS. Al-Isrā`: 18-19)
Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari (disia-siakan), dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya.”
(QS. Al-Anbiyā`: 94)
Allah -Ta’ālā- tidak akan menerima amal ibadah kecuali bila telah sesuai dengan syariat-Nya. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Untuk itu, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahf: 110)
Dia menjelaskan bahwa amalan seseorang tidak benar kecuali bila telah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, dan pelakunya berniat ikhlas karena Allah dalam amalannya, juga beriman kepada Allah dan membenarkan ajaran para nabi dan rasul-Nya. Namun sebaliknya, bila amalan seseorang tidak memenuhi persyaratan di atas (ikhlas dan mengikuti ajaran nabi), maka sungguh Allah -Ta’ālā- telah berfirman (tentang hal ini),
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
(QS. Al-Furqān: 23)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina,
bekerja keras lagi kepayahan,
memasuki api yang sangat panas (neraka).”
(QS. Al-Gāsyiyah: 2-4)
Inilah wajah-wajah yang terhina lagi kepayahan dari beramal. Namun, bila amalan tersebut tidak sesuai dengan petunjuk Allah; niscaya Allah akan menjadikan neraka sebagai tempat tinggalnya. Hal itu karena amalan tersebut tidak sesuai dengan syariat Allah, namun sebaliknya sesuai dengan peribadatan yang batil dan mengekor pada arahan pemimpin kesesatan yang telah menciptakan ajaran-ajaran kebatilan (sesat). Jadi, sebuah amalan akan diterima oleh Allah bila sesuai dengan ajaran yang disampaikan Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Maka, bagaimana mungkin seseorang kufur kepada Allah namun di sisi lain masih tetap mengharap balasan dari-Nya?
Dan Allah tidak akan menerima iman seseorang kecuali bila ia mengimani seluruh nabi -‘alaihimus-salām- serta beriman kepada risalah yang dibawa oleh Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Dan kami telah sebutkan sebelumnya beberapa dalil yang berkaitan dengan hal ini pada pembahasan nomor (20). Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`ān) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.'”
(QS. Al-Baqarah: 285)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada kitab (Al-Qur`ān) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.”
(QS. An-Nisā`: 136)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu datang kepada kamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami setuju.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu.'”
(QS. Āli ‘Imrān: 81)
41. Tujuan dari seluruh risalah Allah adalah agar agama yang benar (Islam) semakin meningkatkan kemuliaan manusia hingga ia menjadi hamba yang hanya mengikhlaskan ibadah kepada Allah, Rabb semesta alam, serta dapat membebaskannya dari perbudakan manusia, materi maupun khurafat. Sehingga, agama Islam -sebagaimana engkau perhatikan- tidak akan mengultuskan seseorang serta memosisikannya melebihi kedudukan yang sebenarnya, dan tidak pula menjadikan mereka sebagai tuhan dan sesembahan.
Sejatinya tujuan dari seluruh risalah ilahi adalah agar agama yang benar (Islam) semakin meningkatkan kemuliaan manusia hingga ia menjadi hamba yang selalu mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Islam bertujuan membebaskan manusia dari penghambaan terhadap materi maupun khurafat. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Binasalah budak dinar, dirham, pakaian beludru, dan pakaian wol bermotif. Jika diberi dia rida, tetapi jika tidak diberi dia tidak rida.”(Sahih Bukhari: 6435)
Jadi, manusia yang normal tak akan tunduk kecuali hanya kepada Allah; ia tidak akan diperbudak harta, martabat, pangkat dan kesukuan. Dalam kisah berikut ini akan terungkap bagi setiap pembaca; apa yang sebenarnya terjadi pada manusia sebelum Nabi diutus? Dan bagaimana hasilnya setelah masa kenabian?Tatkala kaum muslimin berhijrah pertama kali ke negeri Ḥabasyah, Raja Ḥabasyah ketika itu -An-Najāsyiy- bertanya kepada mereka,”Agama apa yang menyebabkan kalian meninggalkan kaum kalian, dan kalian juga tidak masuk pada agamaku atau agama umat lainnya?”Lantas Ja’far bin Abī Ṭālib menjawab,”Wahai sang Raja! Kami dahulu adalah kaum yang jahil, kami menyembah berhala dan memakan bangkai, melakukan berbagai keburukan dan memutus tali kekerabatan, berbuat jahat terhadap tetangga. Orang yang kuat di antara kami memangsa yang lemah, dan kami masih dalam keadaan seperti itu sampai Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami sendiri. Kami mengetahui nasabnya dan kejujurannya, amanahnya dan kehati-hatiannya dalam menjaga kehormatannya. Dia mengajak kami kepada Allah agar kami mengesakan-Nya dan hanya menyembah-Nya, serta meninggalkan apa yang kami dan nenek moyang kami sembah berupa batu dan patung. Dia menyuruh kami untuk jujur dalam berbicara, menunaikan amanah dan menyambung silaturahmi, berbuat baik terhadap tetangga dan menahan dari hal-hal yang haram dan (menumpahkan) darah. Dia melarang kami melakukan berbagai kekejian, perkataan dusta, memakan harta anak yatim dan menuduh wanita yang baik dengan tuduhan berzina. Dia menyuruh kami agar kami menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dia menyuruh kami untuk mengerjakan salat, zakat dan puasa.” Dia menyebutkan berbagai hal yang berkaitan dengan perkara-perkara Islam, lalu melanjutkan, “Kami lalu membenarkannya, beriman kepadanya dan mengikuti apa yang beliau bawa. Kami lalu menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kami mengharamkan apa yang diharamkannya untuk kami dan kami menghalalkan apa yang dihalalkannya untuk kami …”(HR. Ahmad: 1740 dengan sedikit perubahan redaksi dan Abu Nu’aim dalam Ḥilyah Al-Auliyā`: 1/115 secara ringkas).
Agama Islam -sebagaimana engkau saksikan- tidak akan mengultuskan seseorang serta memosisikannya melebihi kedudukannya yang sebenarnya, dan tidak pula menjadikan mereka sebagai tuhan dan sesembahan yang diibadahi.Allah -Ta’ālā- berfirman,”Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim.'”(QS. Āli ‘Imrān: 64)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?”(QS. Āli ‘Imrān: 80)Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakan (panggil aku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.”(Sahih Bukhari: 3445)
“Binasalah budak dinar, dirham, pakaian beludru, dan pakaian wol bermotif. Jika diberi dia rida, tetapi jika tidak diberi dia tidak rida.”
(Sahih Bukhari: 6435)
Jadi, manusia yang normal tak akan tunduk kecuali hanya kepada Allah; ia tidak akan diperbudak harta, martabat, pangkat dan kesukuan. Dalam kisah berikut ini akan terungkap bagi setiap pembaca; apa yang sebenarnya terjadi pada manusia sebelum Nabi diutus? Dan bagaimana hasilnya setelah masa kenabian?
Tatkala kaum muslimin berhijrah pertama kali ke negeri Ḥabasyah, Raja Ḥabasyah ketika itu -An-Najāsyiy- bertanya kepada mereka,
“Agama apa yang menyebabkan kalian meninggalkan kaum kalian, dan kalian juga tidak masuk pada agamaku atau agama umat lainnya?”
Lantas Ja’far bin Abī Ṭālib menjawab,
“Wahai sang Raja! Kami dahulu adalah kaum yang jahil, kami menyembah berhala dan memakan bangkai, melakukan berbagai keburukan dan memutus tali kekerabatan, berbuat jahat terhadap tetangga. Orang yang kuat di antara kami memangsa yang lemah, dan kami masih dalam keadaan seperti itu sampai Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami sendiri. Kami mengetahui nasabnya dan kejujurannya, amanahnya dan kehati-hatiannya dalam menjaga kehormatannya. Dia mengajak kami kepada Allah agar kami mengesakan-Nya dan hanya menyembah-Nya, serta meninggalkan apa yang kami dan nenek moyang kami sembah berupa batu dan patung. Dia menyuruh kami untuk jujur dalam berbicara, menunaikan amanah dan menyambung silaturahmi, berbuat baik terhadap tetangga dan menahan dari hal-hal yang haram dan (menumpahkan) darah. Dia melarang kami melakukan berbagai kekejian, perkataan dusta, memakan harta anak yatim dan menuduh wanita yang baik dengan tuduhan berzina. Dia menyuruh kami agar kami menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dia menyuruh kami untuk mengerjakan salat, zakat dan puasa.” Dia menyebutkan berbagai hal yang berkaitan dengan perkara-perkara Islam, lalu melanjutkan, “Kami lalu membenarkannya, beriman kepadanya dan mengikuti apa yang beliau bawa. Kami lalu menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kami mengharamkan apa yang diharamkannya untuk kami dan kami menghalalkan apa yang dihalalkannya untuk kami …”
(HR. Ahmad: 1740 dengan sedikit perubahan redaksi dan Abu Nu’aim dalam Ḥilyah Al-Auliyā`: 1/115 secara ringkas).
Agama Islam -sebagaimana engkau saksikan- tidak akan mengultuskan seseorang serta memosisikannya melebihi kedudukannya yang sebenarnya, dan tidak pula menjadikan mereka sebagai tuhan dan sesembahan yang diibadahi.
Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim.'”
(QS. Āli ‘Imrān: 64)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?”
(QS. Āli ‘Imrān: 80)
Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakan (panggil aku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.”
(Sahih Bukhari: 3445)
42. Allah -Ta’ālā- mensyariatkan tobat dalam ajaran Islam, yaitu kembalinya manusia kepada Rabb-nya dengan meninggalkan segala bentuk dosa. Islam menghapus dosa-dosa masa lalu (saat kafir), dan tobat menghapus perbuatan dosa sebelumnya, sehingga tidak dibutuhkan lagi pengakuan atas seluruh dosanya di hadapan manusia.
Allah -Ta’ālā- mensyariatkan tobat dalam ajaran Islam, yaitu kembalinya manusia kepada Rabb-nya dengan meninggalkan segala bentuk dosa. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Bertobatlah kalian semuanya, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.”(QS. An-Nūr: 31)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(nya), dan bahwa Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang?”(QS. At-Taubah: 104)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Asy-Syūrā: 25)
Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,”Allah lebih gembira dengan tobat seorang hamba yang beriman dibandingkan kegembiraan seseorang yang berada di gurun sahara yang mencekam dengan ditemani hewan tunggangannya serta perbekalan makanan dan minuman, kemudian ia tertidur. Ketika ia terbangun, ternyata hewan tunggangannya terlepas dengan membawa perbekalan makanan dan minumannya. Kemudian orang tersebut mencari hewan tunggangannya tersebut ke sana kemari hingga ia merasa haus. Setelah itu, ia pun berkata, ‘Sebaiknya aku kembali saja ke tempat tidurku semula sampai aku mati.’ Tak lama kemudian orang tersebut membaringkan tubuhnya dengan meletakkan kepalanya di atas lengannya dan bersiap-siap untuk mati. Ketika ia terbangun, ternyata hewan tunggangannya itu telah berada di sisinya dengan membawa bekal makanan dan minumannya. Sungguh kegembiraan Allah karena tobat seorang hamba-Nya yang beriman melebihi kegembiraan orang tersebut dengan kembalinya tunggangannya bersama perbekalan.”(Sahih Muslim: 2744)
Islam menghapus dosa-dosa masa lalu (saat kafir), dan tobat menghapus perbuatan dosa sebelumnya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh, berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan).'”(QS. Al-Anfāl: 38)
Bahkan Allah menyeru kaum Nasrani agar bertobat. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(QS. Al-Mā`idah: 74)
Allah -Ta’ālā- juga memotivasi seluruh pelaku maksiat dan para pendosa agar segera bertobat. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(QS. Az-Zumar: 53)
Tatkala ‘Amr bin Al-‘Āṣ bertekad masuk Islam, ia sangat khawatir bila dosa-dosa masa lalunya sebelum masuk Islam tidak akan terampuni. Lantas ‘Amr mengisahkan kondisinya ini dalam satu riwayat,”Ketika Allah -‘Azza wa Jalla- memasukkan Islam ke dalam hatiku, maka aku mendatangi Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- agar beliau membaiatku. Kemudian beliau mengulurkan tangannya kepadaku, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku tidak akan membaiatmu sebelum engkau memberi maaf atas kesalahan-kesalahanku yang telah lalu.’ Maka Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepadaku, ‘Wahai ‘Amr! Tidakkah kamu tahu bahwa hijrah menghapus dosa yang telah lalu? Wahai ‘Amr! Tidakkah kamu tahu bahwa Islam menghapus dosa yang telah lalu?'”(HR. Muslim: 121, beliau meriwayatkan secara lengkap dengan lafal yang sedikit berbeda; dan Ahmad: 17827. Redaksi hadis ini berasal dari beliau)
“Bertobatlah kalian semuanya, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.”
(QS. An-Nūr: 31)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(nya), dan bahwa Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Asy-Syūrā: 25)
Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Allah lebih gembira dengan tobat seorang hamba yang beriman dibandingkan kegembiraan seseorang yang berada di gurun sahara yang mencekam dengan ditemani hewan tunggangannya serta perbekalan makanan dan minuman, kemudian ia tertidur. Ketika ia terbangun, ternyata hewan tunggangannya terlepas dengan membawa perbekalan makanan dan minumannya. Kemudian orang tersebut mencari hewan tunggangannya tersebut ke sana kemari hingga ia merasa haus. Setelah itu, ia pun berkata, ‘Sebaiknya aku kembali saja ke tempat tidurku semula sampai aku mati.’ Tak lama kemudian orang tersebut membaringkan tubuhnya dengan meletakkan kepalanya di atas lengannya dan bersiap-siap untuk mati. Ketika ia terbangun, ternyata hewan tunggangannya itu telah berada di sisinya dengan membawa bekal makanan dan minumannya. Sungguh kegembiraan Allah karena tobat seorang hamba-Nya yang beriman melebihi kegembiraan orang tersebut dengan kembalinya tunggangannya bersama perbekalan.”
(Sahih Muslim: 2744)
Islam menghapus dosa-dosa masa lalu (saat kafir), dan tobat menghapus perbuatan dosa sebelumnya. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh, berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan).'”
(QS. Al-Anfāl: 38)
Bahkan Allah menyeru kaum Nasrani agar bertobat. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Mā`idah: 74)
Allah -Ta’ālā- juga memotivasi seluruh pelaku maksiat dan para pendosa agar segera bertobat. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Tatkala ‘Amr bin Al-‘Āṣ bertekad masuk Islam, ia sangat khawatir bila dosa-dosa masa lalunya sebelum masuk Islam tidak akan terampuni. Lantas ‘Amr mengisahkan kondisinya ini dalam satu riwayat,
“Ketika Allah -‘Azza wa Jalla- memasukkan Islam ke dalam hatiku, maka aku mendatangi Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- agar beliau membaiatku. Kemudian beliau mengulurkan tangannya kepadaku, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku tidak akan membaiatmu sebelum engkau memberi maaf atas kesalahan-kesalahanku yang telah lalu.’ Maka Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepadaku, ‘Wahai ‘Amr! Tidakkah kamu tahu bahwa hijrah menghapus dosa yang telah lalu? Wahai ‘Amr! Tidakkah kamu tahu bahwa Islam menghapus dosa yang telah lalu?'”
(HR. Muslim: 121, beliau meriwayatkan secara lengkap dengan lafal yang sedikit berbeda; dan Ahmad: 17827. Redaksi hadis ini berasal dari beliau)
43. Dalam agama Islam; hubungan antara manusia dengan Allah itu terjadi secara langsung, sehingga tidak dibutuhkan orang lain sebagai perantara antara engkau dengan Allah. Sebab Islam secara tegas melarang untuk menjadikan manusia sebagai tuhan yang disembah atau sekutu bagi Allah dalam perkara yang berkaitan dengan rubūbiyyah atau ulūhiyyah-Nya.
Dalam Islam, tidak dibutuhkan lagi pengakuan atas seluruh dosanya di hadapan manusia bila telah bertobat. Dalam Islam pula, hubungan antara manusia dengan Allah itu terjadi secara langsung. Maka tidak dibutuhkan orang lain sebagai perantara antara engkau dengan Allah. Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan nomor (36), bahwa Allah -Ta’ālā- mengajak seluruh manusia untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Pun demikian, Allah melarang manusia menjadikan para nabi dan malaikat sebagai perantara antara Allah dengan para hamba-Nya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?”(QS. Āli ‘Imrān: 80)
Islam – sebagaimana engkau saksikan- melarang kita menjadikan manusia sebagai tuhan atau sekutu bagi Allah dalam rubūbiyyah atau ulūhiyyah-Nya. Allah -Ta’ālā- berfirman tentang sikap kaum Nasrani,”Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.”(QS. At-Taubah: 31)
Allah juga mengingkari orang-orang kafir yang menjadikan perantara antara diri mereka dengan Allah. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.”(QS. Az-Zumar: 3)
Allah telah menjelaskan bahwa para penyembah berhala -orang jahiliah- dahulu menjadikan perantara antara mereka dengan Allah, seraya beralasan, “Kami lakukan itu demi mendekatkan diri kepada Allah.”Apabila Allah telah melarang manusia menjadikan para nabi atau malaikat sebagai perantara antara Dia dengan para hamba-Nya; maka selain mereka (para nabi dan malaikat) tentunya lebih tidak patut lagi dijadikan perantara. Bagaimana mungkin hal tersebut disamakan? padahal para nabi dan rasul termasuk para hamba yang senantiasa bersegera dalam mendekatkan diri kepada Allah. Allah -Ta’ālā- berfirman mengisahkan kondisi para nabi dan rasul -‘alaihimus-salām-,”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”(QS. Al-Anbiyā`: 30)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,”Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya. Sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.”(QS. Al-Isrā`: 57)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang engkau mintai selain Allah -dari para nabi dan orang-orang saleh-; sejatinya mereka adalah orang-orang yang suka mendekatkan diri kepada Allah, senantiasa mengharap rahmat-Nya serta selalu takut azab-Nya. Maka bagaimana mungkin mereka dimintai sesuatu selain Allah?
“Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?”
(QS. Āli ‘Imrān: 80)
Islam – sebagaimana engkau saksikan- melarang kita menjadikan manusia sebagai tuhan atau sekutu bagi Allah dalam rubūbiyyah atau ulūhiyyah-Nya. Allah -Ta’ālā- berfirman tentang sikap kaum Nasrani,
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS. At-Taubah: 31)
Allah juga mengingkari orang-orang kafir yang menjadikan perantara antara diri mereka dengan Allah. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.”
(QS. Az-Zumar: 3)
Allah telah menjelaskan bahwa para penyembah berhala -orang jahiliah- dahulu menjadikan perantara antara mereka dengan Allah, seraya beralasan, “Kami lakukan itu demi mendekatkan diri kepada Allah.”
Apabila Allah telah melarang manusia menjadikan para nabi atau malaikat sebagai perantara antara Dia dengan para hamba-Nya; maka selain mereka (para nabi dan malaikat) tentunya lebih tidak patut lagi dijadikan perantara. Bagaimana mungkin hal tersebut disamakan? padahal para nabi dan rasul termasuk para hamba yang senantiasa bersegera dalam mendekatkan diri kepada Allah. Allah -Ta’ālā- berfirman mengisahkan kondisi para nabi dan rasul -‘alaihimus-salām-,
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”
(QS. Al-Anbiyā`: 30)
Allah -Ta’ālā- juga berfirman,
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya. Sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.”
(QS. Al-Isrā`: 57)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang engkau mintai selain Allah -dari para nabi dan orang-orang saleh-; sejatinya mereka adalah orang-orang yang suka mendekatkan diri kepada Allah, senantiasa mengharap rahmat-Nya serta selalu takut azab-Nya. Maka bagaimana mungkin mereka dimintai sesuatu selain Allah?
44. Di akhir risalah ini, kami turut mengingatkan bahwa manusia dengan segala perbedaannya, baik waktu, bangsa dan negara, bahkan seluruh elemen masyarakatnya; juga memiliki perbedaan dalam pola pikir dan tujuannya, dan berbeda pula lingkungan dan profesi yang digelutinya. Kondisi ini sangat menuntut adanya kehadiran seorang juru dakwah yang senantiasa memberikan bimbingan kepadanya, serta adanya sebuah sistem aturan yang mampu menyatukannya, dan seorang hakim yang bisa melindungi hak-haknya. Dahulu para rasul yang mulia -‘alaihimus-salām- selalu mengambil peran tersebut dengan bimbingan wahyu dari Allah; dengan terus membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kemuliaan, berusaha menyatukan mereka di atas syariat Allah, serta memutuskan berbagai perkara yang terjadi di antara mereka dengan adil. Akhirnya, kesejahteraan hidup mereka pun terwujudkan sesuai kadar penerimaan mereka terhadap dakwah para rasul tersebut dan kedekatan masa mereka dengan turunnya risalah ilahi. Setelah itu, Allah lantas menutup seluruh risalah ini dengan diutusnya Rasul Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, lalu menetapkan bahwa risalah ini akan tetap abadi, dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi manusia, rahmat, cahaya serta penerang jalan yang bisa mengantarkan manusia kepada Allah -Subḥānahu wa Ta’ālā-.
Di akhir risalah ini, kami turut mengingatkan bahwa manusia dengan segala perbedaannya baik waktu, bangsa dan negara, bahkan seluruh elemen masyarakatnya; sejatinya memiliki perbedaan juga dalam pola pikir dan tujuannya, dan berbeda pula lingkungan dan profesi yang digelutinya. Maka kondisi ini menuntut sekali kehadiran seorang juru dakwah yang senantiasa memberikan bimbingan kepadanya, serta butuh pula sebuah sistem aturan yang mampu menyatukannya dan seorang hakim yang bisa melindungi hak-haknya. Dahulu para rasul yang mulia -‘alaihimus-salām- selalu mengambil peran tersebut atas bimbingan wahyu dari Allah, dengan senantiasa membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kemuliaan, berusaha untuk menyatukan mereka di atas syariat Allah dan memutuskan berbagai perkara yang terjadi di antara mereka dengan benar dan adil. Akhirnya, kesejahteraan hidup mereka pun mampu terwujudkan. Hal ini didasari semangat mereka untuk menerima ajakan dari para rasul serta kedekatan masa mereka dengan turunnya risalah ilahi. Tatkala kesesatan semakin banyak, kejahilan semakin tersebar dan berhala semakin sering disembah, Allah akhirnya mengutus Nabi-Nya, Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dengan membawa petunjuk dan ajaran agama yang benar, demi mengeluarkan manusia dari kelamnya kekufuran, kejahilan dan penyembahan berhala menuju keimanan dan petunjuk.
45. Oleh karena itu, saya mengajak Anda -wahai manusia- agar menunaikan ibadah kepada Allah dengan tulus dan melepaskan diri dari sekadar taklid atau mengikuti tradisi, dan agar engkau menyadari bahwa setelah kematianmu kelak, pasti engkau akan kembali kepada Rabb-mu. Aku juga mengajakmu agar lebih memperhatikan kondisi dirimu dan lingkungan sekitarmu. Oleh karena itu, masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan bahagia dunia dan akhirat. Bila engkau menginginkan untuk masuk Islam, maka tidak ada cara lain kecuali engkau harus bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Dan kamu wajib untuk berlepas diri dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah. Engkau juga harus mengimani bahwa Allah akan membangkitkan kembali setiap manusia dari alam kuburnya, dan engkau juga harus percaya bahwa hari perhitungan dan hari pembalasan itu benar-benar nyata. Bila engkau bersaksi dengan persaksian seperti ini, maka engkau telah menjadi seorang muslim. Setelah persaksian ini, kamu wajib untuk menyembah Allah sesuai dengan apa yang telah disyariatkan-Nya, berupa mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa, dan menunaikan ibadah haji bila engkau mampu.
Oleh karena itu, saya mengajak engkau agar dapat menghadap Allah dengan jujur dan tulus dengan melepas ikatan taklid atau tradisi; sebagaimana Allah -Ta’ālā- juga mengajakmu dalam firman-Nya,”Katakanlah, ‘Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.”(QS. Saba`: 46)
Engkau juga seharusnya menyadari bahwa setelah kematianmu kelak, pasti engkau akan kembali kepada Rabb-mu. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).”(QS. An-Najm: 39-42)
Aku juga mengajakmu untuk memperhatikan kondisi dirimu dan lingkungan sekitarmu. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur`ān itu?”(QS. Al-A’rāf : 185)
Oleh karena itu, masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan bahagia di dunia dan akhirat. Bila engkau menginginkan untuk masuk Islam, maka tidak ada cara lain kecuali engkau harus bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.Tatkala Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengutus Mu’āż ke negeri Yaman untuk menyampaikan ajaran Islam, beliau menasihatinya,”Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka serulah mereka kepada syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku adalah utusan Allah. Jika mereka menaatimu dalam masalah ini, sampaikan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka salat lima kali sehari dan malam. Jika mereka telah menaatimu dalam masalah itu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka menaatimu dalam masalah itu, maka jangan mengambil harta-harta mereka yang bagus (sebagai zakat).”(Sahih Muslim: 19)
Kamu juga wajib untuk melepaskan diri dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah. Melepaskan diri dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah ajaran Ḥanīfiyyah, agama Ibrahim -‘alaihis-salām-. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.”(QS. Al-Mumtaḥanah: 4)
Engkau juga harus mengimani bahwa Allah akan membangkitkan kembali setiap manusia dari alam kuburnya. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.”(QS. Al-Ḥajj: 6-7)
Dan engkau juga harus percaya bahwa hari perhitungan amalan dan hari pembalasan itu benar-benar nyata. Allah -Ta’ālā- berfirman,”Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, dan agar tiap-tiap diri dibalas terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.”(QS. Al-Jāṡiyah: 22)
“Katakanlah, ‘Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.”
(QS. Saba`: 46)
Engkau juga seharusnya menyadari bahwa setelah kematianmu kelak, pasti engkau akan kembali kepada Rabb-mu. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,
dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,
dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).”
(QS. An-Najm: 39-42)
Aku juga mengajakmu untuk memperhatikan kondisi dirimu dan lingkungan sekitarmu. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur`ān itu?”
(QS. Al-A’rāf : 185)
Oleh karena itu, masuklah ke dalam Islam, niscaya engkau akan bahagia di dunia dan akhirat. Bila engkau menginginkan untuk masuk Islam, maka tidak ada cara lain kecuali engkau harus bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.
Tatkala Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengutus Mu’āż ke negeri Yaman untuk menyampaikan ajaran Islam, beliau menasihatinya,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka serulah mereka kepada syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku adalah utusan Allah. Jika mereka menaatimu dalam masalah ini, sampaikan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka salat lima kali sehari dan malam. Jika mereka telah menaatimu dalam masalah itu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka menaatimu dalam masalah itu, maka jangan mengambil harta-harta mereka yang bagus (sebagai zakat).”
(Sahih Muslim: 19)
Kamu juga wajib untuk melepaskan diri dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah. Melepaskan diri dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah ajaran Ḥanīfiyyah, agama Ibrahim -‘alaihis-salām-. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.”
(QS. Al-Mumtaḥanah: 4)
Engkau juga harus mengimani bahwa Allah akan membangkitkan kembali setiap manusia dari alam kuburnya. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,
dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.”
(QS. Al-Ḥajj: 6-7)
Dan engkau juga harus percaya bahwa hari perhitungan amalan dan hari pembalasan itu benar-benar nyata. Allah -Ta’ālā- berfirman,
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, dan agar tiap-tiap diri dibalas terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.”
(QS. Al-Jāṡiyah: 22)
Bila engkau bersaksi dengan persaksian seperti ini, maka engkau layak mendapat status muslim. Setelah itu, kamu wajib untuk menyembah Allah sesuai dengan apa yang telah disyariatkan, berupa mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, dan ibadah-ibadah lainnya.
Buku ini tertanggal, 19-11-1441 M
Penulis: Prof. Dr. Muhammad bin Abdullah As-Suḥaim
Mantan Guru Besar Ilmu Akidah di Prodi Ilmu Keislaman
Fakultas Tarbiah, King Saud University
Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia
sumber: islamhouse.com
No comment yet, add your voice below!