Skip to content
Sebab, Syarat, dan Cara Tayamum Apa saja sebab dan bagaimanakah cara tayamum yang sesuai tuntunan? Matan Taqrib (Matan Abu Syuja’) kali ini akan mengulas lebih jauh. Semoga menjadi ilmu yang manfaat. Syarat Tayamum Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan, Syarat tayamum ada lima, yaitu:
  1. Ada uzur, baik karena safar atau sakit.
  2. Masuk waktu shalat.
  3. Telah berusaha mencari air, tetapi tidak memperolehnya.
  4. Ada air, tetapi ada uzur untuk menggunakannya dan membutuhkan air setelah mencarinya.
  5. Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu. Jika bercampur dengan kapur atau pasir, maka tidak cukup.
Pertama: Ada uzur, baik karena safar atau sakit. Allah Ta’ala berfirman, Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.” (QS. An-Nisa’: 43) Karena kebanyakan musafir, mereka tidak mendapati air, atau mendapati air, tetapi hanya sedikit yang cukup untuk diminum oleh si musafir atau untuk diminum oleh hewan yang dimuliakan seperti hewan yang ia tunggangi. Catatan: Jika ada air, tetapi bila digunakan akan jatuh sakit atau membuat sakit bertambah parah sebagaimana saran dari dokter atau pengalamannya, maka dibolehkan tayamum walaupun ada air. Hal ini dinamakan uzur syar’i. Kedua: Masuk waktu shalat. Karena tayamum adalah darurat dan tidak ada darurat sebelum masuk waktu shalat. Jika seseorang tayamum untuk shalat Shubuh sebelum waktu Shubuh masuk, maka tayamumnya harus diulangi setelah waktu Shubuh masuk. Ketiga: Mencari air. Air dinyatakan tidak ada bila melihat empat keadaan:
  1. Jika YAKIN air tidak ada, maka boleh tayamum tanpa mesti mencari air.
  2. Jika RAGU-RAGU atau SANGKAAN KUAT adanya air, maka hendaklah mencari air di sekitarnya dengan kadar jarak AL-GHAUTS (sekitar 144 meter) dari setiap penjuru. Jika sudah dicari, lantas tidak mendapati air, maka boleh tayamum.
  3. Jika YAKIN air itu ada, maka air wajib dicari dalam kadar jarak AL-QURB (sekitar 2,57 KM).
  4. Jika YAKIN air itu ada lebih dari jarak AL-QURB, berarti yang yang disebut AL-BU’DU, boleh tayamum, tanpa mesti pergi ke air tersebut.
Catatan:
  • Disunnahkan untuk yang bertayamum mengakhirkan waktu shalat jika memang sangat yakin kalau air aka nada pada akhir waktu shalat.
  • Jika seseorang tayamum dan sudah masuk shalat, kemudian ia melihat adanya air, kalau memang ia berada di daerah yang secara yakin air itu tidak ada (seperti di padang pasir), maka ia tetap menyelesaikan shalat dan shalatnya tak perlu diulangi. Namun, jika ia berada di daerah yang secara yakin air itu banyak (daerah subur), ia mesti keluar dari shalat dan wajib untuk berwudhu.
  • Jika seseorang khawatir pada dirinya di tengah mencari ada bahaya yang menimpa dirinya, maka ia tidak harus mencari dan tayamum tetap sah.
Keempat: Ada air, tetapi ada uzur untuk menggunakannya dan membutuhkan air setelah mencarinya.
  • Jika takut pada hewan buas, khawatir berpisah dari rombongan, takut pada perampok, maka tidak wajib mencari air.
  • Jika memang membutuhkan air untuk minum, maka tidak wajib berwudhu dan cukup dengan tayamum. Catatan:
Jika mendapati air dan ingin membelinya, maka tidak wajib membeli lebih dari upah semisal (tsaman al-mitsl). Tayamum tetap sah jika memang air harus dibeli dengan harga di atas dari harga normal. Kelima: Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu. Jika bercampur dengan kapur atau pasir, maka tidak cukup.
  • Debu yang najis tidak sah untuk tayamum.
  • Debu yang bercampur dengan pasir atau kapur juga tidak sah digunakan untuk tayamum.
  • Debu yang sudah digunakan untuk tayamum, maka dianggap mustakmal, tidak bisa digunakan lagi untuk tayamum kedua kalinya.
Rukun Tayamum Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan, Rukun tayamum ada empat, yaitu:
  1. Niat
  2. Mengusap wajah
  3. engusap kedua tangan sampai kedua siku
  4. Tertib
Ayat yang Mensyariatkan Tayamum “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6) Penjelasan Rukun Tayamum Pertama: Niat, yaitu ketika membasuh wajah. Niatnya adalah untuk membolehkan shalat. Niat ini dalam hati. Sedangkan, niat di lisan hanyalah untuk menguatkan saja. Catatan: Jika niatannya untuk dibolehkan shalat wajib, maka boleh digunakan untuk shalat sunnah. Sedangkan jika niatannya untuk dibolehkan shalat sunnah, maka tidak boleh digunakan untuk shalat wajib. Kedua: Mengusap wajah dan rambut yang ada di wajah. Ketiga: Mengusap kedua tangan sampai siku. Keempat: Tertib (berurutan). Tayamum itu untuk Menghilangkan Hadats Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanah itu merupakan alat berwudhu bagi orang Islam meskipun ia tidak menjumpai air hingga sepuluh tahun. Maka jika ia telah mendapatkan air, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menggunakan air untuk mengusap kulitnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darutuqhni bahwa hadits ini mursal) [HR. Al-Bazzar dalam Mukhtashar Zawaidnya, 1:175. Hadits ini mursal menurut Ad-Daruquthni sebagaimana disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:89]. Faedah hadits Pertama: Tayamum itu sebagai muthahhir (menyucikan) dan menghilangkan hadats. Tayamum bukanlah hanya mubiihan lish sholaah (hanya dibolehkan untuk shalat). Karena dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenyebut tayamum sebagai wudhu seorang muslim. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama lainnya. Pendapat pertama ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama (madzhab Imam Malik, Syafii, dan masyhur dari Imam Ahmad) bahwa tayamum hanyalah mubiihan lish shalaah (hanya dibolehkan untuk shalat). Jumhur ulama tidaklah menghukumi tayamum sebagai penghilang hadats. Pendapat terkuat adalah pendapat pertama bahwa tayamum itu untuk menghilangkan hadats secara temporer hingga menemukan air atau hingga sanggup menggunakan air. Alasannya: Setelah penyebutan tayamum disebutkan, “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu.” (QS. Al-Maidah: 6). Allah menginginkan tayamum itu untuk menyucikan sebagaimana air juga untuk menyucikan. Tayamum adalah pengganti bersuci dengan air. Sebagaimana dalam kaidah disebutkan, “Hukum badal (pengganti) sama dengan hukum yang digantikan.” Jika bersuci dengan air akan menghilangkan hadats, tentu tayamum juga akan menghilangkan hadats. Kedua: Tayamum untuk keadaan junub kemudian setelah itu mampu menggunakan air, diperintahkan untuk mandi. Wallahu a’lam. Masalah Dua Kali Tepuk Tangan dan Mengusap Tangan Sampai Siku? Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tayamum itu dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua telapak tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daruquthni dan disahihkan oleh para imam bahwa hadits ini mawquf). [HR. Ad-Daruquthni, 1:180; Al-Hakim, 1:287; Ibnu ‘Adi, 5:188. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:85]. Faedah hadits Pertama: Tayamum cukup dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. Inilah yang lebih tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan. Dalam madzhab Imam Ahmad, seandainya menepuk dua kali yaitu sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua telapak tangan, itu boleh. Menurut Imam Syafii dan ashabur ro’yi, tayamum itu dua kali tepukan. Kedua: Yang tepat, pada saat mengusap tangan saat tayamum hanya pada telapak tangan saja hingga pergelangan tangan. Kedua telapak tangan inilah yang dimaksudkan dalam ayat, “usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6). Tangan (al-yad) jika disebutkan secara mutlak, yang dimaksud adalah telapak tangan sebagaimana dalam ayat, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (QS. Al-Maidah: 38). Tangan pencuri hanyalah dipotong hingga telapak tangan. Inilah ijmak ulama. Adapun dalam ayat wudhu disebutkan, “dan tanganmu hingga siku.” (QS. Al-Maidah: 6). Ayat yang menyebutkan mutlak tidak bisa dibawa ke ayat yang menyebutkan muqoyyad (ada tambahan hingga siku). Karena yang satu membicarakan tayamum, yang satunya lagi membicarakan wudhu, hukumnya berbeda. Ayat wudhu memakai istilah al-ghuslu (membasuh/ mencuci). Sedangkan, ayat tayamum memakai istilah al-mas-hu (mengusap). Wallahu a’lam. Sunanh Tayamum Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan, Sunnah tayamum ada tiga, yaitu:
  1. Mengucapkan basmalah.
  2. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
  3. Dilakukan secara beruntun tanpa berhenti.
Penjelasan: Sunnah-sunnah saat tayamum: 1.Membaca tasmiyyah di awalnya.
  1. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
  2. Muwalah, berurutan tanpa jeda ketika mengusap wajah dan tangan.
  3. Debu tidak terlalu banyak, bisa dengan mengibaskan kedua tangan setelah menepuk tangan ke debu yang suci.
  4. Jari-jari direnggangkan saat menepuk.
  5. Mengusap hanya sekali, tidak berulang kali.
  6. Melepas cincin ketika menepuk pertama.
  7. Bersiwak.
  8. Menghadap kiblat di tengah tayamum.
  9. Mengusap mulai dari bagian atas wajah.
Pembatal Tayamum Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan, Perkara yang membatalkan tayamum ada tiga, yaitu:
  1. Semua perkara yang membatalkan wudhu.
  2. Melihat air di luar waktu shalat.
  3. Murtad.
Penjelasan:
  1. Semua yang menjadi pembatal wudhu.
  2. Melihat air sebelum masuk dalam shalat bagi yang tidak mendapati air sebelumnya. Jika dalam keadaan shalat lantas mendapati air, maka dirinci: (a) jika berada di tempat yang memang jarang air itu kering (saat mukim), maka tayamum batal, wajib berwudhu; (b) jika berada di tempat yang memang jarang itu ada (saat safar), maka tayamum tidaklah batal.
  3. Murtad, yaitu memutus islam dengan kekafiran.
Referensi:
  1. Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
  2. Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
  3. Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
  4. Pembahasan Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di dan syarhnya.
Muhammad Abduh Tuasikal rumaysho.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh