Siapakah Khadhir?
Sosok Khadhir masih menjadi bahan perdebatan hingga kini. Utamanya berkaitan dengan jati dirinya, statusnya sebagai nabi atau wali, apakah masih hidup atau sudah wafat, dst. Namun di balik kontroversi itu, kalangan Shufi justru menjadikan kisahnya sebagai dalil untuk menyuburkan pemahaman menyimpangnya. Masalah tersebut akan dibahas setelah lanjutan pelajaran dari kisah Khadhir dan Nabi Musa u berikut ini.
Seorang hamba yang shalih, diri dan hartanya akan dipelihara Allah Subhanahuwata’ala. Bahkan anak cucunya serta yang bersangkut paut dengannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat:
“Sedangkan ayah mereka berdua adalah orang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82)
Berkhidmat membantu orang sha-lih dan berbuat demi kemaslahatan mereka adalah perbuatan yang paling utama terha-dap mereka daripada terhadap yang selain mereka. Dalam ayat ini, Allah menyebutkan alasan Khadhir melakukan hal itu (memper-baiki dinding rumah), yaitu karena ayah kedua anak itu adalah seorang yang shalih.
Tetap memperhatikan adab sopan santun terhadap Allah, meskipun dalam masalah lafadz ucapan. Khadhir menisbah-kan cacat kapal itu kepada dirinya, sebagai-mana Allah Subhanahuwata’ala ceritakan perkataan beliau:
“Dan aku ingin merusak kapal ini.” (Al-Kahfi: 79)
Dan beliau menisbahkan kebaikan kepada Allah dengan pernyataan beliau sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya:
“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)
Juga yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim, seperti yang diceritakan Allah Subhanahuwata’ala dalam ayat:
“Dan apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkanku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
Dan perkataan jin, sebagaimana Allah sebut dalam ayat:
“Dan sesungguhnya kami tidak tahu apakah keburukan yang dikehendaki bagi yang ada di bumi ataukah Rabb mereka meng-hendaki kebaikan bagi mereka.” (Al-Jin: 10)
Padahal semuanya terjadi dengan qadha dan qadar Allah Subhanahuwata’ala.
Sepantasnya seseorang tidak meninggalkan sahabatnya dalam keadaan apapun, apalagi memutuskan hubungan persahabatan tersebut. Bahkan hendaknya dia menyempurnakan hubungan tersebut sehingga tidak ada lagi tempat yang tersisa bagi sebuah kesabaran.
Kesesuaian seseorang dengan sahabat-nya dalam permasalahan yang tidak terlarang adalah faktor pendorong dan sebab kokoh serta kekalnya persahabatan. Sebaliknya, apabila tidak terdapat hal yang demikian, akan menjadi pemicu putusnya kasih sayang dua orang yang bersahabat. Wallahu a’lam. (Diambil dari Taisir Al-Lathifil Mannan)
Siapakah Khadhir?
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, penulis Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari mengatakan, “Seba-gian orang-orang bodoh beranggapan bahwa Khadhir lebih afdhal (utama) dari Nabiyullah Musa ‘Alaihissalam dengan berpedoman kepada kisah ini (kisah Khadhir bersama Nabiyullah Musa, pent.). Pernyataan ini hanya muncul karena dangkalnya pema-haman mereka terhadap kisah ini. Mereka tidak memperhatikan lebih lanjut keistime-waan yang diberikan Allah Subhanahuwata’ala kepada Nabi-yullah Musa ‘Alaihissalam seperti risalah (kerasulan), mendengar Kalamullah, diberi Taurat yang berisi berbagai ilmu, dan bahwa seluruh nabi di kalangan Bani Israil berada di bawah syariat beliau.
Jikalau kita anggap Khadhir sebagai nabi, maka nubuwwah (kenabian) Musa ‘Alaihissalam tetap lebih mulia darinya. Dan kalau kita anggap beliau bukan nabi (hanya sebagai wali), jelas bahwa kedudukan nabi lebih mulia daripada wali. Permasalahan ini (kedudukan nabi lebih mulia dari wali) adalah masalah yang pasti, baik secara akal maupun naql (dalil), sehingga siapa yang menyelisihinya adalah kafir.”2
Dan dalam rubrik ini, akan kami papar-kan secara ringkas keterangan beberapa ulama, baik dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits maupun ahli fiqih serta yang lainnya tentang sebagian hakekat keadaan beliau. Wallahul muwaffiq.
Nasabnya
Para ulama berbeda pendapat tentang nasab beliau. Ada yang mengatakan beliau adalah putera kandung Nabi Adam ‘Alaihissalam. Pendapat ini diriwayatkan Ad-Daraquthni dalam Al-Afrad, melalui jalan Rawwad bin Al-Jarrah dari Muqatil bin Sulaiman dari Adh-Dhahhak dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. Rawwad sendiri lemah, sedangkan Muqatil matruk (ditinggalkan riwayatnya), dan Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa beliau adalah putera Qabil bin Adam. Demikian disebutkan Abu Hatim As-Sijistani dalam Al-Mu’ammarin.
Dan masih ada sejumlah pendapat lagi yang dipaparkan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (2/286), kemudian beliau mengata-kan bahwa sanadnya mu’dhal.3
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa beliau adalah putera kandung Fir’aun, demikian menurut An-Naqqasy. Ada yang berpendapat beliaulah Ilyasa’, demikian menurut Muqatil. Dan kata Ibnu Hajar, ini sangat jauh kemungkinannya… Wallahu a’lam tentang hakekatnya.4
Namun demikian nama Khadhir sendiri ini shahih, sebagaimana dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
“Dari Nabi Shallalahu’alaihiwasalam, beliau bersabda:’Bahwa beliau dinamai Khadhir, karena dia pernah duduk di atas sejenis rumput putih.5 Lalu tiba-tiba rumput itu bergerak dari belakang-nya menjadi hijau’.”
Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa kunyah-nya adalah Abul ‘Abbas dan ini disepakati keshahihannya. (Al-Ishabah 2/287)
Khadhir, Nabi atau Bukan?
Para ulama juga berbeda pendapat tentang kedudukan beliau, apakah status-nya sebagai Rasul, Nabi, ataukah hamba Allah biasa (wali).
Abu Hayyan dalam Tafsir-nya menya-takan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa beliau adalah Nabi, sedangkan ilmunya adalah ma’rifat tentang hal-hal batiniah. Sedangkan Nabiyullah Musa, ilmunya berkaitan dengan hal-hal lahiriah.
Sejumlah ahli tasawwuf mengang-gapnya wali. Bahkan sebagian mereka berpendapat bahwa wali itu lebih afdhal (utama) dari nabi.
Para ulama yang berpendapat bahwa beliau adalah seorang nabi mempertimbang-kan beberapa hal, antara lain:
Pertama, firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Ibnu Katsir t dalam tafsirnya (3/114) mengatakan, hamba di sini ada-lah Khadhir u, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam.
Asy-Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwa`ul Bayan (4/121) menukilkan adanya ijma’ tentang masalah ini. Beliau juga mengatakan, rahmat dan ilmu laduni yang dianugerahkan Allah Subhanahuwata’ala kepada beliau, belum jelas apakah rahmat dan ilmu nubuwwah (kenabian), atau rahmat dan ilmu walayah (kewalian). Namun dipahami dari sebagian ayat ini bahwa rahmat yang disebutkan di sini adalah rahmat nubuwwah. Sedangkan ilmu laduni yang dimaksud ada-lah ilmu wahyu. Meskipun harus dipahami pula bahwa masalah ini menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama.
Perlu diketahui bahwa rahmat disebut-kan di dalam Al-Qur`an berulang-ulang secara mutlak tentang nubuwwah. Demikian pula ilmu yang diberikan Allah, berulang-ulang disebutkan secara mutlak (tanpa batasan tertentu, red) dan yang dimaksud adalah ilmu wahyu. Misalnya, firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Tha`if) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?” (Az-Zukhruf: 31-32)
Artinya, apakah mereka yang membagi-bagi rahmat (nubuwwah) Rabbmu sehingga mereka harus bertahkim (berhukum) kepada seorang besar dari salah satu dua negeri?
Juga, surat Ad-Dukhan (ayat 4-6):
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu.”
Ini adalah sebagian ayat yang menye-butkan secara mutlak kata rahmat yang maknanya adalah nubuwwah. Adapun tentang ilmu, yang disebutkan secara mutlak (tanpa batasan tertentu, red) dan yang dimaksud adalah nubuwwah, antara lain firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan (juga karena) Allah telah menu-runkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (An-Nisa`: 113)
Dan firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajar-kan kepadanya.” (Yusuf: 68)
Serta ayat-ayat lainnya.
Perlu diketahui, rahmat dan pemberian ilmu laduni itu melalui jalan yang lebih umum daripada melalui jalan nubuwwah dan lainnya. Sedangkan berdalil dengan sesuatu yang lebih umum (dalam hal ini ilmu laduni) terhadap masalah yang lebih khusus (dalam hal ini kenabian), maka sesungguh-nya yang lebih umum itu tidak mengha-ruskan keberadaan yang lebih khusus. Tapi dalil paling jelas bahwa rahmat dan ilmu laduni yang dianugerahkan Allah kepada Khadhir adalah melalui jalan nubuwwah dan wahyu, adalah firman Allah Subhanahuwata’ala yang menceritakan perkataan Khadhir: (dan tidaklah aku melaku-kannya menurut kemauanku sendiri).6 Keterangannya, lihat paragraf sebelumnya.
Kedua, perkataan Nabiyullah Musa u kepada Khadhir sebagaimana dalam firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Musa berkata kepada Khadhir: ‘Boleh-kah aku mengikutimu supaya kamu meng-ajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan-pun’. Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu’.” (Al-Kahfi: 66-70)
Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan (Qasha-shul Anbiya` hal. 357): “Seandainya beliau (Khadhir) bukan nabi dan hanya seorang wali, tidaklah mungkin Nabi Musa berdialog dengan beliau begitu hormat dengan kalimat seperti ini. Dan tentunya, tidak mungkin beliau membantah. Bahkan Nabiyullah Musa hanya mengharapkan dapat menemaninya untuk memperoleh ilmu yang dikhususkan Allah pada Khadhir yang tidak dimilikinya. Seandainya beliau (Khadhir) bukan nabi, tentu dia tidak ma’shum, dan tidak pantas Nabi Musa –padahal beliau Nabi dan Rasul yang mulia serta ma’shum, bahkan termasuk Ulul ‘Azmi– mempunyai keinginan dan harapan besar menuntut ilmu seorang wali yang tidak ma’shum. Sehingga ketika beliau bertekad mencari Khadhir meskipun berjalan berta-hun-tahun, dan setelah bertemu dengan Khadhir beliau memuliakan dan menghor-matinya serta mengikutinya untuk mencari faedah dari Khadhir, maka hal ini menun-jukkan bahwa Khadhir adalah nabi yang menerima wahyu sebagaimana Nabi Musa u. Hal yang seperti ini juga disebutkan Ar-Rumani tentang nubuwwah Khadhir ‘Alaihissalam.
Ketiga, Khadhir berani membunuh anak tersebut. Dan itu tidak lain karena wahyu yang diberikan kepadanya dari Al-Malik Al-‘Allaam (Allah Subhanahuwata’ala). Dan ini merupakan dalil tersendiri tentang kenabian beliau serta bukti nyata kema’shuman beliau. Karena seorang wali tidak boleh lancang membunuh satu jiwa hanya semata-mata menuruti apa yang terbetik dalam sanubarinya. Karena alam pikirannya tidak mempunyai sifat wajib ma’shum. Juga, karena seorang wali bisa saja salah atau keliru, menurut kesepakatan ulama.
Keempat, ketika Khadhir menerang-kan ta`wil semua tindakan yang dilakukan-nya, beliau mengatakan
(sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’ala):
“Sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (Al-Kahfi: 82)
Artinya, aku tidak melakukan hal itu atas dorongan atau kehendak diriku sendiri. Bahkan semua itu telah diperintahkan dan diwahyukan kepadaku.
Dengan demikian, semua tinjauan ini menerangkan kenabian beliau, dan tidak menafikan kedudukannya sebagai wali ataupun kerasulannya.
Dan jika hal ini telah pasti, maka orang yang berpendapat bahwa beliau seorang wali semata dan bahwasanya seorang wali kadang dapat mengetahui hakekat suatu permasalahan yang tidak diketahui pemba-wa syariat yang dzahir (Nabi dan Rasul, pen.), tidaklah memiliki sandaran dan pegangan yang kokoh sama sekali.
Dan perintah Allah Subhanahuwata’ala hanya terwujud melalui jalan wahyu, dan tidak mungkin perintah dan larangan Allah dapat dikenal kecuali melalui wahyu dari Allah Subhanahuwata’ala. Apalagi membunuh satu jiwa yang bersih menurut lahiriahnya dan merusak perahu orang lain. Sebab, melakukan pelanggaran terhadap jiwa dan harta manusia tidak dibenarkan kecuali dengan jalan wahyu dari Allah Subhanahuwata’ala.
Kalau ada yang berpendapat bahwa hal itu mungkin saja melalui ilham, ini dapat dibantah. Bantahannya, bahwasanya ilham yang ada pada wali tidak boleh dijadikan dalil, karena tidak melekatnya sifat ma’shum pada diri mereka. Juga tidak ada dalil yang membolehkan berhujjah dengannya. Apa-lagi orang yang tidak ma’shum tidak dapat dipercaya begitu saja jalan pikirannya, karena tidak aman dari bisikan setan. Selanjutnya, siapa saja yang mengaku-aku dia tidak membutuhkan seorang Rasul untuk mencapai apa yang diridhai Allah serta tidak butuh kepada apa yang dibawa Rasul tersebut meskipun hanya satu masalah, maka tidak diragukan lagi bahwa dia adalah zindiq (menampakkan keislaman tapi menyembunyikan kekafiran, pen.). Dalil-dalil tentang hal ini sangat banyak, antara lain:
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”7
Dan firman Allah Subhanahuwata’ala:
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutus-nya rasul-rasul itu.” (An Nisa`: 165)
Dan firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al-Qur`an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, sehingga kami mengikuti ayat-ayat Engkau.” (Thaha: 134)
Jadi, pengakuan mereka yang meng-anggap dirinya Shufi (pengikut tasawwuf atau tarekat, pen.) bahwa mereka dan para syaikh mereka mempunyai jalan batin sendiri sesuai dengan al-haq yang ada di sisi Allah meski-pun bertentangan dengan syariat secara lahir, seperti perbuatan Khadhir yang bertentangan dengan lahiriah ilmu yang ada pada Nabi Musa, adalah pengakuan zindiq. Bahkan merupakan pintu menuju lepasnya dari ajaran Islam secara total, dengan anggapan bahwa al-haq yang batin berten-tangan dengan al-haq yang lahiriah.
Pernyataan mereka yang demikian (mempunyai jalan sendiri menuju Allah tanpa perlu mengikuti Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam) adalah batil. Tidak ada hujjah bagi mereka dalam kisah Nabiyullah Musa ‘Alaihisalam dan Khadhir. Hal ini dapat ditinjau dari dua sisi:
1. Nabiyullah Musa ‘Alaihissalam tidak diutus kepada Khadhir, dan Khadhir tidak wajib mengikuti Nabiyullah Musa u. Nabiyullah Musa ‘Alaihissalam diutus hanya kepada Bani Israil, oleh sebab itu disebutkan dalam hadits yang shahih:
“Bahwasanya Musa ‘Alaihissalam ketika meng-ucapkan salam kepada Khadhir, dia berkata: ‘Bagaimana ada ucapan salam di negeri yang kamu pijak ini?’8 Beliau berkata: ‘Aku Musa.’ Kata Khadhir: ‘Musa Bani Israil?’ Kata beliau: ‘Ya.’ Kata Khadhir: ‘Sesungguhnya engkau di atas ilmu Allah yang Allah ajarkan kepadamu, yang aku tidak mengetahuinya. Dan aku di atas ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku, yang tidak engkau ketahui’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-‘Ilm (122) dan Muslim Al-Fadha`il (170/2380), juga At-Tirmidzi, At-Tafsir no. 3149 dari Ibni ‘Abbas)
Karena itu pula Nabi kita Muhammad Shallalahu’alaihiwasalam bersabda:
“Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku. (Yaitu), aku ditolong dengan rasa takut sejauh perjalanan satu bulan, dijadikan bumi (tanah) untukku sebagai masjid dan alat untuk bersuci (tayammum, pen.) dan dihalalkan untukku ghanimah (rampasan perang, pen.) yang tidak dihalalkan untuk siapapun sebelumku. Aku diberi syafaat. Dan para Nabi diutus hanya kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari At-Tayammum, no. 335, dan Muslim Al-Masajid, 3/521, serta Ahmad, 3/304)
Jadi, Muhammad Shallalahu’alaihiwasalam adalah Rasulul-lah (utusan Allah) kepada tsaqalain (manusia dan jin, pen.), baik yang Arab maupun ‘ajam (non Arab), para raja maupun orang-orang zuhud, wali maupun bukan wali. Sehingga tidak ada hak bagi siapapun untuk keluar dari mutaba’ah (mengikuti) beliau, lahir dan batin. Bahkan tidak ada hak bagi mereka untuk tidak mengikuti apa yang dibawa beliau berupa Al-Qur`an dan As Sunnah, kecil atau besar, berupa ilmu maupun amalan. Oleh karena itu, tidak ada satupun yang berhak untuk mengatakan bahwa dia seperti Khadhir dengan Nabi-yullah Musa u. Karena Nabiyullah Musa u tidak diutus kepada Khadhir.
Mungkin kita ingat pula kisah Nabi-yullah Musa u ketika dia membawa kaum-nya menyeberangi lautan sampai di satu negeri yang penduduknya menyembah berhala, seperti Allah ceritakan:
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan’. Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)’. Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 138-139)
Para mufassir tidak menyebutkan tentang ayat ini bahwa Nabiyullah Musa u berdakwah kepada kaum tersebut dan mencegah kesyirikan mereka. Demikian pula riwayat yang shahih dari Nabi kita Muham-mad n tentang hal ini. Dan tentunya, perkara syirik ini jauh lebih utama untuk beliau cegah, karena jelas-jelas bertentangan dengan syariat yang beliau bawa bahkan bertentangan dengan seluruh syariat para Nabi dan Rasul. Wallahu a’lam.
2. Di dalam kisah Khadhir (lihat edisi-edisi sebelumnya, pen.) tersebut tidak ada sesuatu yang menyelisihi syariat. Bahkan beberapa hal yang dilakukan oleh Khadhir justru dibolehkan syariat jika memang seseorang mengetahui sebab-sebabnya sebagaimana diketahui Khadhir. Karena itulah ketika dia menerangkan sebab-sebab-nya kepada Nabiyullah Musa u, beliau menyetujuinya. Jika hal itu menyelisihi syariat, tentulah beliau sama sekali tidak akan menyetujuinya.
Merusak kapal demi kemaslahatan pemiliknya, karena takut (dirampas) oleh raja yang dzalim, merupakan perbuatan ihsan (kebaikan) bagi pemiliknya, dan ini boleh. Membunuh orang jahat, meskipun masih kecil juga boleh. Demikian pula anak yang upaya pengkafirannya terhadap kedua orang tua tidak mungkin tercegah kecuali dengan membunuhnya, maka membunuh-nya juga boleh. (lihat Ibrah edisi lalu tentang Nabiyullah Musa dan Khadhir, pen.). Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu berkata kepada Najdah Al-Haruri ketika dia bertanya tentang membu-nuh anak-anak: “Kalau engkau mengetahui tentang keadaan mereka seperti apa yang diketahui Khadhir tentang anak itu, maka bunuhlah mereka. Kalau tidak, maka jangan membunuh mereka.” (HR. Muslim, Al-Jihad wa Siyar no. 137, 1812, Abu Dawud no. 2727, An-Nasa`i, As-Siyar no. 1556, kata beliau: hasan shahih, Ahmad, 1/224, 308)
Kemudian, berbuat baik kepada anak yatim tanpa meminta imbalan ganti rugi dan bersabar menghadapi rasa lapar, merupakan amalan shalih. Maka sebetulnya apa yang dilakukan Khadhir tidaklah bertentangan dengan syariat Nabi Musa u. (Majmu’ Fatawa, 2/233-235 dan 11/264)
Perlu kami tambahkan pula di antara dalil yang menguatkan pendapat ini ialah apa yang diucapkan oleh ahli Shufi yang terkenal dengan kebaikan, dien dan kesha-lihan, yaitu Abul Qasim Al-Junaid bin Muhammad bin Al-Junaid Al-Khazzaz Al-Qawariri t: “Madzhab kami ini terikat dengan Al-Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah.” Ucapan ini dinukil tidak hanya oleh satu orang ulama yang menukil riwayat hidup beliau, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Khalkan dan yang lainnya. Jelas bahwa perkataan beliau inilah yang haq. Tidak ada perintah dan larangan kecuali melalui lisan para Rasul r.9
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan (Al-Fatawa (4/339,397) bahwa kebanyakan ulama berpendapat beliau bukan nabi, dan ini yang dipilih Abu ‘Ali bin Abi Musa. Wallahu a’lam.
Masih Hidupkah Khadhir?
Perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai Khadhir; apakah dia masih hidup saat ini, ataukah tidak. Bahkan, apakah dia termasuk orang-orang zaman dahulu yang sudah lama wafat? Sebagian besar ulama menganggap beliau masih hidup, bahkan minum dari mata air yang bernama Al-Hayah. Di antara mereka yang mendukung pendapat ini ialah Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya, An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Shalah dan An-Naqqasy serta lain-lainnya. Bahkan An-Naqqasy secara panjang lebar menguraikan hal ini, demikian kata Ibnu ‘Athiyyah. Beliau menukil sejumlah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib z, namun semua-nya tidak dapat dijadikan hujjah. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, dari Adhwa`ul Bayan 4/125)
Sedangkan hikayat beberapa orang shalih bersama Khadhir sangat banyak jumlahnya. Mereka mengaku-aku bahwa Khadhir pergi haji, juga dia dan (Nabi) Ilyas setiap tahun, kemudian meriwayatkan dari beliau berdua berbagai pengakuan yang semuanya sudah dikenal. Adapun sandaran mereka sangat lemah sekali. Karena pada umumnya hikayat tersebut dari sebagian orang yang dianggap orang shalih. Juga mimpi-mimpi, hadits-hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi Shallalahu’alaihiwasalam) dari Anas Radhiallahu’anhu dan yang lainnya, semuanya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Dasar pendapat mereka yang paling kuat ialah atsar (berita) tentang ta’ziyah (Khadhir) ketika Nabi Shallalahu’alaihiwasalam wafat. Ini disebut-kan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Kata beliau: “Ketika Nabi Shallalahu’alaihiwasalam wafat dan diselimuti dengan sehelai kain, ada yang berbisik dari sudut rumah. Mereka dengar suaranya tapi tidak melihat sosoknya, dia berkata: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Assalamu’alai-kum ahlul bait (Setiap jiwa tentu merasakan mati). Sesungguhnya tentang (urusan) Allah ini ada penerus dari mereka yang binasa, ada ganti dari yang rusak, hiburan dari setiap musibah. Kepada Allah mereka sangat percaya dan hanya kepada-Nya mereka berharap. Maka orang yang mendapat musibah adalah orang yang terhalang dari pahala. Dan mereka berpen-dapat itu adalah Khadhir.10
Asy-Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwa`ul Bayan (4/126-135) mengatakan bahwa berdalil tentang masalah masih hidupnya Khadhir melalui atsar ta’ziyah ini, tertolak dari beberapa sisi, yaitu:
Pertama, riwayat ini tidak shahih dari segi sanad. Ibnu Katsir t menyebutkan dalam tafsirnya: “Al-Imam Nawawi dan yang lainnya menceritakan tentang masih adanya Khadhir hingga kini, bahkan sampai hari kiamat. Ibnu Shalah juga condong kepada pendapat ini. Mereka menyebutkan beberapa kisah dari sejumlah salaf dan selain mereka, bahkan dipaparkan dalam bebera-pa hadits yang tidak ada satupun yang shahih. Adapun yang paling masyhur ialah kisah ta’ziyah ini, dan sanadnya lemah.
Kedua, seandainya dianggap hadits ta’ziyah ini shahih, belum tentu yang datang ta’ziyah itu adalah Khadhir, baik secara rasio, syar’i maupun ‘urf (kebiasaan, pen.), karena boleh jadi yang datang bukan Khadhir tetapi jin mukmin. Karena mereka sebagaimana dikatakan Allah Subhanahuwata’ala:
“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”(Al-A’raf: 27)
Sedangkan pernyataan bahwa yang datang berta’ziyah adalah Khadhir merupa-kan keputusan yang tidak berdasar (dalil). Adapun ucapan mereka: “Dan mereka berpendapat itu adalah Khadhir,” bukanlah hujjah (argumen) yang dapat dijadikan rujukan, karena mungkin saja dugaan mereka itu salah. Bahkan pernyataan itu tidak pula menunjukkan ijma’ syar’i yang ma’shum. Mereka sama sekali tidak memiliki pegangan dalam pernyataan mereka bahwa itu adalah Khadhir.
Beberapa bukti (dalil) yang menunjuk-kan bahwa Khadhir sesungguhnya sudah wafat antara lain ialah:
Pertama, dzahir dan keumuman firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Al-Anbiya`: 34)
Firman Allah Subhanahuwata’ala (bagi seorang manusia) datang dalam bentuk nakirah (ditandai dengan tanwin, baris dua, pen.)11 sehingga menunjukkan umum meliputi selu-ruh manusia. Hal ini mengandung konse-kuensi tidak kekalnya seorang manusiapun yang ada sebelum beliau (Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam).
Kedua, dalam doa Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam ketika perang Badr:
“Ya Allah kalau Engkau hancurkan pasukan muslimin ini, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi.”12
Kalimat (niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi) merupakan fi’l (kata kerja) dalam susunan kalimat nafi (meniadakan) yang maknanya tidak akan ada lagi peribadatan kepada Engkau di muka bumi ini.13
Perlu diketahui bahwa penafian ini meliputi pula keberadaan Khadhir sebagai yang masih hidup di muka bumi. Artinya, kalau beliau masih hidup di bumi ini, maka Allah masih diibadahi meskipun pasukan kaum muslimin hancur binasa.
Ketiga, berita dari Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam:
“Apakah kalian melihat malam kalian ini? Sesungguhnya pada setiap seratus tahunnya, tidak ada seorangpun dari yang ada di bumi ini yang masih tersisa.”
Juga sabda beliau :
“Kabarkan kepadaku tentang malam kalian ini!14 Sesungguhnya pada akhir setiap seratus tahunnya, tidak ada yang hidup hari ini yang masih tersisa di muka bumi seorangpun.”
Para shahabat keliru dalam memahami sabda Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam, sehingga mendorong mereka membicarakan hadits ini, tentang seratus tahun itu. Bahwasanya Nabi Shallalahu’alaihiwasalam hanya mengatakan: ‘Tidak ada yang tersisa, dari yang hidup hari ini di muka bumi.’ Maksud beliau adalah bahwa kurun itu habis (berlalu).
Juga hadits Jabir bin Abdillah:
“Saya mendengar Nabi n bersabda sebulan sebelum beliau wafat: ‘Kalian bertanya kepadaku tentang kiamat, bahwa-sanya ilmu tentang kiamat itu di sisi Allah. Dan saya bersumpah demi Allah, tidak ada di muka bumi ini satu jiwa (yang hidup waktu itu, ed) yang hidup sampai mencapai seratus tahun’.” (HR. Muslim dalam Fadha`il Ash-Shahabah)
Hadits ini shahih, diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar dan Abu Sa’id Radhiallahu’anhu, yang menegaskan bahwa tidak ada yang masih hidup di muka bumi ini setelah seratus tahun. Ucapan beliau (satu jiwa yang hidup) datang dalam bentuk nakirah pada susunan kalimat nafi, sehingga bersifat umum dan tentunya meliputi pula Khadhir.
Keempat, seandainya Khadhir masih hidup sampai pada zaman Nabi Shallalahu’alaihiwasalam, tentulah dia menjadi pengikut beliau. Bahkan akan membela dan berperang bersama beliau. Apalagi Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam diutus kepada seluruh manusia dan jin. Dan Allah Subhanahuwata’ala telah mene-gaskan dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolong-nya’. Allah berfirman: ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terha-dap yang demikian itu?’ Mereka menjawab: ‘Kami mengakui’. Allah berfirman: ‘Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu’. Barangsiapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Ali ‘Imran: 81-82)
Seandainya yang dimaksud adalah umum, yakni semua nabi secara keseluruh-an, maka Nabi kita Muhammad Shallalahu’alaihiwasalam adalah yang pertama dituju dengan ayat yang mulia ini. Sehingga jika Khadhir masih hidup sampai pada masa Nabi Shallalahu’alaihiwasalam, maka dia tentu menemui beliau, membela dan di bawah bendera beliau Shallalahu’alaihiwasalam. Dan Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu menerangkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi kita Muhammad Shallalahu’alaihiwasalam, sehingga permasalahannya sudah jelas.
Bahkan ditegaskan lagi dengan sabda Nabi Shallalahu’alaihiwasalam:
“Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidaklah pantas baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Bazzar dari Jabir Radhiallahu’anhu)
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu mengatakan ketika menerangkan ayat surat Ali ‘Imran ini: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabipun melainkan Dia telah mengambil perjanjian yang sangat kokoh: Seandainya Muhammad Shallalahu’alaihiwasalam diutus, dan dia masih hidup, dia harus beriman dan menolongnya; serta memerin-tahkan pula mengambil perjanjian dari umatnya jika mereka masih hidup: agar beriman dan membela Muhammad Shallalahu’alaihiwasalam, jika beliau sudah diutus.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juga Tafsir Ath-Thabari, dinukil dari Adhwa`ul Bayan, 4/129)
Dengan demikian, Khadhir baik sebagai wali ataupun nabi termasuk dalam perjanjian ini.
Asy-Syaikh Asy-Syinqithi setelah menguraikan bahwa ada beberapa ulama membantah dalil umum tentang wafatnya Khadhir ini, beliau menerangkan pula bantahan beliau dan terakhir merajihkan (menguatkan pendapat) bahwa Khadhir telah wafat.
Ibnu Katsir Rahimahullah juga me-rajih-kan (menguatkan) bahwa Khadhir tercakup dalam dalil umum ini, terutama ketika menerangkan surat Al-Anbiya`ayat 34. Kata beliau: “Adapun Khadhir kalau dia betul manusia, maka dia masuk dalam keumuman ayat ini, mau tidak mau. Tidak boleh di-takhshish (dikecualikan) kecuali dengan dalil lain yang shahih. Sedangkan pada asalnya, (takhshish itu) dianggap tidak ada sampai ditemukan dalil yang shahih. Dan tidak disebutkan dalam masalah ini adanya satu dalil shahih yang wajib diterima yang mengecualikannya dari Rasulullah Shallalahu’alaihiwasalam yang ma’shum.” (Qashashul Anbiya` hal. 359)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1. Disebutkan dalam Al-Mughni fi Dhabthi Asma`ir Rijal karya Muhammad bin Thahir Al-Hindi (hal. 93): Khadhir: bisa diucapkan dengan memfathahkan huruf kha atau mengkasrahkannya, dan mensukun huruf dhadh (yakni Khadhr atau Khadhir, ed) atau memfathahkannya (yakni Khadhar atau Khidhar, ed) atau mengkasrahkannya (Khadhir atau Khidhir, ed)
2. Dinukil secara ringkas dari Fathul Bari (1/221).
3. Terputusnya dua rawi yang berurutan dalam satu sanad hadits, wallahu a’lam.
4. Dinukil dari Adhwa`ul Bayan, Asy-Syinqithi (4/136).
5. Ada yang mengatakan tempat yang kering tidak ada tumbuhan di atasnya (Adhwa`ul Bayan 4/136).
6. Adhwa`ul Bayan (4/122).
7. Al-Qur`an surat Al-Isra` ayat 15.
8. Khadhir mengatakan hal itu karena dia belum mengenal Musa ‘Alaihisalam. Sementara, ucapan salam di negeri itu tidak dikenal, mungkin karena ucapan tahiyat (penghormatan) mereka bukan ucapan salam, atau karena negeri itu negeri kafir. Wallahu a’lam. (lihat Fathul Bari, 1/290, ed)
9. Diringkas dari Adhwa`ul Bayan Asy-Syaikh Asy-Syinqithi t, 4/123.
10. Menurut pentahqiq Tafsir Al-Qurthubi (11/44) cet. Darul Kitab Al-Arabi, riwayat ini palsu. Wallahu a’lam, pen.
11. Pada konteks nafi (peniadaan). (ed)
12. HR. Muslim dalam Kitabul Jihad wa Siyar (no 58).
13. Alasannya, ditinjau dari sisi bahasa: ”Karena fi’l menggantikan mashdar dan waktu menurut ahli nahwu. Juga menggantikan mashdar dan nisbah serta waktu, menurut sejumlah besar ahli balaghah. Adapun mashdar, tersimpan dalam pengertian balik kalimat ini menurut ijma’ lalu didominasi oleh nafi kemudian ditakwilkan kepada bentuk nakirah dalam susunan kalimat nafi, yang menunjukkan keumuman.” (Adhwa`ul Bayan, 4/165, cet. ‘Alamul Kutub, Beirut.)
14. Konteks seperti dalam hadits ini, atau seperti dalam firman Allah (Al-Isra`: 62), maknanya adalah atau (kabarkanlah kepadaku). (ed)
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
sumber: asysyariah.com
No comment yet, add your voice below!