Skip to content

Surga dan Neraka Kekal

Kesesatan sudah kian beragam dan tak henti membiak. Di samping ada pihak yang mengingkari surga dan neraka, ada juga pihak yang tak memercayai kekekalan keduanya. Padahal, petunjuk telah diungkap sedemikian gamblangnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Lantas, dicampakkan ke manakah keimanan?

Saat kaku merambah badan, napas mendesak kerongkongan, sakratulmaut ada di hadapan; kala itu akan ada perpisahan, berpisah dari dunia yang selama ini didambakan. Dia akan segera menghadap Rabb yang telah menciptakan. Mempertanggungjawabkan segenap perbuatan semasa roh masih dikandung badan.

Sungguh beruntung orang yang beriman lagi berbuat kebajikan. Duhai, sungguh celaka orang yang tiada beriman, berbuat kemungkaran, dan berpaling dari kebenaran. Hari itu yang tersisa hanyalah penyesalan. Andai Allah subhanahu wa ta’ala memberi lagi kehidupan, tentu dia akan bersegera beramal kebajikan dan menumpuk setinggi mungkin amalan. Namun, penyesalan hanyalah tinggal penyesalan.

Semestinya tumbuh kesadaran kala ia merenungi bahwa dunia ini hanya sebatas tempat persinggahan. Bagai pengelana yang berteduh di bawah pepohonan; rehat sejenak, lalu melanjutkan perjalanan.

Dunia hanya sebuah persinggahan. Tujuan akhir adalah kampung akhirat nan diliputi keabadian. Karena itu, taburilah hidup ini dengan amal saleh, agar tak berakhir dengan penyesalan. Sungguh, mengenai hal ini, manusia telah banyak diingatkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kalian akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (al-Anbiya: 35)

“Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), ‘Siapa yang dapat menyembuhkan?’ Dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau.” (al-Qiyamah: 26—30)

“Pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.’ Maka pada hari itu tidak ada seorang pun yang mengazab seperti azab-Nya (yang adil), dan tidak ada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (al-Fajr: 23—26)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun telah mengingatkan,

“Apa urusanku dengan dunia? Keberadaanku di dunia ini hanyalah seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, kemudian meninggalkannya.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim; dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ ash-Shagir wa Ziyadatuhu, no. 5669)

Sungguh, betapa teguhnya para sahabat memegang agama. Upaya untuk senantiasa menyuburkan As-Sunnah tetap ada walaupun jasad telah terbujur tanpa nyawa. Ini adalah bentuk penjagaan diri dari siksa api neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Ya, upaya untuk memelihara diri dan keluarga dari api neraka tetap dilakukan walau ajal telah tiba. Dari Amr bin Sa’d bin Abi Waqqash, sungguh ayahnya telah menyampaikan pesan, saat terbaring oleh sakit yang mengantarkan pada kematiannya,

“Buatkanlah liang lahat untukku. Letakkanlah sebuah batu bata saja (di atas pusara/makam), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Riwayat Muslim dan al-Baihaqi, 3/407, serta selain keduanya)

Diriwayatkan pula dari Abi Burdah radhiallahu anhu, dia berkata,

“Abu Musa radhiallahu anhu telah memberikan wasiat ketika tanda-tanda kematian menghampirinya. Dia berpesan,

‘Jika kalian membawa jenazahku, lakukanlah dengan berjalan cepat. Jangan kalian ikuti (jenazah)ku dengan bara dupa. Jangan ada pembatas (pemisah) antara aku (jasad) dan tanah pada liang lahat. Jangan jadikan kuburanku sebagai bangunan.

Saksikanlah, sesungguhnya aku berlepas diri dari setiap wanita yang mencukur rambut kepalanya (saat tertimpa musibah), wanita yang berteriak-teriak seraya memukul-mukul wajahnya (saat ditimpa musibah kematian), dan wanita yang merobek pakaiannya (kala mendapat musibah kematian).’

Mereka pun bertanya, ‘Apakah engkau pernah mendengar hal ini (dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam)?’ Abu Musa radhiallahu anhu menjawab, ‘Ya, (aku telah mendengarnya) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.’” (HR. Ahmad 4/397, al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah; dengan sanad hasan)

Hudzaifah radhiallahu anhu berkata, “Apabila aku mati, jangan kalian umumkan (kematianku) kepada siapa pun. Sebab, aku khawatir akan terjatuh pada perbuatan menyebarluaskan berita kematian (yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang perbuatan an-na’yu (menyebarkan berita kematian dengan cara jahiliah).”[1] (HR. at-Tirmidzi 2/129. Lihat Ahkamul Janaiz wa Bida’uha, hlm. 17—18, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Demikianlah sikap para sahabat dalam menjaga Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Keinginan yang kuat untuk senantiasa berada di atas al-haq, tak semata saat mereka masih hidup. Namun, keinginan itu pun selalu diupayakan untuk tetap hidup walaupun dirinya telah wafat. Kematian tak menjadikan As-Sunnah ikut mati, bahkan ia terus berdenyut hidup.

Maka dari itu, keadaan pusara mereka menjadi bukti betapa As-Sunnah itu tetap melekat kuat. Pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar tetap berada di atas As-Sunnah, sedemikian tertanam kukuh.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menasihati seorang sahabat agar terus-menerus mengamalkan As-Sunnah. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai Abdullah, janganlah kamu menjadi seperti fulan! Dahulu dia biasa mengerjakan shalat malam, kemudian dia meninggalkan amalan shalat malam itu.” (HR. al-Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 185)

Bagi seorang muslim, dunia ini hanyalah ladang amal. Segenap ibadah akan dicurahkan demi menggapai kebahagiaan di akhirat kelak. Apa yang dia lakukan di dunia ini, merupakan investasi bagi kehidupan akhirat. Segenap yang ia miliki, akan diarahkan guna memetik hasil di kampung akhirat.

Jadi, seorang muslim akan melihat kehidupan ini tidak sesempit layaknya ia hanya hidup di dunia semata. Namun, pandangan hidup seorang muslim akan memandang jauh; bahwa umur manusia akan berujung ke alam akhirat.

Oleh karena itu, dunia ini merupakan tempat persinggahan. Dia dipacu untuk bersemangat meraih ampunan dan surga, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Hadid: 21)

Sungguh, seseorang yang memiliki keimanan yang kuat kepada Hari Akhir, akan membuat perilaku dan sikapnya menjadi baik. Dia akan senantiasa berupaya menaati perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam karena semuanya akan dipertanggungjawabkan di Hari Akhir kelak.

Seseorang yang terikat dengan segala peraturan yang dibuat oleh manusia, tidak akan bisa merasakan hal tersebut. Segenap undang-undang dan peraturan yang dibuat manusia tak akan memberikan pengaruh dalam pembentukan perilaku dan sikap mental hidup manusia. Maka dari itu, akan terlihat jelas perbedaan antara aturan hidup manusia yang ditata berdasarkan akal pikiran, dan aturan yang berlandaskan wahyu.

Sebab, ketika seseorang menjalankan apa yang telah diwahyukan melalui Rasul-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, perbuatannya akan selalu dilandasi oleh keimanan. Dia meyakini, dengan keimanannya, bahwa apa yang dilakukannya merupakan amal kebaikan yang akan mendapat balasan di Hari Akhir. Dia menyadari bahwa dunia adalah ladang akhirat. Oleh sebab itu, dia akan mengumpulkan bekal ketakwaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (al-Baqarah: 197)

Berbeda dengan manusia yang lalai dan tidak mengimani adanya Hari Akhir; pikirannya hanya terbatas pada dunia. Dia begitu semangat untuk menumpuk harta kekayaan dan bersenang-senang dengannya. Tolok ukurnya hanya dunia. Umurnya dihabiskan demi mengejar ambisi dunianya. Tak ada keinginan untuk beribadah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Tetapi manusia hendak berbuat maksiat terus-menerus. Dia bertanya, ‘Kapankah Hari Kiamat itu?’” (al-Qiyamah: 5—6)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), ‘Hidup hanyalah di dunia ini, dan kita tidak akan dibangkitkan.’” (al-An’am: 29)

Betapa dangkal pikiran seseorang yang tak mengimani Hari Akhir. Kebodohan telah menguasai dirinya sehingga ia tak mampu lagi melepas belenggu dunia. Dirinya tertipu dengan dunia. Dirinya mengira bahwa ia tak akan dikembalikan kepada Yang Maha Pencipta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Maka apakah kalian mengira, bahwa Kami menciptakan kalian main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mu’minun: 115)

Ada sekelompok manusia pemuja dunia yang begitu semangat untuk hidup. Mereka seakan tak akan mati; dan mereka amat rakus untuk mendapatkan dunia yang sejatinya fana. Sikap hidup semacam ini muncul karena hati yang hampa dari keimanan kepada Hari Akhir. Dia melalaikan pertemuan di Hari Kebangkitan; saat manusia dibangkitkan dari kuburnya dan dikumpulkan di Padang Mahsyar, dihitung seluruh amalannya, dan dimintai pertanggungjawaban atas segenap perbuatannya di dunia.

Manusia amat rakus pada dunia; berambisi untuk hidup seribu tahun lagi, padahal hidup nan panjang tidak akan bisa menyelamatkannya dari siksa. Semua ini lantaran dia mengingkari Hari Akhir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 96)

Ayat ini berkaitan dengan orang-orang musyrik yang tidak mengharapkan kebangkitan setelah kematian. Mereka menginginkan kehidupan yang panjang. Adapun orang Yahudi, mereka telah mengetahui kehinaan yang akan menimpa mereka di akhirat lantaran apa yang mereka lakukan terhadap ilmu yang dimilikinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/184. Lihat Asyratu as-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hlm. 31—32)

Termasuk keyakinan Ahlus Sunnah adalah mengimani surga dan neraka. Keduanya adalah makhluk yang tidak akan lenyap selama-lamanya, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah, bahwa Ahlus Sunnah bersaksi dan meyakini bahwa surga dan neraka adalah makhluk. Keduanya kekal dan tidak akan lenyap selama-lamanya.

Penghuni surga tidak akan keluar dari surga selama-lamanya. Demikian pula penghuni neraka; mereka adalah penghuninya dan mereka diciptakan untuk menghuninya, mereka tidak akan keluar dari neraka selama-lamanya.

Pada hari itu, didatangkanlah kematian (maut), lalu disembelih di atas dinding batas antara surga dan neraka. Lantas, ada yang menyeru, “Wahai penghuni surga yang kekal dan tidak akan mati! Wahai penghuni neraka yang kekal dan tidak akan mati!” Berdasarkan kabar yang sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (Aqidatu as-Salaf wa Ashabil Hadits, hlm. 77)

Berkaitan dengan keyakinan Ahlus Sunnah di atas, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menjelaskan,

“Demikianlah keyakinan Ahlus Sunnah yang membedakan mereka dengan para pelaku kesesatan. Sesungguhnya Ahlus Sunnah mengimani bahwa surga dan neraka adalah makhluk.

Seluruh kelompok sempalan juga meyakini adanya surga dan neraka. Namun, Mu’tazilah, dengan akal-akal mereka yang rusak, menyatakan bahwa surga dan neraka hingga kini belum diciptakan. Sebab, apabila keduanya telah diciptakan di dunia sebelum adanya (hari) balasan dengan surga atau neraka, tentu ini adalah hal yang sia-sia. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka!”

Adapun dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah perihal surga dan neraka adalah makhluk, jumlahnya cukup banyak. Dari Al-Qur’an, Allah azza wa jalla berfirman mengenai neraka, saat menantang orang-orang kafir untuk membuat sesuatu yang semisal dengan Al-Qur’an,

“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (al-Baqarah: 24)

Penggalan ayat أُعِدَّتۡ yang bermakna ‘sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakannya’, maka berarti ia telah ada.

Dalil dari hadits yang menunjukkan bahwa surga dan neraka telah ada, di antaranya adalah ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunda sejenak pelaksanaan waktu shalat hingga cuaca teduh; waktu itu cuaca dalam keadaan panas menyengat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila cuaca panas menyengat, hendaklah kalian tunda sejenak waktu shalat hingga teduh; karena sesungguhnya panas yang menyengat itu berasal dari uap Jahannam.

Neraka mengadu kepada Rabbnya seraya berkata, ‘Wahai Rabb, sebagian tubuhku telah memakan sebagian yang lain.’ Kemudian Allah memberikan izin kepadanya dengan dua napas (embusan). Napas pada musim dingin dan napas pada musim panas.

Maka dari itu, kalian akan merasakan panas yang menyengat saat musim panas, dan kalian akan merasakan hawa dingin yang menusuk saat musim dingin.” (HR. al-Bukhari no. 573 dan Muslim no. 617, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dengan demikian, panas yang amat menyengat itu berasal dari uap neraka karena ia memang telah ada. Begitu pula hawa dingin yang menusuk yang berasal dari dinginnya (neraka), karena neraka itu memang telah ada.

Dalil lain yang menunjukkan surga dan neraka adalah makhluk yang telah berwujud (ada), di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal.” (an-Najm: 13—15)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melihat Jibril di Sidratul Muntaha; di dekatnya ada surga tempat tinggal. Hal itu menunjukkan keberadaan surga secara nyata.

Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan kekekalan penghuni surga dan neraka juga cukup banyak. Yang dimaksud dengan khuluduhuma adalah kekekalan keduanya. Keduanya senantiasa ada dan tidak akan lenyap. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayinah: 8)

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menjadi dalil kekalnya neraka,

“Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”

Maknanya, yaitu akan selalu dan terus (ada), tidak hilang ataupun binasa. Surga dan neraka. Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (al-Jin: 23)

Juga firman-Nya,

“Selanjutnya dia di sana tidak mati dan tidak (pula) hidup.” (al-A’la: 13)

Firman-Nya,

“Tidak diringankan (azab) itu dari mereka, dan mereka berputus asa di dalamnya.” (az-Zukhruf: 75)

Maknanya, tidak terputus.

Firman-Nya pula,

“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka yang menjadi penyesalan mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (al-Baqarah: 167)

Maksud ayat di atas, yakni mereka akan terus berada di neraka. Ini adalah dalil atas kekalnya (neraka) dan bahwa ia akan terus ada. Sementara itu, dalil dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah,

“Apabila penduduk surga telah masuk surga dan penduduk neraka telah masuk neraka, didatangkanlah kematian (maut) hingga ia berada di antara surga dan neraka. Kemudian ia (kematian) disembelih.

Lantas ada yang menyeru, ‘Wahai penghuni surga, tak ada lagi kematian! Wahai penghuni neraka, tak ada lagi kematian!’

Akhirnya, kegembiraan penghuni surga semakin bertambah. Sebaliknya, kesedihan penghuni neraka semakin menjadi.” (HR. al-Bukhari no. 6548 dan Muslim no. 2850, dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma)

Inti dari penjelasan tersebut adalah bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah berbeda dengan kelompok sesat yang ada. Ahlus Sunnah meyakini dan bersaksi bahwa surga dan neraka itu makhluk. Ini masalah (pertama).

Adapun masalah kedua, sesungguhnya surga dan neraka tidak akan binasa (kekal), sementara kelompok Jahmiyah menyatakan bahwa surga dan neraka akan musnah (tidak kekal).

Mengenai keyakinan dua perkara ini (surga dan neraka), kelompok sesat ini telah mendustakan Kitabullah, yang tidak mengandung kebatilan sedikit pun. Dengan keyakinan mereka tersebut, berarti mereka juga telah mendustakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menetapkan bahwa penghuni surga—yang mereka adalah penghuninya—tidak akan keluar dari surga. Demikian pula penghuni neraka—yang mereka akan menetap di dalamnya, yang tidak akan keluar dari neraka. Surga dan neraka akan senantiasa ada (terus-menerus ada).

Demikian pula azab (siksa) terhadap orang-orang kafir, hal itu juga berlangsung terus-menerus. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka berputus asa di dalamnya.” (az-Zukhruf: 75)

Dengan demikian, kebenaran tidak akan tersamarkan lagi dengan kebatilan, dengan dipaparkannya berbagai nas Al-Kitab dan As-Sunnah. (Syarhu Aqidah as-Salaf Ashabi al-Hadits, Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al-Madkhali hafizhahullah, hlm. 164—166)

Beriman kepada Hari Akhir merupakan perkara yang sangat mendasar bagi seorang muslim. Mengingkarinya berarti akan menjatuhkannya pada kekafiran. Di dalam al-Qur’an, ada banyak sekali ayat yang mengaitkan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan keimanan kepada Hari Akhir.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan para nabi.” (al-Baqarah: 177)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala pula,

“Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (ath-Thalaq: 2)

Adapun dalam hadits, seperti hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berbicara yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 75)

Beriman kepada Hari Akhir meliputi keimanan kepada Hari Kiamat, Hari Kebangkitan, hari dikumpulkannya seluruh makhluk oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana pada penciptaan mereka yang pertama kali, mengumpulkan mereka seluruhnya dari awal hingga akhir di tempat yang satu, menghisab amalan mereka, dan memberikan kitab-kitab (catatan amal) mereka yang berisi catatan amal mereka di dunia (orang mukmin akan diberi kitab melalui tangan kanan dan orang kafir akan diberi kitab dengan tangan kiri, dari balik punggungnya—wal iyadzu billah—sebagai bentuk penghinaan untuknya).

Selain itu, beberapa hal yang terjadi pada Hari Akhir, seperti timbangan amal, haudh (telaga), ash-shirath (jembatan), surga dan neraka, serta segala peristiwa yang akan terjadi pada Hari Akhir yang telah diberitakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam; maka beriman kepada semua itu adalah rukun. Seorang hamba yang beriman tidak boleh mendustakannya.

Termasuk dalam hal ini, yaitu mengenai perkara setelah kematian, tentang ditetapkannya penghuni surga dan penghuni neraka. Barang siapa mengingkari Hari Kebangkitan, dia telah kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya,

“Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak demikian, demi Rabbku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.’ Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” (at-Taghabun: 7)

Demikian pula orang yang mengingkari berbagai peristiwa di akhirat yang telah pasti, sungguh dia telah kafir. Barang siapa mengingkari surga dan neraka, mengingkari adanya hisab, mengingkari pemberian lembaran-lembaran (catatan amal), atau mengingkari adanya timbangan amal; dia telah kafir.

Maka dari itu, konsekuensi beriman kepada Hari Akhir adalah mengimani setiap peristiwa akhirat yang telah sahih dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. (Durus min al-Qur’an al-Karim, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hlm. 139—140)

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki [1] Kalangan Arab jahiliah; apabila mereka ditimpa musibah kematian, salah seorang dari mereka akan menaiki kudanya, kemudian berjalan seraya mengumumkan kematian seseorang kepada khalayak ramai yang dilaluinya. (Lihat Tuhfatu al-Ahwadzi, 4/34—35, terkait dengan hadits Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu anhu di atas)

Itulah bentuk perbuatan an-na’yu yang dikenal di kalangan orang-orang jahiliah, wallahu a’lam.

Adapun sekadar memberi tahu agar orang lain mengurusi jenazah atau menyalatinya, atau memberi tahu kerabat dan teman tanpa cara-cara yang dilakukan di masa jahiliah, hal ini diperbolehkan.

asysyariah.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh