Skip to content
Tauhid Uluhiah Pendahuluan Segala puji bagi Allah Ta’alla, Kita memuji, meminta pertolongan dan ampunan kepada -Nya. Juga meminta perlindung dari keburukan jiwa kita dan keburukan amal kita. Siapa yang Allah Ta’alla beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan -Nya, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk pada nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Muhamad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau dan keluarganya sebanyak-banyaknya. Bukan suatu yang tersembunyi bagi mereka yang memiliki sedikit saja perhatian mengenai ilmu aqidah akan pentingnya tauhid uluhiah. Ia adalah tauhid ibadah. Dan ibadah merupakan puncak keridaan dan kecintaan Allah –azza wajalla-. Ia adalah puncak teragung dan tujuan tertinggi. Karenanyalah diciptakan surga dan neraka, ditegakkan jihad antara orang-orang beriman dan kafir, diturunkan kitab-kitab suci dan para rasul. Secara bahasa Tauhid uluhiah adalah dakwah (ajakan) para nabi dan rasul, juga yang mengikuti jejak mereka dari para ulama, dai dan orang-orang saleh. Dalam pembahasan kali ini Tauhid uluhiah akan mencakup pembahasan berikut:
  • Pengertian tauhid uluhiah.
  • Nama-nama lain tauhid uluhiah.
  • Pentingnya tauhid uluhiah.
  • Dalil-dalil dan rukun-rukunnya.
  • Pengertian ibadah secara etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah).
  • Beda antara ibadah dan tauhid ibadah.
  • Kapan suatu ibadah diterima?
  • Pentingnya ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan).
  • Rukun ibadah.
  • Mana yang lebih dominan, harap atau takut?
  • Takut wajib dan takut mustahab (disukai).
  • Macam-macam ibadah.
  • Penghambaan makhluk kepada Allah –azza wajalla-.
  • Keutamaan-keutamaan tauhid uluhiah.
  • Penyebab tumbuhnya tauhid di dalam hati.
  • Strategi dakwah kepada tauhid uluhiah di dalam al-Quran al-Karim.
  • Hubungan antara tauhid uluhiah dan tauhid rububiah di dalam al-Quran al-Karim.
  • Apa lawan dari tauhid uluhiah?
  • Kelompok yang menyekutukan tauhid uluhiah.
Itulah yang dapat dikumpulkan dan relevansi dalam bab ini. Saya memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan nama-nama -Nya yang baik dan sifat-sifat -Nya yang tinggi, memberi manfaat lembaran-lembaran ini dan menjadikannya ikhlas semata untuk ridlo AllahShubhanahu wa ta’alla yang Maha Mulia. Pengertian Tauhid uluhiah Para ulama memberi pengertian tauhid uluhiah dengan pengertian yang hampir berdekatan. Hanya sebagiannya ada yang lebih panjang dari yang lain. Di antara pengertian itu, sebagai berikut:
  1. Mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam perbuatan-perbuatan hamba.
  2. Mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam beribadah.
  3. Mengesakan Allah -ta’ala- dalam segala macam ibadah: lahir, batin, ucapan dan amalan, serta meniadakan segala peribadatan kepada selain Allah -ta’ala-, apapun wujudnya.
  4. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di -rahimahullah- memberi pengertian lengkap, menyebutkan batasan pengertian ini, tafsir dan rukunnya dengan mengatakan: “Adapun batasan, tafsir dan rukunnya, yaitu mengetahui dan mengakui dengan keilmuan dan yakin bahwa Allah Shubhanahu wa ta’allaadalah Tuhan Esa yang diibadahi secara hakiki dan bahwa sifat uluhiah (ketuhanan) dan maknanya tidak terdapat pada seorang pun dari makhluk dan tidak pantas disandang kecuali oleh Allah -ta’ala-. Jika mengetahui dan mengakui hal itu dengan sebenarnya, akan mengesakan -Nya dalam segala ibadahnya, yang lahir dan batin serta menegakkan syariat Islam lahiriah, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar makruf nahi munkar, berbakti padaorang tua, menyambung tali kekeluargaan serta menunaikan hak-hak Allah Shubhanahu wa ta’alla dan makhluk.Juga menegakkan pokok-pokok iman: beriman kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat serta menyandarkan takdir baik dan buruk hanya pada AllahShubhanahu wa ta’alla.Tidak memaksudkan dari semua ibadahnya selain rida Tuhan dan mengharap pahala, sambil meneladani Rasulullah -Salallahu ‘alaihi wasallam-.Aqidahnya sesuai dengan yang ditunjukkan oleh al-Quran dan Hadis. Amal perbuatannya sebagaimana syariat Allah dan Rasul-Nya. Akhlak dan adabnya meneladani Nabi Muhammad -Salallahu ‘alaihi wasallam- dalam arahan, petunjuk dan segala keadaannya.” [1]
Syaikh Hafidz al-Hukami -rahimahullah- berkata mengenai hal ini di dalam kitab Manzumah Sulamul Wusul Ila ‘Ilmil Usul Fit Tauhid : Ini dan yang kedua dari macam tauhid Mengesakan Tuhan Arsy dari sekutu Engkau mengibadahi Tuhan yang esa Mengakui akan hak -Nya dan tidak mengingkari Nama-Nama Lain Dari Tauhid uluhiah[2] Tauhid uluhiah dinamai dengan berbagai nama, di antaranya:
  1. Tauhid uluhiah, sebagaimana yang telah disampaikan. Dinamai demikian dari perspektif penyandarannya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla atau perspektif pelaku tauhid. Karena ia dibangun di atas ikhlas dalam menuhankan dan kecintaan yang sangat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata. Dan itu berkonsekuensi ikhlas dalam beribadah.
  2. Tauhid Ibadah. Dari perspektif penyandarannya kepada pelaku tauhid yaitu hamba dan yang dikandungnya dari mengiklaskan ibadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata.
  3. Tauhid Irodah (tauhid kehendak), karena ikhlas yang dikandungnya. Dinamakan juga dengan Tauhid Iradah wal Murad (tauhid kehendak dan tujuan) yang didasari atas menginginkan ridlo Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam seluruh amal.
  4. Tauhidul Qosd (tauhid maksud). Karena didasari dengan mengikhlaskan maksud yang berkonsekuensi ikhlas untuk Allah semata.
  5. At-Tauhid at-Talabi (tauhid permintaan), karena kandungan permintaan dan doa hamba kepada -Nya.
  6. At-Tauhid al-Fi’li (tauhid perbuatan) karena kandungan perbuatan hati dan anggota tubuh.
  7. Tauhid Amal, karena dibangun di atas mengikhlaskan amal kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata.
Urgensi Tauhid uluhiah Tauhid uluhiah merupakan jenis tauhid terpenting. Demi merealisasikannya, diutus para rasul, diturunkan kitab-kitab suci, dihunuskan pedang jihad dan dibedakan antara mukmin dan kafir.Syaikh Hafidz al-Hukami menyebutkan urgensi tauhid uluhiah dalam manzumah syairnya: Yang karenanya Tuhan utus Para rasul-Nya untuk menyeru pertama kali kepadanya Karenanya diturunkan kitab yang menjelaskan Dan membedakan yang berbeda Allah menugasi rasul pilihan Memerangi siapa yang berpaling dan menolaknya Hingga agama murni untuk -Nya Yang tersembunyi, nampak, detailnya dan jahilnya Demikianlah umatnya telah ditugasi Di dalam al-Quran hal itu dipaparkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata menjelaskan pentingnya tauhid ibadah, “Hal itu karena ibadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah tujuan yang dicintai dan diridai -Nya, yang untuk itulah diciptakan makluk. Sebagaimana firman -Nya, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS.adz-Dzariyat:56) Dan dengannya diutus semua rasul, sebagaimana ucapan Nabi Nuh dalam firman Allah: “…Ia berkata, ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’…” (QS.al-A’raf:59) –sampai pada perkatannya- : Dan menjadikannya karakteristik para malaikat dan nabi. Firman -Nya, “Dan kepunyaan–Nya lah segala yang di langit, di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS.al-Anbiya:19-20) Allah Shubhanahu wa ta’alla mencela mereka yang menyombongkan diri. Firman -Nya, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah -Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” (QS.Ghafir:60) Juga medeskripsikan hamba-Nya dengan penghambaan kepada -Nya. Firman -Nya, “(Yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah, yang mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS.al-Insan:6) Dan firman -Nya, “Dan hamba-hamba Tuhan yang Mahapenyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka ucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS.al-Furqan:63)[3] Dalam riwayat yang lain beliau -rahimahullah- juga menyebutkan, “Ketahuilah bahwa kefakiran hamba terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam mengibadahi -Nya tanpa menyekutukan -Nya dengan sesuatu pun, tidak bisa diserupakan dengan apa pun, namun dari sebagian sisi seperti kebutuhan jasad terhadap makan dan minum, meskipun di antara keduanya amat banyak perbedaan. Sesungguhnya hakikat hamba, hati dan rohnya tidak akan baik kecuali dengan menuhankan Allah Shubhanahu wa ta’alla yang tidak ada tuhan selain -Dia. Tidak akan tenang di dunia kecuali dengan mengingat -Nya. -Dia akan menemui siapa yang berupaya sungguh-sungguh menuju -Nya. Mau tidak mau sudah pasti akan menemui -Nya. Dan tidak ada kebaikan kecuali dengan bertemu dengan -Nya. Jika hamba mendapat kelezatan dan kesenangan dari selain AllahShubhanahu wa ta’alla, itu tidak akan abadi, hanya berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari seorang ke orang yang lain, dan nikmat yang dirasakan hanya pada sebagian waktu dan keadaan tertentu. Tak jarang yang menikmati dan mencicipi kelezatan tidak merasakan kenikmatan dan kelezatan tersebut, bahkan hanya akan menyakiti saja. Keberadaan kelezatan itu justru memudaratkannya. Adapun dari Tuhan-nya, dia akan mendapatkannya dalam segala kondisi dan setiap saat. Dimana pun berada (keagungan) Tuhan selalu bersamanya. Karenanya imam kita Nabi Ibrahim al-Khalil mengatakan, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”[4] Dan dalam ayat yang paling agung[5] di dalam al-Quran menyebutkan: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan -Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)…” (QS.al-Baqarah:255)[6] Beliau -rahimahullah- juga berkata, “Tidak ada di alam raya ini yang dapat mengayomi, menenangkan dan beroleh kenikmatan saat bertawajuh kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’allayang Maha Suci. Siapa yang beribadah kepada selain -Nya, meskipun mencintainya, mendapat kasih dunia dan merasakan sebersit kelezatan, namun itu merusaknya, bahkan kerusakannya lebih besar dari nikmat makanan beracun.”[7]Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwa siapa saja yang mencintai sesuatu selain AllahShubhanahu wa ta’alla, pasti disakiti oleh yang dicintainya, dan itu menjadi sebab penyiksaannya.”[8] Dan berkata, “Siapa yang mencintai sesuatu selain AllahShubhanahu wa ta’alla, penderitaan akan didapatinya, saat masih bersamanya atau tidak. Jika tidak bersamanya, tersiksa dengan perpisahan dan kepiluan. Jika bersamanya, rasa sakit yang dialami akan lebih banyak ketimbang kenikmatannya. Hal ini sudah maklum dengan realita. Setiap yang mencintai sesuatu yang bukan karena AllahShubhanahu wa ta’alla, kerugiannya lebih banyak dari pada manfaatnya. Segala sesuatu menjadi bencana baginya. Berbeda dengan apa-apa yang karena Allah Shubhanahu wa ta’alla, itu adalah kesempurnaan dan keindahan bagi hamba. Makna ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad -Salallahu ‘alaihi wasallam-, bahwa beliau bersabda, “Dunia terlaknat dan terlaknat apa-apa yang ada padanya, kecuali zikrullah dan ketaatan.” [9] Syaikh Ibnu Sa’di berkata menjelaskan pentingnya macam tauhid ini, “Tauhid ini adalah asal yang paling agung secara mutlak, paling lengkap, paling utama, dan paling wajib, demi memperbaiki manusia. Karenanyalah jin, manusia dan makluk lain diciptakan. Diwajibkan untuk menegakkannyasyariat. Keberadaannya membuat baik dan ketiadaannya menjadikan rusak. Seluruh ayat-ayat al-Quran berisi perintah untuk menunaikan hak tauhid ini, melarang dari kebalikannya, menegakkan hujah atasnya, menjelaskan mengenai balasan bagi pelakunya di dunia dan akhirat atau mengklasifikasi antara mereka dengan orang-orang musyrik.”[10] Yang juga menunjukkan akan pentingnya tauhid uluhiah, bahwa diterimanya amal bergantung padanya. Ia mengandung seluruh macam (jenis) tauhid dan semuanya masuk ke dalamnya. Siapa yang meyakininya berarti dia telah meyakini juga tauhid rububiah dan asma wasifat. Siapa yang mencukupkan dengan selainnya, belum masuk ke dalam agama Islam. Dalil-Dalil Tahuhid Uluhiah Nampak sekali dalil-dalil dari al-Quran dan Hadis, dan beragam indikasi mengenai wajibnya mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam ibadah. Terkadang datang dengan nas al-Quran yang memerintahkan untuk mentauhidkan (mengesakan) -Nya dengan perintah langsung, terkadang datang menjelaskan tujuan penciptaan jin dan manusia, terkadang datang menjelaskan tujuan diutusnya rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci, terkadang datang sebagai peringatan menyelisihinya, terkadang datang menjelaskan pahala mereka yang mengamalkannya di dunia dan akhirat, terkadang menjelaskan balasan bagi yang meninggalkan, tidak memedulikan, menjaga jarak dan memeranginya. Di antara dalil-dalil al-Quran dan Hadis mengenai adanya pengesaan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam beribadah. Firman Allah -ta’ala-, “Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS.al-Baqarah:21) Firman –Nya: “…Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya…” (QS.Hud:123) Firman -Nya: “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan, Pemilik rumah ini (Ka’bah).” (QS.Quraisy:3) Firman -Nya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun…” (QS.an-Nisa:36) Firman -Nya: “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhan-mu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan -Nya dengan sesuatu pun…” (QS.al-An’am:151) Firman -Nya: “Dan Tuhan-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain -Dia…” (QS.al-Isra’:23) Firman -Nya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada -Ku.” (QS.ad-Dzariat:56) Firman -Nya: “…dan janganlah kamu mengadakan Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS.al-Isra’:39) Firman -Nya: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (QS.al-Fatihah:5) Firman -Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (QS.al-Anbiya’:25) Firman -Nya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’…” (QS.an-Nahl:36) Dari Hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan selain keduanya, dari Mu’adz Ibn Jabal -radiallahu ‘anhu-, dia berkata, “Aku dibonceng Nabi Muhammad -Salallahu ‘alaihi wasallam- naik keledai, beliau berkata, ‘Wahai Mu’adz, apakah engkau tahu apa hak Allah Shubhanahu wa ta’alla atas hamba dan apa hak hamba atas -Nya? Aku jawab, ‘Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasulnya lebih mengetahui.’ Nabi bersabda, ‘Hak Allah Shubhanahu wa ta’alla atas hamba adalah mengibadahi -Nya dan tidak menyekutukan -Nya dengan sesuatu pun, sedangkan hak hamba atas Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah tidak mengazab siapa pun yang tidak menyekutukan -Nya dengan sesuatu pun.’ Aku katakan, “Tidakkah aku sampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Beliau menjawab, ‘Jangan beritahu, (khawatir) mereka akan bergantung kepadanya.'”[11] Rukun (pilar) Tauhid uluhiah[12] Tauhid uluhiah tegak dengan tiga rukun (pilar), yaitu:
  1. Tauhidul Ikhlas (tauhid keiklasan). Dinamakan juga tauhidul murad (mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam kehendak). Tidak semestinya seorang hamba menghendaki selain satu kehandak saja, yaitu Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak tercampuri dengan kehendak lainnya.
  2. Tauhidus Shidq (mengesakan ketulusan). Dinamakan juga tauhid irodatul ‘abdi (mengesakan Allah dalam kehendak hamba). Yang demikian itu dengan mencurahkan upaya dan energinya dalam mengibadahi Tuhan-nya.
  3. Tauhidut Thariq (mengesakan cara), yaitu mengikuti Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wasallam-.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata dalam nadham syairnya: “esa”, yaitu Allah. Inilah tauhidul murad (mengesakan dalam maksud). “jadikan satu”, dalam determinasi, ketulusan dan keinginanmu. Inilah tauhidul irodah (mengesakan kehendak). “dalam satu”, meneladani Rasulullah -Salallahu ‘alaihi wasallam- yang merupakan sabil hak dan iman. Inilah tauhidut thariq.[13] Dalil yang menunjukkan akan tiga rukun tersebut banyak sekali. Yang termasuk dalil ikhlas, firman Allah -ta’ala-: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS.al-Bayinah:5) Dalil as-Sidq (ketulusan) firman Allah -ta’ala-: “…padahal jika mereka benar-benar (beriman) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS.Muhamad:21) Firman Allah -ta’ala-: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS.at-Taubah:119) Dalil al-mutaba’ah (meneladani), firman Allah -ta’ala-: “Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian….'” (QS.Ali Imran:31) Siapa yang padanya tergabung tiga hal tersebut,maka ia telah memperoleh segala kesempurnaan, kebahagiaan dan keselamatan. Tidak lengkap kesempurnaan seorang hamba melainkan jika kurang dari salah satunya. Definisi ibadah secara etimologi dan terminologi Definisi ibadah secara etimologi: merendah dan tunduk. Dikatakan unta muabad yakni tunduk. Jalan muabad yakni tertundukkan, ditundukan oleh kaki.Juga perkataan Tharfah Ibn al-Abd dalam karya mualaqnya yang terkenal, medeskripsikan untanya: Berlomba unta pacu dan saling menyusul Langkah demi langkah di atas jalan muabbad [14] Perkataannya: “di atas jalan muabad”, yakni di atas jalan yang tertundukkan karena seringnya dilalui. Definisi ibadah secara terminologi: secara terminologi ibadah didefinisikan dengan banyak definisi:
  1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- mendefinisikan: segala nama yang meliputi apa saja yang dicintai dan diridai AllahShubhanahu wa ta’alla, dari ucapan, amal batin dan lahiriah.
  2. Ibnul Qoyyim mendefinisikan: ibadah adalah kesempurnaan cinta bersama kesempurnaan kepatuhan. Dia menyebutkan dalam an-Nuniah:
Mengibadahi ar-Rahman puncak cintanya Bersama ketundukan hamba-Nya, keduanya merupakan dua kutub [15]
  1. As-Syaikh Ibnu Sa’di -rahimahullah- mendefinisikan dengan banyak definisi, di antaranya:
“Ibadah merupakan roh dan hakikatnya adalah merealisasikan cinta dan kepatuhan kepada AllahShubhanahu wa ta’alla. Kecintaan yang utuh dan kepatuhan yang sempurna kepada -Nya, itulah hakikat ibadah. Manakala ibadah luput dari dua hal itu atau salah satunya, ia bukanlah ibadah. Hakikat ibadah adalah ketundukan dan mengiba kepada -Nya, dan hal itu tidak terjadi kecuali dengan mencintai -Nya dengan kecintaan penuh yang dikuti seluruh kecintaan.[16] Didefinisikan dengan definisi kedua, dengan berkata: ibadah dan penghambaan kepada Allah Shubhanahu wa ta’allaadalah nama yang mencakup segala yang dicintai dan diridai -Nya, dari keyakinan, amal hati dan lahiriah. Segala yang mendekatkan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alladari aksi perbuatan dan meninggalkan adalah ibadah. Karenanya, seorang yang meningalkan maksiat karena Allah Shubhanahu wa ta’allatengah beribadah, mendekat kepada Tuhan-nya dengan aksi itu.[17] Yang perlu diingatkan, bahwa ibadah diungkapkan untuk dua hal:[18]
  1. Pekerjaannya (aktivitas), yang merupakan aksi ibadah.
  2. Objek aksi, yaitu ibadah yang dilakukan atau qurbah (yang dijadikan sarana pendekat).
Contoh: shalat. Aktivitas shalat adalah ibadah, bentuknya perbuatan shalat, dan shalat yang tengah dilakukan itu sendiri ibadah, sarana pendekat.Atas dasar ungkapan kedua, ibadah didefiniskan sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiah, sedang dengan ungkapan pertama didefinisikan menurut definisi kedua dan ketiga.
  1. Adapun definisi keempat yang merupakan definisi Syaikh Ibnu Sa’di, mencakup kedua pengungkapan tersebut, baik aktivitas maupun objeknya.Yang juga menjadi definisi ibadah: ia adalah amal-amal saleh sukarela yang dilakukan untuk Allah -ta’ala- serta mengesakan -Nya dengan hal itu.[19] Definisi ini pun mencakup dua ungkapan di atas.
Beda antara ibadah dan tauhid ibadah Perbedaan keduanya Nampak sekali. Ibadah merupakan objek atau perbuatan, sedangkan tauhidnya adalah penujuan yang hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, tanpa menyekutukan. Kapan suatu ibadah diterima? Ibadah tidak diterima kecuali jika terkandung dua syarat:
  1. Ikhlas untuk AllahShubhanahu wa ta’alla.
  2. Mengikuti tuntunan Rasulullah -Salallahu ‘alaihi wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Kopulasi din atas dua dasar: janganlah kita beribadah selain kepada Allah Shubhanahu wa ta’alladan jangan mengibadahinya kecuali dengan yang disyariatkan. Janganlah kita mengibadahi -Nya dengan bid’ah (yang dibuat-buat), sebagaimana firman Allah -ta’ala-, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS.al-Kahfi:110) Dan itu merupakan realisai syahadatian: persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah Shubhanahu wa ta’alladan persaksian bahwa Muhamad adalah Rasul utusan -Nya. Pada yang pertama: agar jangan beribadah kecuali hanya kepada -Nya, sedang kedua: bahwa Muhamad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan sebagai mubalig-Nya. Wajib atas kita membenarkan apa yang dikabarkannya dan mentaati perintahnya.”[20] Siapa yang ingin mengibadahi AllahShubhanahu wa ta’alla, ia harus memenuhi dua syarat tersebut. Lisan halnya mengatakan: “Akan aku lakukan apa pun yang engkau inginkan.”Al-Fudhail Ibn ‘Iyadh -rahimahullah- mengomentari firman Allah -ta’ala-: “…Supaya -Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya….” (QS.al-Mulk:2) Dengan mengatakan, “Jadikan ikhlas dan benar.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud ‘Jadikan ikhlas dan benar?’ Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, tidak diterima. Jika benar tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, sampai menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas dengan menjadikannya hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, sedang benar dengan melakukannya berdasarkan Sunah (Hadis).”[21] Jika tidak terpenuhi kedua syarat tersebut atau salah satunya, ibadah menjadi batal. Penjelasannya dengan permisalan berikut: Jika seseorang shalat untuk selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dan dengan tata cara yang tidak diajaran Rasulullah Shlallahu ‘alaihi wasallam, sungguh ibadahnya tertolak. Mengapa? Karena kedua syaratnya tidak terpenuhi. Demikian juga jika shalat sebagaimana tata cara shalat Rasulullah Shlallahu ‘alaihi wasallam, dengan tata cara yang lengkap, tetapi ditujukan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, sungguh menjadi batal ibadahnya, mengapa? Karena tidak terpenuhinya ikhlas. Allah Shubhanahu wata’ala berfirman: “…seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS.al-An’am:88) Dan firman -Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan -Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki -Nya….” (QS.an-Nisa:48)[22] Demikian juga jika shalat untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, tetapi tidak dengan tata cara yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan membuat tata cara sendiri, batallah ibadahnya. Karena tidak terpenuhinya mengikuti tuntunan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana terdapat dalam hadis mutafak alaih, “Siapa yang mengerjakan amalan yang tidak ada padanya tuntunan kami, maka ia tertolak.”[23] Yakni tidak diterima. Ungkapan jar dan majrur dalam sabdanya “عليه” terkait pada sesuatu yang terhapus yaitu “حاكماً أو مهيمناً” (wewenang atau otoritas). Dalam riwayat hadis yang lain: “Siapa yang membuat-buat pada urusan (agama) kami ini yang bukan dari padanya, maka ia tertolak.”[24] Kedua syarat ini hakikatnya saling berkaitan. Karena sesungguhnya di antara bentuk ikhlas, mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam, dan mengikuti Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan adanya ikhlas. Urgensi ikhlas dan Mutaba’ah (mengikuti tuntunan) Di antara yang menunjukkan urgensi ikhlas dan mutaba’ah, yang merupakan syarat diterimanya ibadah sebagai berikut:
  1. Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada -Nya. Sebagaimana Firman -Nya,
“…dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada -Nya.…” (QS.al-A’raf:29)
  1. Allah Shubhanahu wa ta’alla mengkhususkan diri -Nya dalam pensyariatan dan itu adalah hak -Nya semata. Siapa yang beribadah kepada –Nya dengan sesuatu yang tidak disyariatkanya, maka telah menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam pensyariatan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu agama sebagaiaman yang telah diwasiatkan -Nya kepada Nuh dan yang telah Kami wahyukan kepadamu….” (QS.as-Syuro:13) Dan firman -Nya, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan -Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan -Nya….” (QS.al-An’am:153) Allah mengingkari siapa yang membuat syariat sendiri. Firman Allah ta’ala, “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?…” (QS.as-Syuro:21)
  1. Allah telah menyempurnakan agama untuk kita dan meridainya untuk kita. Sebagaimana Firman -Nya,
“…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat -Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu….” (QS.al-Maidah:3) Bid’ah dalam agama pada hakikatnya pengingkaran terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya dan menuduh agama memiliki kekurangan.
  1. Seandainya manusia dibolehkan beribadah dengan tata cara yang mereka kehendaki, maka setiap orang akan memiliki caranya sendiri-sendiri dalam beribadah, dan kehidupan manusia menjadi neraka tak tertahankan. Persaingan berlaku dan saling menjatuhkan karena adanya perbedaan rasa, yang mengakibatkan perselisihan dan perpecahan. Ittiba (mengikuti tuntunan) dan meninggalkan bid’ah merupakan sebab terbesar kekompakan dan persatuan.
  2. Seandainya manusia dibolehkan mengibadahi Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan tata cara semaunya, itu berarti manusia tidak membutuhkan Rasul. Ini tidak dikatakan oleh orang berakal.[25]
Rukun Ibadah Ibadah memiliki tiga rukun (pilar):
  1. Cinta
  2. Takut
  3. Harap
Sebagian ahli ilmu menjadikannya empat: cinta, pengagungan, takut dan harap. Kedua pembagian tersebut tidaklah saling bertentangan. Sesungguhnya harap timbul dari cinta, sehingga seseorang tidaklah berharap kecuali kepada yang dicintai. Demikian pula takut muncul dari pengagungan. Tidaklah seseorang takut kecuali dari sesuatu yang agung. Allah Shubhanahu wa ta’alla memuji pelaku takut dan harap dari para nabi dan rasul. Firman -Nya: “…Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas….” (QS.al-Anbiya:90) Lebih memuji pelakunya dibanding ibadah lain: “(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? …” (QS.az-Zumar:9) Dan firman -Nya: “…dan mengharapkan rahmat -Nya dan takut akan azab -Nya.…” (QS.al-Isra’:57) Dan firman -Nya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan berbagai rezki yang Kami berikan….” (QS.as-Sajadah:16) Sebagaimana perintah Allah ‘Azza wajalla untuk menghadirkan dan mengerjakannya. Firman -Nya: “…dan berdoalah kepada -Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)….” (QS.al-A’raf:56) Demikian itulah ibadah para nabi dan rasul serta hamba-hamba -Nya yang beriman. Maka siapakah lagi yang lebih baik dan lebih mendapat petunjuk dari mereka? Apakah klaim semata bisa diterima? Jawabnya: tidak. Takut dan harap saling berkaitan. Keduanya adalah paket kemenangan mendapat surga dan selamat dari neraka. Jika engkau tanya mukmin yang tidak berzina, padahal bisa melakukannya dengan: “Kenapa kamu tidak berzina?” niscaya akan segera menjawab, “Aku takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan berharap -Dia membalas dengan pahala.” Jika engkau tanya mengapa melakukan shalat, niscaya dia akan menjawab, “Takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan berharap pahala -Nya.” Demikian juga hal lain. Selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, mungkin dicinta tapi tidak ditakuti. Mungkin juga ditakuti tapi tidak dicintai. Sedangkan pada -Nya, tergabung kedua hal itu pada -Nya, ditakuti dan dicintai. Karenanya, seorang mukmin haruslah menggabungkan atara cinta, takut, harap dan pengagungan. Ibadah hanya semata dengan cinta tidaklah cukup dan tidak benar, karena tidak mengandung pengagungan terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak pula takut. Dia hanya mendudukkan Allah Shubhanahu wa ta’alla seperti orang tua dan teman. Tidak berusaha komit menghindari perkara haram, bahkan meremehkannya dengan alasan kekasih tidak akan menyiksa yang dicintainya, sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih -Nya’….” (QS.al-Maidah:18) Dan sebagaimana yang dikatakan ekstremis sufi: “Kami menyembah Allah Shubhanahu wa ta’alla bukan karena takut siksa -Nya, tidak juga mengharap pahala -Nya, tetapi mengibadahi Allah Shubhanahu wa ta’alla Karena cinta kepada -Nya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiah, yang berkata: (Syair): Kucinta Engkau karena dua cinta: Cinta nafsu dan cinta karena Kau layak untuk itu Tentang cinta nafsu, telah membuatku sibuk berzikir Menyebut-nyebut -Mu dibanding yang lain Tentang -Mu yang layak dicinta, Telah tersingkap tirai hingga aku dapat melihat -Mu[26] Juga sebagaimana yang dikatakan Ibnu Arabi: Aku beragama dengan agama cinta, Dengannya aku bertawajuh Cinta adalah agama dan imanku, Dengannya aku berpijak[27] Tidak diragukan bila cara seperti itu tidak benar dan metode cacat yang berefek merugikan. Di antaranya, merasa aman dengan murka Allah Shubhanahu wa ta’alla dan yang berujung pada lepas dari agama. Siapa yang sengaja lalai dan berbuat dosa kemudian mengharap rahmat -Nya tanpa amal, dia tertipu, aspirasi batil (sesat) dan harapan dusta. Demikian pula ibadah semata dengan takut, tanpa cinta dan harap tidaklah sahih. Bahkan merupakan kebatilan dan kerusakan. Itu merupakan metode Khawarij, yang tidak menjadikan ibadah mereka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla diiringi cinta, sehingga tidak mendapati nikmat dalam ibadah, tidak pula berhasrat. Posisi Tuhan bagi mereka seperti posisi penguasa bengis, atau raja zalim. Ini mewariskan putus asa atau harapapan dari rahmat -Nya. Berujung pada kekufuran kepada -Nya dan berburuk sangka kepada -Nya. Rasul -Salallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Allah Azza wajalla berkata, ‘Aku sesuai praduga hambaku kepada -Ku dan aku bersamanya saat mengingat -Ku.'”[28] Dari Jabir Radiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebelum tiga hari kematiannya: “Janganlah kalian mati kecuali dengan berbaik sangka kepada Allah Azza wajall.”[29] Prasangka baik adalah motivasi amal. Ia harus ada tatkala mengharap ijabat doa, diterimanya taubat, ampunan saat beristighfar dan pahala ketika beramal. Namun berprasangka diampuni, diijabat dan diberi pahala sambil terus-terusan berbuat dosa dan lalai dalam beramal bukanlah prasangka baik sama sekali, bahkan itu merupakan kelemahan, kebodohan dan tertipu. Bagi hamba, Allah Shubhanahu wa ta’alla haruslah menjadi yang paling dicintai dibanding apapun yang lain, dan menjadikan -Nya sebagai yang paling agung dari segala sesuatu, yang menuntut rasa takut. Bila tidak demikian, dia akan merasa aman-aman saja. Takut menuntut rasa harap. Bila tidak demikian, akan menjadi putus harapan dan asa. Setiap orang jika takut akan berlari menghindar, kecuali kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Jika engkau takut kepada -Nya, justru berlari mendekat kepada -Nya. Orang yang takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah yang lari mendekat kepada -Nya. Allah ta’ala berfirman, “Maka segeralah berlari kembali kepada (mentaati) Allah….” (QS.adz-Dzariat:50) Terdapat pernyataan yang terkenal dikalangan salaf, yaitu pernyataan mereka: “Siapa yang hanya beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan cinta semata, maka dia adalah zindik. Siapa yang mengibadahi -Nya dengan takut semata, dia adalah haruri (khawarij). Siapa yang mengibadahi -Nya dengan harap semata, maka dia adalah murji’. Dan siapa yang mengibadahi -Nya dengan takut, harap dan cinta, maka dia adalah mukmin muwahid (yang mengesakan Allah).[30] Mana yang lebih ditekankan, harap atau takut?[31] Jawab: ada perbedaan pendapat dalam hal ini, di antaranya:
  1. Ada yang mengatakan: seseorang mestilah lebih menekankan sisi takut, agar hal itu membawanya melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.
  2. Ada yang mengatakan: lebih menekankan sisi harap, agar memiliki motivasi, dan Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam menyukai optimisme.
  3. Ada yang mengatakan: dalam mengerjakan ketaatan lebih menekankan harap, agar memotivasinya untuk beramal. Siapa yang dikaruniai ketaatan, akan dikaruniai kobul (diterimanya amal). Karenanya, sebagian salaf berkata: “Jika engkau diberi taufik untuk berdoa, maka tunggulah ijabatnya, karena -Dia berfirman:
“…Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu….” (QS.Ghafir:60) Dalam kemaksiatan lebih menekankan sisi takut, agar mencegahnya dari perbuatan maksiat. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku.'” (QS.al-An’am:15) Penjelasan ini lebih dekat, tetapi belum sempurna, masih dapat bersinggungan dengan firman Allah ta’ala, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut,…” (QS.al-Mukminum:60)
  1. Ada yang mengatakan: lebih menekankan sisi takut saat sehat dan harap saat sakit.
  2. Ada yang mengatakan: keduanya seperti sayap burung. Seorang mukmin menuju Tuhan-nya dengan dua sayap: harap dan takut. Jika seimbang, akan stabil terbangnya. Jika kurang salah satunya, kurang juga dayanya. Jika tidak ada keduanya saat terbang, maka sedang berada di ujung kebinasaannya.
  3. Ada yang mengatakan: berbeda antara orang ke orang dan kondisi ke kondisi. Wallahu a’lam. Takut wajib dan takut mustahab (disukai) Takut wajib adalah takut yang mendorong melakukan perbuatan wajib dan meninggalkan yang diharamkan. Takut mustahab (disukai) adalah takut yang mendorong melakukan perbuatan mustahabat dan meninggalkan makruhat (perkara makruh= dibenci).
Macam-Macam Ibadah[32] Ibadah memiliki banyak macam, sebagiannya qouli (ucapan) seperti syahadat Lailaha illallah, sebagian lagi fi’li (perbuatan) seperti jihad fisabilillah, menyingkirkan ganguan yang ada di tengah jalan, dan sebagian lagi qolbi (ibadah hati), seperti malu, cinta, takut, harap dan sebagainya, sebagian lagi musytarok (gabungan dari tiga pertama), seperti shalat yang menggabungkan semua macam itu. Di antara macam ibadah tambahan dari yang sebelumnya, seperti: zakat, puasa, haji, jujur, menunikan amanat, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturahmi, menunaikan perjanjian, amar makruf, nahi munkar, berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir, baik kepada: anak yatim, orang miskin, orang terlantar, pekerja dan hewan[33], berdoa, zikir, penyembelihan, nazar, isti’adzah (minta perlindungan), istiqhasah (minta bantuan), isti’anah (minta tolong), tawakal, tobat, istighfar (minta pengampunan dosa). Ibadah-ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kecuali hanya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Siapa yang memalingkannya kepada selain -Nya, maka dia telah berbuat syirik. Penghambaan Makluk Kepada Allah[34] Penghambaan makhluk kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla terbagi menjadi tiga macam:
  1. Ubudiah Amah (penghambaan umum): mencakup seluruh makhluk: yang baik, buruk, mukminnya dan kafirnya.
Firman Allah -ta’ala-, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha pemurah selaku seorang hamba.” (QS.Maryam:93) Itu adalah ubudiah rububiah (penghambaan ketuhanan). Makhluk seluruhnya hamba bagi Allah dan menghamba kepada -Nya.
  1. Khas (penghambaan khusus): ubudiah uluhiah (penghambaan ilahiah). Ia merupakan penghambaan hamba-hamba Allah Shubhanahu wa ta’alla yang saleh, dan mereka adalah setiap yang beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan syariat -Nya dan ikhlas dalam mengibadahi -Nya.
Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan yang Mahapenyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati….” (QS.al-Furqan:63) Karena itulah mereka disandarkan kepada nama -Nya; mengisyaratkan bahwa mereka sampai kepada derajat itu disebabkan rahmat -Nya. Ini merupakan idhafatut tasyrif (penyandaran penghormatan).
  1. Khasul khas (khusus dari yang khusus): ia juga ubudiah uluhiah, ada pada para nabi dan rasul yang tidak tertandingi oleh seorang pun dalam ibadah mereka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Sebagaimana
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami[35]: (Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub…)” (QS.Shad:45) Dan berfirman mengenai Nabi Nuh alaihi salam: “…sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS.al-Isra’:3) Dan mengenai Nabi Dawud alaihi salam: “…dan ingatlah hamba Kami, Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya Dia amat taat (kepada Tuhan).” (QS.Shad:17) Dan menyatakan mengenai Muhamad Salallahu ‘alaihi wasallam: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba -Nya….” (QS.al-Isra’:1) Dan firman -Nya: “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah -Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak- mendesak mengerumuninya.” (QS.al-Jin:19) Keutamaan Tauhid uluhiah[36] Mengesakan dan menunggalkan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam beribadah merupakan nikmat yang paling mulia dan utama secara mutlak. Keutamaan dan faedahnya tidak terkira dan terbatas. Keutamaan tauhid meliputi kebaikan dunia dan akhirat. Di antara keutamaan itu sebagai berikut:
  1. Ia merupakan nikmat teragung yang dianugrahkan kepada hamba -Nya. Yang menunjuki mereka kepadanya, sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nahl yang dinamai dengan surat an-Ni’am. Allah Azza wajalla mendahulukan nikmat tauhid dari nikmat lain. Allah Shubahanu wa ta’alla menyebut di awal surat an-Nahl:
“Dia menurunkan para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah -Nya kepada siapa yang -Dia kehendaki di antara hamba-hamba -Nya, yaitu: ‘Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada -Ku’.” (QS.an-Nahl:2)
  1. Ia merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada -Ku.” (QS.ad-Dzariat:56)
  1. Ia merupakan tujuan diturunkannya kitab suci, yang salah satunya al-Quran. Firman Allah -ta’ala-:
  2. Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat -Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,
  3. agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada -Nya.” (QS.Hud:1,2)
  4. Ia merupakan sebab terbesar untuk lepas dari penderitaan dunia dan akhirat serta mencegah sanksi dunia dan akhirat, sebagaimana kisah Nabi Yunus alaihi salam.
  5. Ia mencegah dari kekekalan di neraka, jika di hatinya ia masih ada, meski sebesar biji zarah.
  6. Jika ia sempurna di dalam hati, mencegah dari masuk neraka sama sekali, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Utban, dalam Sahihain, Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’, mengharap dengan hal itu wajah Allah.”[37]
  1. Memperoleh petunjuk sempurna, dan keamanan yang utuh bagi pelakunya di dunia dan akhirat. Firman Allah:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.al-An’am:82)
  1. Ia merupakan sebab mendapatkan rida Allah Shubhanahu wa ta’alla dan pahala -Nya.
  2. Bahwa orang yang paling berbahagia dengan syafaat Muhamad Salallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ ikhlas dari hatinya.
  3. Bahwa segala amal dan ucapan, baik lahir maupun batin tertangguh penerimaan, kelengkapan dan pahala yang diperoleh pada tauhid. Manakala kuat tauhid dan keikhlasan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, sempurna dan lengkaplah hal itu.
  4. Ia memudahkan hamba melakukan perbuatan baik, meninggalkan kemungkaran dan meloloskannya dari musibah. Orang yang ikhlas kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla pada iman dan tauhidnya, ringan baginya melakukan ketaatan, karena yang diharapnya pahala dan keridaan. Menjadi mudah baginya meninggalkan keinginan nafsu dari kemaksiatan, karena takut dari kemurkaan dan pedihnya siksa Allah Shubhanahu wa ta’alla.
  5. Jika tauhid sempurna dalam hati, Allah Shubhanahu wa ta’alla jadikan dia cinta kepada keimanan, dijadikan indah di hatinya, dan dijadikan benci kepada kekufuran, kefasikan serta kemaksiatan, dan dia digolongkan sebagai orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
  6. Ia menjadikan hamba ringan menjalani penderitaan dan meremehkan kepedihan, sesuai dengan kesempurnaan tauhid dan iman hamba itu. Menghadapi penderitaan dan kesakitan dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang; menerima dan rida dengan takdir -Nya yang menyakitkan.
  7. Ia membebaskan seseorang dari penghambaan kepada makhluk; ketergantungan kepadanya, takut, mengharap dan beramal karenanya.
Itulah kehormatan hakiki dan kemuliaan yang tinggi. Hal itu dengan bertuhan dan menghamba kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Tidak mengharapkan selain -Nya, tidak takut kepada selain -Nya, tidak mengadu kecuali hanya kepadan -Nya dan tidak bergantung kecuali hanya kepada -Nya. Dengan demikian, lengkaplah kebahagiaannya dan menjadi nyata kesuksesannya.
  1. Di antara keutamaannya yang tidak dapat diperoleh oleh apa pun yang lain, bahwa jika tauhid lengkap dan sempurna dalam hati, serta terealisasi sempurna dengan ikhlas yang utuh, ia merubah amal yang sedikit menjadi banyak dan dilipat gandakan pahala pemilikinya tanpa batas.
  2. Allah Shubhanahu wa ta’alla menjamin pemilikinya dengan memeperoleh pertolongan, kehormatan, kemuliaan, petunjuk, jalan kemudahan, diperbaiki keadannya dan tepat dalam ucapan dan perbuatan.
  3. Allah Shubhanahu wa ta’alla mencegah dari pelaku-pelaku tauhid keburukan dunia dan akhirat, mengaruniai mereka kehidupan yang baik, ketenangan baginya dan dengan mengingat -Nya.
Bukti hal itu banyak terdapat dalam al-Quran dan Hadis. Siapa yang merealisasikan tauhid, dia akan memperoleh seluruh keutamaan-keutamaan tersebut dan lebih dari itu. Demikian pula sebaliknya. Penyebab Tumbuhnya Tauhid Di Dalam Hati Tauhid ibarat pohon yang tumbuh dalam hati seorang mukmin. Cabangnya meninggi dan bertambah besar. Bertambah keindahannya manakala disiram dengan ketaatan yang mendekatkan kepada Allah Azza wajalla. Sehingga cinta hamba bertambah kepada Tuhan -Nya, bertambah takut dan harap kepada -Nya, serta menjadi kuat tawakal kepada -Nya. Dengan demikian, tauhid menjadi sempurna dan terealisai. Merealisasikannya bukan dengan angan-angan, tidak juga dengan klaim yang kosong dari kenyataan. Terealisasi dengan apa yang tertanam di dalam hati dari keyakinan iman, hakikat ihsan, dibarengi dengan akhlak yang indah dan amal-amal saleh yang mulia. Di antara penyebab tumbuhnya tauhid di dalam hati sebagai berikut[38]:
  1. Melakukan ketaatan; mengharap apa yang ada di sisi Allah Shubhanahu wa ta’alla.
  2. Meninggalkan maksiat; takut dari sanksi -Nya.
  3. Merenungi apa-apa yang ada dalam kerajaan langit dan bumi.
  4. Mengetahui nama-nama dan sifat-sifat -Nya, esensi dan pengaruhnya serta apa-apa yang menunjukkan akan kemulian dan kesempurnaan -Nya.
  5. Menambah ilmu yang bermanfaat serta mengamalkannya.
  6. Membaca al-Quran sambil mentadaburi (merenungi) dan berusaha memahami makna-makna dan maksudnya.
  7. Takarub kepada Allah Ta’ala dengan amal nafilah setelah mengerjakan amalan fardu.
  8. Senantiasa berzikir kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam segala keadaan, dengan lisan dan hati.
  9. Mendahulukan apa yang dicintai -Nya saat terdapat beberapa kecintaan.
  10. Merenungi nikmat Allah Shubhanahu wa ta’alla yang lahir dan batin serta mempersaksikan kebaikan, kasih dan anugrah -Nya kepada hamba-hamba -Nya.
  11. Meluluhkan hati dihadapan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan kefakiran kepada -Nya.
  12. Berkhalwat dengan Allah Shubhanahu wa ta’alla saat ‘turunnya’ Allah Shubhanahu wa ta’alla di pertiga malam terakhir. Membaca al-Quran pada waktu itu dan mengakhirinya dengan istigfar dan tobat.
  13. Bergaul dengan ahli kebaikan, kesalehan, ikhlas dan pecinta Allah Azza wajalla. Mengambil faedah dari ucapan dan amal mereka.
  14. Menjauhkan segala penyebab kesibukkan yang dapat memisahkan antara hati dengan Allah Shubhanahu wa ta’alla.
  15. Menghindari over bicara, makan, bergaul dan melihat.
  16. Mencintai saudaranya mukmin seperti mencintai dirinya sendiri dan bermujahadat atas hal itu.
  17. Bersih hati dari kedengkian kepada mukmin dan bersih dari iri, hasad, sombong, ego dan takabur.
  18. Rida dengan pengaturan Allah Azza wajalla.
  19. Bersukur kala mendapat nikmat dan bersabar kala mendapat musibah.
  20. Kembali (bertobat) kepada -Nya bila melakukan dosa.
  21. Memperbanyak amal saleh seperti berbakti, berakhlak baik, menyambung tali silaturahmi dan lain sebagainya.
  22. Menauladani Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara kecil dan besar.
  23. Berjihad fisabilillah.
  24. Baik dalam menjamu.
  25. Amar makruf dan nahi munkar.
Metode Dakwah Kepada Tauhid uluhiah Dalam Al-Quran Al-Karim[39] Beragam metode dan teknik dakwah kepada tauhid uluhiah di dalam al-Quran, di antaranya sebagai berikut:
  1. Allah Shubhanahu wata’ala memerintahkan untuk mengibadahi -Nya. Firman Allah Ta’ala:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan -Nya dengan sesuatu pun….” (QS.an-Nisa:36)
  1. Larangan mengibadahi selain Allah. Firman -Nya:
“…Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS.al-Baqarah:22)
  1. Pengkhabaran Allah Shubhanahu wa ta’alla bahwa Dia menciptakan makhluk untuk mengibadahi -Nya. Sebagaimana firman -Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada -Ku.” (QS.ad-Dzariat:56)
  1. Pengkhabaran Allah Shubhanahu wa ta’alla bahwa -Dia mengutus rasul untuk mengajak agar mengibadahi -Nya dan melarang mengibadahi selian -Nya. Sebagaimana firman -Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’…” (QS.an-Nahl:36)
  1. Menggunakan tauhid rububiah sebagai argumen tauhid uluhiah. Jika Allah Ta’ala adalah pencipta lagi pemberi rezeki, yang telah memberi nikmat kepadamu dengan nikmat lahir dan batin tanpa kesertaan sekutu yang lain, maka wajib bagimu untuk tidak menuhankan dan mengibadahi selain -Nya. Haruslah engkau mengkhususkan -Nya dengan tauhid, sebagaimana firman -Nya:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:21)
  1. Mengargumeni kewajiban mengibadahi -Nya dikarenakan -Dia adalah Maha pendatang manfaat dan mudarat, Pemberi dan Pencegah. Siapa yang berkarakter seperti itu, dialah sesembahan yang hak yang tidak ada sesembahan selain -Nya.
  2. Mengargumeni kewajiban mengibadahi -Nya dengan keunikan sifat -Nya yang sempurna dan ketiadaan hal itu pada sesembahan sekutu, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“…Maka sembahlah -Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada -Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan -Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam:65) Dan firman -Nya: “Hanya milik Allah asmaaul husna (nama-nama yang baik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu….” (QS. Al-A’raf:180) Dan firman -Nya mengenai Nabi Ibrahim kekasih Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang berkata kepada bapaknya: “Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?’” (QS.Maryam:42)
  1. Argumentasi atas kewajiban mengibadahi -Nya dengan detail penciptaan -Nya. Manakala orang yang berakal menadaburi fikirnya dan merenunginya, dia akan tahu bahwa Allahlah yang berhak diibadahi.
  2. Argumentasi atas kewajiban mengibadahi -Nya dengan keragaman nikmat -Nya. Jika sadar bahwa apapun nikmat yang ada pada hamba berasal dari Allah semata, dan bahwa tidak ada seorang pun dari makhluk yang dapat memberi manfaat kepada yang lain tanpa seizin Allah Shubhanahu wata’ala dan bahwa -Dia adalah Maha pemberi manfaat dan mudarat; menjadi tahu bahwa Allahlah yang berhak diibadahi semata tanpa sekutu.
  3. Pendiskreditkan Allah Shubhanahu wata’ala terhadap tuhan orang-orang musyrik, seperti dalam firman -Nya:
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS.al-A’raf:191,192) Dan firman -Nya: “Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya.'” (QS.al-Isra’:56) Dan firman -Nya: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS.al-Hajj:73)
  1. Celaan terhadap orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, sebagaimana firman -Nya :
“Ibrahim berkata: ‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (QS.al-Anbiya:66,67) Dan firman -Nya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri….” (QS.al-Baqarah:130)
  1. Menjelaskan akibat orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dan pengakhiran mereka dengan apa yang diibadahi, dimana yang diibadahi berlepas diri di saat yang paling pelik, sebagaimana firman Allah ta’ala,
  2. Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
  3. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
  4. dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS.al-Baqarah:165-167)
Dan firman -Nya: “…Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Maha mengetahui.” (QS.Fathir:14)
  1. Menjelaskan tempat kembali muwahidin (pelaku tauhid) serta akibatnya di dunia dan akhirat, sebagaimana yang dinyatakan mengenai imam mereka, Nabi Ibarahim alaihi salam:
“… dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS.al-Baqarah:130) Dan firman -Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.al-An’am:82)
  1. Sanggahan Allah Shubhahanu wa ta’alla terhadap orang-orang musyrik yang mengambil perantara-perantara antara mereka dengan Allah Shubhahanu wa ta’alla, bahwa syafaat adalah miliki -Nya, tidak diminta dari selain -Nya. Dia tidak memberi syafaat kecuali dengan seizin -Nya dan setelah keridaan -Nya kepada yang akan disyafaati. Sebagaimana Firman -Nya:
  2. Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at kepada selain Allah. Katakanlah: “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?”
  3. Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan -Nya kerajaan langit dan bumi….” (QS.az-Zumar:43,44)
Dan firman -Nya: “…Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin -Nya?…” (QS.al-Baqarah:255)
  1. Menjelaskan bahwa apa-apa yang diibadahi selain Allah tidak dapat memberi manfaat bagi yang mengibadahinya dari segala sisi, sebagaimana firman Allah -ta’ala-
  2. Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi -Nya.
  3. Dan Tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan -Nya memperoleh syafa’at itu….” (QS.as-Saba’:22,23)
  4. Menyebutkan bukti dan contoh yang menunjukkan kebatilan syirik dan akibat buruknya, yang menjadikan jiwa yang bersih menjauh darinya. Sebagaimana Firman Allah -ta’ala-:
“…Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS.al-Hajj:31) Hubungan Tauhid uluhiah Dengan Tauhid rububiah[40] Jenis-jenis tauhid saling berhubungan, sebagiannya berkaitan dengan yang lain. Berikut ini penjelasan hubungan antara tauhid uluhiah dengan rububiah dan sebaliknya: 1.Tauhid rububiah mengharuskan tauhid uluhiah, maknanya bahwa penetapan tauhid uluhiah mewajibkan penetapan tauhid uluhiah. Siapa yang mengetahui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah tuhan, pencipta, pengatur urusannya, dan telah menyeru untuk mengibadahi -Nya, wajib baginya mengibadahi -Nya saja tanpa menyekutukan -Nya. Jika hanya -Dia pencipta, pemberi rizki, pemberi manfaat dan mudarat, mengharuskan untuk mengesakan -Nya dalam ibadah. 2.Tauhid uluhiah mengandung tauhid rububiah, maknanya tauhid rububiah masuk dalam kandungan tauhid uluhiah. Maka siapa yang beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata tanpa menyekutukan -Nya, sudah pasti berkeyakinan bahwa -Dia adalah Tuhan nya, pencipta dan pemberi rezeki, dimana tidak disembah melainkan karena ditangan –Nya lah manfaat dan mudarat dan pada –Nya lah penciptaan dan segala urusan.
  1. Rububiah merupakan amalan hati, tidak lebih dari itu, karena itu dinamakan pula dengan tauhid al-makrifah wal itsbat (tauhid pengetahuan dan penetapan) atau tauhidul ilmi (tauhid ilmu).
Sedangkan tauhid uluhiah merupakan amalan hati dan badan, tidak cukup hanya hati, bahkan pada prilaku dan amal, yang dimaksudkan untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata tanpa menyekutukan -Nya.
  1. Tauhid rububiah semata tidaklah cukup. Yang demikian itu karena tauhid rububiah konsentrasinya ada pada cara pandang. Seandainya itu cukup, tentunya manusia tidak butuh diutus rasul dan diturunkan kitab suci. Tidaklah cukup hanya menetapkan sifat-sifat yang layak bagi tuhan dan bahwa hanya ia semata tuhan pencipta.
Belum menjadi ahli tauhid kecuali jika mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, menetapkan bahwa -Dia adalah yang disembah dan diibadahi semata, dan mengibadahi -Nya sesuai dengan pengetahuan tersebut.
  1. Tauhid uluhiah adalah tauhid yang dibawa para rasul. Tauhid inilah yang menimbulkan perselisihan antara para rasul alaihim salam dan umatnya. Sebagaimana perkataan kaum Nabi Hud alahis salam ketika mengatakan kepada mereka: “…ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain -Nya’….” (QS.al-A’raf:59)
Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?’….” (QS.al-A’raf:70) Juga yang dikatakan kaum kafir Quraisy, ketika diperintahkan untuk mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam beribadah, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”(QS.Shad:5) Adapun tauhid rububiah, mereka tidak mengingkarinya, bahkan Iblis tidak mengingkarinya: “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, …”(QS.al-Hijar:39)
  1. Keduanya jika disebutkan bersamaan, memiliki makna tersendiri, dan jika terpisah mengandung makna lain. Maknanya: jika keduanya disebutkan bersamaan, maka setiap kata sesuai dengan maksudnya, sebagaimana firman Allah ta’ala :
  2. Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. 2. Raja manusia. 3. Sembahan manusia.” (QS.an-Nas:1-3)
Sehingga makna Rab: Al-Malik Mutasharif (raja yang mengatur). Inilah tauhid rububiah (ketuhanan). Makna Ilah: yang disembah dengan hak, yang berhak diibadahi tanpa selain -Nya. Inilah tauhid uluhiah. Terkadang keduanya disebut secara sendiri-sendiri sehingga memiliki kesamaan makna, seperti pertanyaan dua malaikat kepada mayat di dalam kubur: “Siapa Tuhan -mu?” Maknanya “Siapa Sesembahan-mu?” juga sebagaimana firman Allah ta’ala, “(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami hanyalah Allah’….” (QS.al-Haj:40) Dan firman -Nya: “Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah….” (QS.al-An’am:164) Dan firman -Nya mengenai kekasih Allah Shubhanahu wa ta’all, Nabi Ibrahim: “…Tuhan -ku ialah yang menghidupkan dan mematikan’….” (QS.al-Baqarah:258) Dan sebagaimana firman Allah ta’ala: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada -Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu ngingati (-Nya).” (QS.an-Naml:62)
  1. Agar tauhid benar dan selamat dunia dan akhirat, hendaklah merealisasikan kedua hal tersebut.
Lawan Tauhid uluhiah
  1. Syirik: menghapus tauhid sama sekali.
  2. Bid’ah: menghapus kesempurnaannya yang wajib.
  3. Maksiat: menciderai dan mengurangi pahalanya.
Firkah Yang Menyekutukan Tauhid uluhiah Firkah yang menyekutukan jenis tauhid ini banyak, di antaranya:
  1. Yahudi: mereka menyembah patung anak sapi (dari logam mulia), dan hingga kini masih menyembah dinar dan dirham. Harta adalah sesembahan mereka.
  2. Nasharo (Kristen): dengan klaim mereka akan ketuhanan Isa almasih alaihi salam dan peribadatan mereka kepadanya.
  3. Rafidhah (syia’ah): dengan doa mereka meminta kepada Ali dan Abbas radiallahu ‘anhuma serta ahlul bait lain selain keduanya.
  4. Nusyairiah (sempalan syi’ah): dengan ibadah mereka terhadap Ali dan mengklaim bahwa ia adalah tuhan.[41]
  5. Ad-Druz: dengan pernyataan mereka akan ketuhanan penguasa dengan perintah tuhan al-Ubaidy.[42]
  6. Sufi Ekstrim dan penyembah kubur: akibat pengkultusan mereka terhadap para wali, memalingkan nazar dan kurban (yang seharusnya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadi) untuk penghuni kubur, tawaf mereka mengelilingi kubur dan pendekatan-pendekatan lain yang ditujukan kepada penghuni kubur.
[1]Lihat: Al-Haqqul Wâdhihul Mubîn oleh Ibnu Sa’di hal.112-113. Dan Al-Fatâwâ as-Sa’diah oleh Ibnu Sa’di hal.10-11. As-Syaikh Abdurrahman Ibn Sa’di wa Juhuduhu Fil Aqîdah oleh Abdurrazzaq al-Abbâd hal.151-152. [2]Lihat kitab Taisir Azizul Hamid Fi Syarh Kitabut Tauhid oleh Syaikh Sulaiman Ibn Abdullah hal.38 [3]Kitab Al-Ubudiah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah hal.39-40, penerbit Maktabah Islami. 4 [5]Dikenal dengan nama ayatul kursi –pent. [6]Majmu’ al-Fatawa Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiah I/24,25. [7]Majmu’ al-Fatawa Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiah I/24. [8]Majmu’ al-Fatawa Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiah I/28. [9]HR.at-Tirmudzi no.2322, Ibnu Majah no.4112. at-Turmudzi berkata, hasan gharib. Dihasankan oleh al-Albani di dalam Sahih al-Jâmi’ no.3414. [10]Lihat Al-Qowaidul Hassan Lit Tafsîril Qurân oleh Ibnu Sa’di hal.192. [11]HR.al-Bukhari VIII/164, Muslim I/58, at-Turmudzi V/26. [12]Lihat kitab As-Syikh Abdurrahman Ibn Sa’di Wa Juhuduhu Fi Taudihil Aqidah hal.152 dan kitab Al-As Ilah Wal Aj Wibah Al-Usuliah Alal Aqidah Al-Washitiah oleh as-Syaikh Abdul Aziz as-Salman hal.42-43. [13]Lihat kitab Syarah Aqidah an-Nuniah oleh Ibnul Qoyyim, Syarh Syaikh Muhammad Khalil Harrâs II/134. [14]Syarhul Mu’alaqât al-Asyr oleh Zuzni hal.97. [15]Al-Kafiah as-Syafiah lil Intishar Lil Firqotin Najiah hal.32. [16]Lihat kitab Al-Haqul Wâdhihatul Mubayyin hal.59-60. [17]Syaikh Abdurrahman as-Sa’di wa Juhudihi fi Taudhihil Aqidah hal.162. [18]Lihat kitab Qoulul Mufid Ala Kitabut Tauhid oleh Syaikh Muhamad Soleh al-Utsaimin I/X. [19]Lihat kitab Ubudiâtul Kâinat lirobbil Âlamîn oleh Farid at-Tuni hal.25. [20]Al-Ubudiah hal.170. [21]Ibid hal.76 [22]Dalam naskah aslinya (QS.an-Nisa:48) disebutkan lebih dulu dari (QS.al-An’am:88). Sengaja dibalik urutannya agar terasa lebih mengena pendalilannya –pent. [23]HR.Muslim no.1718 dan Ahmad 6/146. [24]HR.al-Bukhari III/167 dan Muslim no.1718. [25]Pernyataan ini diambil dari Mudzakaroh fit Tauhid oleh Syaikh Dr.Abdullah Jasir. [26]Kitab As-Shufiah Fi Nadzril Islam: Dirosah Wa Tahlil oleh Samîh Âthifuzzain hal.257. [27]Kitab As-Syi’rus Shûfi Ila Mathla’il Qornit Tâsi’ Lilhijrah oleh Dr.Muhamad Ibn Sa’ad Ibn Husain hal.172. [28]HR.al-Bukhari dalam al-Fath no.7405, Muslim no.2675. [29]HR.Muslim no.2877. [30]Lihat al-Ubudiah hal.128. [31]Lihat Al-Âdâbus Syar’iah oleh Ibnul Muflih II/30-32, Al-Qoulul Mufîd I/51-52 & II/164-165. Lihat juga Ar-Risâlah At-Tâsi’ah, disitu terdapat perincian mengenai cinta, takut dan harap. [32]Lihat Taisîrul Azizil Hamid hal.39-42 dan Al-Irsyad oleh Syaik Soleh al-Fauzan hal.19. Lihat juga Aqidatut Tauhid oleh Syaikh Muhamad Khalil Harrâs hal.47-70. [33]Penyebutan hewan sengaja diurutkan diakhir untuk penyesuaian –pent. [34]Lihat Qaulul Mufid I/28-29. [35]Dalam naskah asli hanya sampai disini. Nama nabi-nabi turut dinukilkan karena itulah inti dari pendalilan yang dimaksud -pent. [36]Lihat Taisîrul Azizil Hamid hal.36-39 dan Al-Qoulul as-Sadîd oleh Ibnu Sa’di hal.16, bab Fadlut Tauhid Wa Mâ Yukafiru Minaz Zunub dan Ma’ârijul Qobul Fil Hadits ‘An Fadhailis Shahadah I/268-271, La ilâha illallah oleh al-Kâtib hal.10-35. [37]HR.al-Bukhari I/110 dan Muslim I/61. [38]Lihat kitab Al-Madarijus Sâlikin oleh Ibnul Qoyyim III/18-19. [39]Lihat Taisîrul Azizil Hamid hal.38-39 dan Da’watut Tauhid oleh al-Harrâs hal.39-45, Al-Irsyad oleh Syaik Soleh al-Fauzan hal.25-28 dan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di wa Juhudihi fi Taudhihil Aqidah hal.154-156. [40]Lihat Al-Irsyad hal.21-23. [41]Lihat Al-Bakûrah As-Sulaimaniah Fi Kasyfi Asrar Ad-Diyanah An-Nushairiah (Alawaiah) oleh Sulaiman Afandi al-Adzany, terbitan Dâr as-Sohwah hal.36. lihat juga An-Nushairiah oleh Suhair al-Fîl terbitan Dâr al-Manâr hal.47-48. [42]Lihat Aqidah ad-Drûz, ‘Ardh wa Naqd oleh Muhamad Ahmad al-Khathib hal.117-135 terbitan Dâr Âlamul Kutub. Mohammad Bin Ibrahim Al Hamd sumber: islamhouse.com

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Donasikan Harta Anda Untuk Membantu Mereka Yang Membutuhkan dan Jadilah Golongan Orang Yang Suka Beramal Soleh